Книга - Bangkitnya Para Naga

a
A

Bangkitnya Para Naga
Morgan Rice


Raja dan Penyihir #1
Jika Anda pikir bahwa segalanya telah usai seiring tamatnya serial Cincin Bertuah, maka Anda keliru. Dalam BANGKITNYA PARA NAGA, Morgan Rice kembali hadir dengan janjinya akan sebuah serial baru yang brilian, yang akan menghanyutkan kita dalam kisah fantasi tentang para troll dan naga, keberanian, kehormatan, semangat, keajaiban dan keyakinan akan takdir. Morgan sekali lagi berhasil menghadirkan sederet tokoh yang akan menghibur kita pada tiap lembar kisahnya.. Inilah karya yang direkomendasikan sebagai koleksi wajib para pencinta kisah fantasi nan apik. Books and Movie Reviews, Roberto MattosBuku Terlaris #1! Sebuah serial kisah fantasi epik kembali lahir dari tangan penulis Terlaris #1, Morgan Rice: BANGKITNYA PARA NAGA (RAJA DAN PENYIHIR – Buku 1) . Kyra, gadis berusia 15 tahun, bermimpi menjadi seorang ksatria termashyur seperti ayahnya, meskipun ia adalah satu-satunya anak perempuan di antara saudara-saudara laki-lakinya. Tatkala ia berusaha memahami kemampuan istimewanya, yaitu kekuatan tersembunyi yang misterius, ia menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Namun ada sebuah rahasia yang tersimpan tentang kelahiran dan ramalan tentang dirinya, hingga membuatnya bertanya-tanya siapakah dirinya yang sesungguhnya. Ketika Kyra telah cukup dewasa dan seorang bangsawan setempat datang untuk mengawininya secara paksa, maka ayahnya terpikir untuk menikahkannya demi menyelamatkan putri satu-satunya itu. Namun Kyra menolak dan ia kabur seorang diri; ia masuk ke sebuah hutan keramat, di mana ia bertemu dengan seekor naga yang terluka – dan sejak saat itulah terjadi berbagai peristiwa yang akan mengubah seluruh kerajaan untuk selamanya. Sementara itu, Alec yang berusia 15 tahun berkorban demi sang kakak, menggantikannya sebagai serdadu aplusan yang dipilih untuk dibawa ke Benteng Api, sebuah benteng di sisi timur dengan dinding api setinggi seratus kaki yang menjadi sarang para prajurit Troll. Jauh di sisi lain kerajaan, Merk -seorang prajurit bayaran yang mencoba lari dari masa lalunya nan gelap- berjalan menembus hutan demi menjadi Sang Penjaga Menara dan membantu menjaga Pedang Api, sumber kekuatan ajaib kerajaan. Namun para Troll pun mengincar pedang itu – dan mereka tengah menyiapkan serangan besar-besaran demi menumpas kerajaan itu untuk selamanya. Dengan atmosfer yang kuat dan penokohan nan rumit, BANGKITNYA PARA NAGA menjadi sebuah hikayat besar tentang para ksatria dan pejuang, tentang para raja dan bangsawan, tentang kehormatan dan keberanian, tentang keajaiban, takdir, siluman dan para naga. Ini adalah sebuah kisah tentang cinta dan hati yang remuk redam, tipu muslihat, ambisi dan pengkhianatan. Inilah puncak dari sebuah kisah fantasi, yang mengajak kita masuk ke sebuah alam yang akan terus kita selami, kisah yang memikat pembaca dari segala umur dan jenis kelamin. Buku #2 dari serial RAJA DAN PENYIHIR akan segera terbit. BANGKITNYA PARA NAGA benar-benar sukses – sejak awalnya.. Sebuah kisah fantasi yang hebat.. Seperti yang kita duga, kisah ini diawali dengan perjuangan seorang tokoh protagonis dan kemudian mengalir berkisah tentang para ksatria, naga, sihir dan siluman, serta takdir.. Semua daya pikat kisah fantasi ada dalam buku ini, dari cerita tentang para prajurit dan peperangannya hingga pergolakan batin mereka.. Inilah kisah terbaik yang direkomendasikan bagi para pencinta novel fantasi yang penuh dengan kisah tentang tokoh protagonis muda yang kuat dan handal. Midwest Book Review, D. Donovan, Pengulas eBook







BANGKITNYA PARA NAGA



(RAJA DAN PENYIHIR—BUKU 1)



Morgan Rice


Morgan Rice



Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dan penulis terlaris versi USA Today dengan karyanya CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tujuh belas buku; serial terlaris #1 JURNAL VAMPIR yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); serial terlaris #1 TRILOGI SINTASAN, sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buah buku (dan terus bertambah); dan serial fantasi epik RAJA DAN PENYIHIR, yang terdiri dari dua buah buku (dan terus bertambah). Karya-karya Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, serta diterjemahkan dalam lebih dari 25 bahasa.

Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi silakan kunjungi www.morganriceBooks.com untuk dapat bergabung dalam daftar email, menerima buku gratis, mendapatkan hadiah, mengunduh aplikasi gratis, menerima kabar eksklusif terbaru, terhubung di Facebook dan Twitter, serta terus mendapatkan berita terbaru!


Pujian Untuk Morgan Rice



"Jika Anda pikir bahwa segalanya telah usai seiring tamatnya serial CINCIN BERTUAH, maka Anda keliru. Dalam BANGKITNYA PARA NAGA, Morgan Rice kembali hadir dengan janjinya akan sebuah serial baru yang brilian, yang akan menghanyutkan kita dalam kisah fantasi tentang para troll dan naga, keberanian, kehormatan, semangat, keajaiban dan keyakinan akan takdir. Morgan sekali lagi berhasil menghadirkan sederet tokoh yang akan menghibur kita pada tiap lembar kisahnya....Inilah karya yang direkomendasikan sebagai koleksi wajib para pencinta kisah fantasi nan apik."

--Books and Movie Reviews

Roberto Mattos



"BANGKITNYA PARA NAGA benar-benar sukses—bahkan sejak awal terbitnya.... Sebuah kisah fantasi yang hebat...Seperti yang kita duga, kisah ini diawali dengan perjuangan seorang tokoh protagonis dan kemudian mengalir berkisah tentang para ksatria, naga, sihir dan siluman, serta takdir...Semua daya pikat kisah fantasi ada dalam buku ini, dari cerita tentang para prajurit dan peperangannya hingga pergolakan batin mereka...Inilah kisah terbaik yang direkomendasikan bagi para pencinta novel fantasi yang penuh dengan kisah tentang tokoh protagonis muda yang kuat dan handal.

--Midwest Book Review

D. Donovan, Pengulas eBook



"[BANGKITNYA PARA NAGA] adalah sebuah novel dengan plot kuat yang enak dibaca...Ini sebuah awal yang bagus untuk serial yang menjanjikan."

--San Francisco Book Review



"Sebuah kisah fantasi penuh balutan aksi yang pasti akan memuaskan penggemar novel-novel karya Morgan Rice sebelumnya, serta para penggemar novel-novel semacam THE INHERITANCE CYCLE karya Christopher Paolini... Para penggemar Fiksi Remaja tentu akan segera melahap karya terbaru Rice ini dan menunggu-nunggu seri berikutnya."

--The Wanderer, A Literary Journal (komentar tentang Bangkitnya Para Naga)



"Sebuah kisah fantasi seru yang merangkai elemen-elemen misteri dan intrik dalam jalinan ceritanya. Petualangan Para Pahlawan bercerita tentang bagaimana memupuk semangat dan mewujudkan tujuan hidup yang berujung pada perkembangan, kedewasaan, dan keunggulan...Pembaca yang mendambakan petualangan fantasi yang menarik, tokoh-tokoh protagonis,tipu muslihat dan aksi-aksi dalam buku ini menyajikan serangkaian kisah seru yang terpusat pada perubahan dalam diri Thor, dari seorang kanak-kanak biasa menjadi seorang pemuda yang berjibaku menghadapi segala ketidakmungkinan agar tetap mampu bertahan...Dan ini baru sebuah permulaan dari sebuah serial epik yang sangat menjanjikan."

--Midwest Book Review, (D. Donovan, Pengulas eBook)



“CINCIN BERTUAH” memiliki seluruh resep buku yang sukses: alur, alur kontras, misteri, para ksatria nan gagah berani, dan hubungan yang dibumbui patah hati, tipu daya dan pengkhianatan. Cerita yang sesuai untuk pembaca dari segala usia ini akan menghibur Anda selama berjam-jam. Saya rekomendasikan buku ini sebagai koleksi wajib bagi semua pencinta kisah fantasi.

--Books and Movie Reviews, Roberto Mattos



"Kisah fantasi epik karya Rice yang menghibur, [CINCIN BERTUAH], menyajikan ciri-ciri klasik genre tersebut, yaitu—setting kuat yang sangat terinspirasi oleh Skotlandia di masa lampau dan sejarahnya, serta kental dengan intrik di dalam istana."

—Kirkus Reviews



“Saya suka cara Morgan Rice menampilkan karakter Thor dan dunia tempat ia hidup. Lingkungan dan makhluk-mahkluk yang berkeliaran di sana digambarkan dengan sangat baik...Saya suka [plotnya]. Plot yang ringkas dan cantik...Tak terlalu banyak tokoh sampingan, sehingga tidak membuat saya bingung memahaminya. Banyak petualangan dan kejadian mengerikan, namun aksi yang diceritakan tidak terlalu berlebihan. Buku ini sangat cocok untuk para pembaca remaja… Inilah awal dari sebuah karya hebat…”

--San Francisco Book Review



“Dalam buku pertama dari serial fantasi epik Cincin Bertuah (yang saat ini telah mencapai 14 buku), Rice mengajak pembaca untuk mengenal Thorgrin "Thor" McLeod yang berumur 14 tahun, dengan mimpinya untuk bergabung dengan Legiun Perak, pasukan elit yang mengabdi kepada sang raja…. Tulisan Rice sangat kuat dan pemikirannya menarik."

--Publishers Weekly



“[PETUALANGAN PARA PAHLAWAN] adalah sebuah bacaan ringan. Akhir setiap bab dibuat sedemikian rupa agar Anda penasaran bagaimana kelanjutannya dan tak akan berhenti membacanya. Terdapat sejumlah kesalahan tulis dalam buku tersebut dan beberapa nama tokoh saling tertukar, namun hal itu tidak mengganggu keseluruhan ceritanya. Akhir buku tersebut membuat saya ingin segera membaca buku berikutnya dan itulah yang saya lakukan sekarang. Kesembilan seri Cincin Bertuah sekarang dapat dipesan di Kindle store dan Petualangan Para Pahlawan tersedia gratis untuk dibaca! Jika Anda mencari bacaan yang ringan dan menyenangkan saat liburan, buku ini cocok sekali."

--FantasyOnline.net


Karya-karya Morgan Rice



RAJA DAN PENYIHIR

BANGKITNYA PARA NAGA (Buku #1)

BANGKITNYA PARA PEMBERANI (Buku #2)

RINTANGAN KEMULIAAN (Buku #3)

TEMPAAN KEBERANIAN (Buku #4)



CINCIN BERTUAH

PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

TAKDIR NAGA (Buku #3)

PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

RITUAL PEDANG (Buku #7)

SENJATA PUSAKA (Buku #8)

LANGIT MANTRA (Buku #9)

LAUTAN PERISAI (Buku #10)

TANGAN BESI (Buku #11)

DARATAN API (Buku #12)

SANG RATU (Buku #13)

SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)

IMPIAN FANA (Buku #15)

PERTANDINGAN PARA KSATRIA (Buku #16)

HADIAH PERTEMPURAN (Buku #17)



TRILOGI KESINTASAN

ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA DUA (Buku #2)



HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

CINTA (Buku #2)

KHIANAT (Buku #3)

TAKDIR (Buku #4)

DIDAMBAKAN (Buku #5)

TUNANGAN (Buku #6)

SUMPAH (Buku #7)

DITEMUKAN (Buku #8)

BANGKIT (Buku #9)

RINDU (Buku #10)

NASIB (Buku #11)













Dengarkan edisi Audiobook RAJA DAN PENYIHIR!


Mau buku gratis?

Bergabunglah dengan milis Morgan Rice dan dapatkan 4 buku gratis, 2 peta gratis, 1 aplikasi gratis, dan hadiah-hadiah eksklusif! Untuk berlangganan, kunjungi: www.morganricebooks.com


Hak Cipta © 2014 oleh Morgan Rice

Semua hak dilindungi undang-undang. Kecuali diizinkan di bawah U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang boleh direproduksi, didistribusikan atau dipindahtangankan dalam bentuk apapun atau dengan maksud apapun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.

Lisensi untuk eBook ini hanya diberikan terbatas kepada Anda saja. eBook ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silahkan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silahkan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.

Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.

Hak Cipta gambar sampul oleh Photosani, digunakan di bawah lisensi dari Shutterstock.com








DAFTAR ISI



BAB SATU (#uf0b733d1-3a12-515a-9e51-5178539acace)

BAB DUA (#ua7c08b94-80f1-5e44-9879-fc4bb229d1d4)

BAB TIGA (#u5a122233-75f4-50fe-b983-ac3ac95381a2)

BAB EMPAT (#u7d98b712-36e0-5d9d-997b-608f8594c1ee)

BAB LIMA (#u8a67215c-3f58-5c89-a58c-4fdb4ecdb1b9)

BAB ENAM (#litres_trial_promo)

BAB TUJUH (#litres_trial_promo)

BAB DELAPAN (#litres_trial_promo)

BAB SEMBILAN (#litres_trial_promo)

BAB SEPULUH (#litres_trial_promo)

BAB SEBELAS (#litres_trial_promo)

BAB DUA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB TIGA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB EMPAT BELAS (#litres_trial_promo)

BAB LIMA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB ENAM BELAS (#litres_trial_promo)

BAB TUJUH BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DELAPAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB SEMBILAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH SATU (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DUA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TIGA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH EMPAT (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH LIMA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH ENAM (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TUJUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DELAPAN (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH SEMBILAN (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH (#litres_trial_promo)


"Ada kalanya manusia menjadi penentu takdirnya sendiri:

Wahai Brutus, yang salah bukanlah pemimpin kita,

Yang salah adalah diri kita sendiri, karena menjadi bawahan."



--William Shakespeare

Julius Caesar




BAB SATU


Kyra berdiri di puncak sebuah bukit kecil berumput, pada tanah beku di bawah sepatu bot miliknya; salju turun di sekelilingnya dan ia mencoba mengabaikan dingin yang menggigit saat ia menyiapkan busur lalu membidik sasarannya. Ia picingkan matanya, ia lupakan segala sesuatu—desiran angin, suara gagak di kejauhan—dan memaksa dirinya untuk hanya menatap pohon birch yang kurus di kejauhan, putih pucat warnanya, tegak menjulang di antara deretan pohon pinus sewarna lembayung. Duapuluh depa adalah jarak memanah yang terlalu sulit bagi saudara-saudara laki-lakinya, bahkan bagi para anak buah ayahnya—dan itulah yang membuat tekad Kyra makin teguh—sebagai anak bungsu dan satu-satunya gadis di antara saudara-saudaranya.

Kyra tak pernah merasa cocok. Sebagian dari dirinya tentu saja ingin menjadi seperti harapan orang akan dirinya dan menghabiskan waktu seperti layaknya gadis-gadis lainnya, yaitu mengurus pekerjaan rumah; namun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bahwa dirinya bukanlah gadis seperti itu. Ia adalah seorang anak perempuan dengan semangat pejuang, mirip seperti ayahnya, dan ia tak sudi terkungkung di balik kokohnya tembok benteng pertahanan mereka, ia takkan mau hanya berdiam diri di rumah. Ia adalah pemanah yang lebih hebat daripada seluruh lelaki di sana—dan memang, ia bahkan lebih unggul daripada pemanah terbaik anak buah ayahnya—dan ia akan melakukan apa pun demi membuktikan kemampuannya pada mereka, dan terutama pada ayahnya, bahwa ia layak diperhitungkan. Ia tahu betapa ayahnya sangat menyayanginya, namun ayahnya tak akan menganggapnya lebih dari seorang anak perempuan.

Kyra berlatih keras di padang Volis, jauh dari bentengnya—itulah tempat yang sesuai baginya, karena sebagai satu-satunya gadis di dalam benteng yang penuh dengan pasukan, ia harus berlatih seorang diri. Tiap hari ia selalu menyendiri ke padang itu, ke tempat kesukaannya di puncak dataran tinggi yang menghadap ke dinding batu yang menjulang, tempat ia bisa mencari pohon yang tepat, yaitu pohon kurus yang sulit dibidik. Bunyi hentakan anak panah yang menancap di sasarannya bergema di seluruh desa; tak satu pun pohon yang luput dari anak panahnya, batang-batangnya terkoyak, dan beberapa pohon lain bahkan hampir ambruk.

Kyra tahu bahwa sebagian besar pasukan pemanah ayahnya berlatih membidik tikus yang berkeliaran di padang itu; dan saat ia memanah untuk kali pertama, ia mencobanya juga dan dapat membidik tikus-tikus itu dengan cukup mudah. Namun hal itu membuatnya muak. Ia memang pemberani, namun sekaligus perasa, dan ia benci membunuh makhluk bernyawa tanpa tujuan. Sejak saat itu ia bersumpah tak akan membidik sasaran makhluk bernyawa lagi—kecuali jika makhluk itu membahayakan dirinya atau menyerangnya, seperti Wolfbat yang muncul di malam hari dan terbang terlalu dekat dengan benteng ayahnya. Ia tak segan-segan membunuh makhluk semacam itu, apalagi setelah Aidan, adiknya laki-laki, tergigit oleh Wolfbat dan menderita sakit selama dua pekan. Selain itu, Wolfbat adalah makhluk dengan gerakan tercepat, dan ia yakin apabila ia dapat memanahnya, apalagi di malam hari, maka ia dapat memanah apa pun. Suatu kali, ia menghabiskan sepanjang malam saat bulan purnama, memanah makhluk-makhluk itu dari menara benteng, dan keesokan paginya ia bergegas penuh semangat menghitung Wolfbat yang sekarat jatuh ke tanah, dengan anak panah yang masih menancap di tubuh mereka, dan orang-orang di desa berkerumun dan melihatnya dengan wajah terkesima.

Kyra berkonsentrasi sekuat tenaga. Ia membayangkan bidikan itu di dalam mata batinnya, merentangkan busur, dengan cepat menarik talinya hingga ke dekat dagunya dan melepaskannya secepat kilat. Ia paham bahwa bidikan yang sesungguhnya itu terjadi sebelum ia melesatkan anak panahnya. Ia telah melihat banyak pemanah seusia dirinya, sekitar empat belas tahun umurnya, menarik tali busur dengan ragu-ragu—dan ia tahu bahwa bidikan mereka pasti akan meleset. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mengangkat busurnya, dan dalam satu gerakan mantap, ditariknya tali busur lalu dilesatkannya anak panah. Ia bahkan tak perlu memeriksa apakah bidikannya berhasil mengenai pohon sasarannya.

Sejurus kemudian ia mendengar bunyi anak panah itu menancap mengenai sasarannya—namun ia telah berpaling menghadap sasaran selanjutnya, yang letaknya lebih jauh.

Kyra mendengar dengkingan di dekat kakinya dan matanya menatap Leo, serigala miliknya, berjalan di sisinya seperti biasa, lalu menggesekkan badan di kaki Kyra. Leo, seekor serigala dewasa dengan badan hampir setinggi pinggangnya, sangat melindungi Kyra seolah-olah Kyra adalah miliknya; mereka berdua selalu terlihat bersama-sama di dalam benteng ayahnya. Ke mana pun Kyra pergi, ke situlah Leo bergegas mengikutinya. Dan Leo akan selalu menyertai di sampingnya—kecuali jika ada seekor tupai atau kelinci yang melintas, maka saat itulah Leo dapat menghilang selama berjam-jam lamanya.

"Aku tak melupakanmu, kawan," kata Kyra sambil merogoh sebuah kantong dan memberikan sepotong tulang sisa dari pesta makan hari itu kepada Leo. Leo menyambarnya dan berlarian dengan gembira di sebelahnya.

Saat Kyra berjalan, nafasnya menguar bersama kabut di sekelilingnya; dikalungkannya busur di pundak dan embusan nafas menerpa tangannya, lembab dan dingin. Ia melintasi dataran tinggi yang luas dan rata, lalu memandang ke sekeliling. Dari tempat ini, ia bisa melihat seluruh wilayah pedesaan, barisan perbukitan Volis yang biasanya menghijau namun kini berselimut salju, provinsi tempat benteng ayahnya berada, di ujung timur laut kerajaan Escalon. Dari sini, Kyra dapat melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam benteng ayahnya di bawah sana, orang-orang dusun dan para pejuang yang hilir mudik, dan inilah salah satu alasan mengapa ia suka berada di tempat ini. Ia senang mempelajari hal-hal kuno, kontur dinding batu di benteng ayahnya, bentuk dinding pertahanan dan menara yang terbentang mengagumkan di sekujur bukit, seolah-olah terbujur sepanjang masa. Volis adalah bangunan tertinggi di seluruh pedesaan itu, dengan beberapa bangunan berlantai empat yang menjulang dan dikelilingi oleh tembok pertahanan yang memukau. Volis dilengkapi dengan sebuah menara berdinding bundar di empat penjuru dan sebuah kapel bagi penghuninya; namun bagi Kyra, kapel itu menjadi sebuah tempat untuk dipanjatnya lalu mengamati seluruh penjuru desa dan menyendiri di situ. Tembok batu itu dikelilingi oleh sebuah parit, dengan sebuah jalan utama dan jembatan batu yang melengkung membentang di atasnya; selanjutnya, tempat itu dilindungi oleh tanggul-tanggul, bukit, selokan dan tembok—benar-benar sebuah tempat yang sesuai untuk salah satu prajurit Raja yang paling penting, yaitu ayahnya.

Meskipun Volis ini -yang merupakan benteng pertahanan terakhir sebelum Benteng Api- jaraknya sejauh beberapa hari perjalanan dari Andro, ibu kota Escalon, namun Volis merupakan tempat kediaman banyak prajurit Raja yang termashyur. Volis juga merupakan sebuah menara suar, sebuah tempat yang didiami oleh ratusan penduduk desa dan petani yang tinggal dekat atau di balik tembok itu untuk berlindung.

Kyra menatap puluhan rumah tanah kecil yang bertengger di perbukitan di pinggiran benteng, dengan asap yang membumbung dari cerobongnya, para petani yang hilir mudik bergegas mempersiapkan datangnya musim dingin, serta menyiapkan diri untuk festival nanti malam. Kyra paham akan kenyataan bahwa orang-orang desa merasa cukup aman untuk tinggal di luar tembok pertahanan merupakan tanda betapa besarnya rasa hormat mereka akan kekuatan ayahnya, dan rasa hormat semacam itu tak terdapat di tempat lain di seluruh Escalon. Lagipula, mereka ini hanyalah ibarat tanda bahaya yang berbunyi jauh dari perlindungan, jauh dari pasukan ayahnya yang akan segera berkumpul begitu bahaya muncul.

Kyra menatap ke jembatan gantung di bawah, yang selalu dipenuhi oleh lalu lalang orang—entah itu para petani, tukang sepatu, tukang sembelih ternak, pandai besi, dan tentu saja para prajurit—yang semuanya bergegas hilir mudik dari dalam benteng ke pedesaan. Semua ini karena sisi dalam benteng bukan sekadar tempat untuk tinggal dan berlatih, namun juga merupakan hamparan pelataran maha luas berlantai batu yang menjadi tempat berkumpulnya para pedagang. Tiap hari, lapak-lapak dibuka berderet-deret, para pedagang menjual dagangannya, saling bertukar barang, menawarkan hasil buruan atau tangkapan pada hari itu, atau pakaian indah atau rempah-rempah atau gula-gula yang dibeli dari negeri seberang. Pelataran benteng itu selalu dipenuhi oleh aroma sedap nan semerbak, entah itu aroma teh yang langka atau bau makanan yang direbus; Kyra betah berlama-lama menikmatinya selama berjam-jam. Dan di balik tembok itu di kejauhan, jantungnya berdegup kencang melihat arena latihan Gerbang Petarung yang berbentuk bundar untuk pasukan ayahnya, dan dinding batu rendah yang mengelilinginya; dan ia pun kegirangan melihat para pasukan itu saling menyerang dalam barisan rapi di atas kuda-kuda mereka, berusaha menombak sasaran berupa perisai yang digantungkan di pepohonan. Ia ingin berlatih bersama mereka.

Tiba-tiba Kyra mendengar suara teriakan, suara yang akrab di telinganya, asalnya dari arah gerbang; sontak ia berpaling dengan sigap. Keributan muncul dari tengah-tengah keramaian, dan saat matanya mengawasi hiruk pikuk itu, dari kerumunan itu muncullah adiknya, Aidan, yang diikuti oleh dua kakaknya, Brandon dan Braxton, lalu mereka turun ke jalan. Kyra tegang, ia bersiaga. Ia bisa tahu dari suara teriakan takut adiknya itu bahwa sang kakak datang dengan maksud tak baik.

Mata Kyra menyipit melihat dua kakaknya, keamarahan terasa memuncak dalam dirinya dan membuatnya tak menyadari bahwa genggaman tangan di busurnya semakin erat. Datanglah Aidan berjalan di antara kakak-kakaknya, masing-masing dengan tubuh satu kaki lebih tinggi, dan mereka berdua mengapit lengan aidan dan menyeretnya dari dalam benteng ke pinggiran desa. Aidan dengan badannya yang kecil dan kurus, seorang laki-laki perasa yang usianya belum genap sepuluh tahun, terlihat sangat lemah diapit kedua kakaknya, dengan badan bongsor untuk ukuran laki-laki berusia tujuh belas dan delapan belas tahun. Mereka bertiga terlihat mirip dan memiliki warna kulit serupa, dengan rahang yang kokoh, dagu yang tegas, mata coklat gelap dan rambut coklat berombak—meskipun rambut Brandon dan Braxton pendek, sedangka rambut Aidan terurai, kusut, menutupi matanya. Mereka bertiga terlihat mirip—dan tak satu pun yang mirip dengan Kyra, dengan rambut pirang dan mata abu-abu terangnya. Dengan celana tenun, tunik wol dan jubahnya, Kyra tampak tinggi dan kurus, pucat sekali; banyak yang berkata dengan kening lebar dan hidung kecilnya itu adalah anugerah yang telah membuat banyak pria berpaling padanya. Apalagi setelah kini usianya menginjak lima belas tahun, ia sadar bahwa dirinya makin menarik.

Hal itu membuatnya merasa tak nyaman. Ia tak suka menarik perhatian, dan ia tak menganggap dirinya cantik. Ia sama sekali tak peduli akan penampilannya—yang ia pedulikan hanya latihan, demi keberanian, demi kehormatan. Ia lebih suka terlihat mirip dengan ayahnya, seperti kakak-kakaknya pun mirip dengan sang ayah, pria yang ia kagumi dan ia sayangi lebih dari apa pun di dunia ini, daripada memiliki paras yang cantik. Ia selalu mengamati cermin kalau-kalau ada kemiripan dengan sang ayah; toh betapa pun keras ia mencoba, tak sedikit pun kemiripan itu ia temui.

“Kubilang lepaskan!” seru Aidan, dengan suara yang terdengar hingga ke tempat Kyra berada.

Demi mendengar isyarat takut dalam suara adik terkasihnya, seorang anak laki-laki yang sangat Kyra sayangi lebih dari segala sesuatu, maka secepat kilat ia pun berdiri tegak, bagai seekor singa yang mengawasi anaknya. Demikian pula Leo, telinganya berdiri, dan bulu-bulu di punggungnya meremang. Karena ibu mereka telah lama meninggal, Kyra merasa wajib menjaga Aidan, demi menggantikan sosok ibu yang telah hilang.

Brandon dan Braxton menyeretnya dengan kasar di jalan, jauh dari benteng, di jalan pedesaan yang lengang menuju ke hutan, dan Kyra melihat bahwa mereka akan memaksa adiknya itu untuk menghunus sebuah tombak yang terlalu besar ukurannya untuk Aidan. Aidan adalah bulan-bulanan yang terlalu mudah ditaklukkan oleh mereka berdua; Brandon dan Braxton memanglah tukang mengganggu. Mereka berdua kuat dan lumayan pemberani, namun tampaknya bualan mereka lebih hebat daripada keterampilannya, dan mereka selalu terlibat masalah yang tak mampu mereka selesaikan sendiri. Benar-benar menyebalkan!

Kyra segera paham apa yang tengah terjadi: Brandon dan Braxton menyeret Aidan bagaikan hasil buruan. Kyra melihat sekantung anggur di tangan mereka dan ia tahu bahwa kedua kakanya itu tengah mabuk, dan ia pun merasa kesal. Rupanya belum cukup bagi mereka membunuh binatang tak berdosa, dan kini mereka menyeret adiknya, meskipun Aidan meronta-ronta sekuat tenaga.

Naluri Kyra tersulut dan ia segera bertindak, ia berlari ke kaki bukit untuk menghadang mereka, sementara Leo ikut berlari di sampingnya.

"Kini kau telah cukup besar," kata Brandon pada Aidan.

"Sudah saatnya kau menjadi seorang laki-laki sejati," ujar Braxton.

Sembari terus berlari menuruni bukit berumput yang telah ia hafal betul, Kyra tak butuh waktu lama untuk segera sampai ke tempat mereka. Ia merangsek ke jalan dan berhenti di muka mereka, menghadang langkah mereka, tersengal-sengal menarik nafas dengan Leo berdiri di sebelahnya, dan segeralah langkah kedua kakaknya berhenti, lalu mereka menoleh ke belakang sambil tertegun.

Kyra melihat betapa raut muka Aidan berangsur lega.

"Kau tersesat?" ejek Braxton.

"Kau menghalangi jalan kami," kata Brandon. "Kembalilah bermain dengan panah dan tongkatmu."

Lalu kedua kakaknya tertawa mencemooh; namun Kyra mengernyitkan dahinya, tak sedikitpun bergeming, sedangkan Leo berdiri di sebelahnya dengan geram.

"Singkirkan binatang ini dari hadapan kami," kata Braxton, berusaha agar terdengar berani meskipun suaranya jelas menyiratkan ketakutan, terlihat dari genggamannya yang makin erat pada gagang tombaknya.

"Mau kalian bawa ke mana Aidan?" tanya Kyra dengan raut serius, matanya menatap mereka tanpa berkedip.

Mereka terhenti, perlahan raut muka mereka berubah tegang.

"Kami akan membawanya ke mana pun kami mau," kata Brandon.

"Ia akan pergi berburu untuk belajar menjadi seorang laki-laki sejati," ujar Braxton, dengan memperjelas kata-kata terakhirnya untuk menyindir Kyra.

Namun Kyra takkan menyerah begitu saja.

"Ia masih terlalu kecil," balas Kyra tegas.

Brandon memandang dengan masam.

"Kata siapa?" tanyanya.

"Kataku."

"Kau ibunya?" tanya Braxton.

Kyra memerah, ia meradang, berharap ibunya ada di situ sekarang.

"Dan kau pun bukan ayahnya," balas Kyra.

Mereka berdiri di situ dalam kebisuan yang tegang, dan Kyra menatap Aidan yang membalasnya dengan tatapan ketakutan.

"Aidan," tanya Braxton, "kau mau melakukan ini?"

Aidan tertunduk malu. Ia berdiri saja, terdiam, menghindari tatapan mata itu, dan Kyra tahu bahwa Aidan takut berkata-kata untuk membantah kakak-kakaknya.

"Baiklah, jadi itulah yang kau inginkan," kata Brandon. "Ia tak keberatan."

Kyra hanya berdiri dengan gemas, berharap Aidan berani berbicara, namun ia tak dapat memaksanya.

"Rasanya tak baik bila kalian mengajaknya berburu," ujar Kyra. "Badai mulai datang. Pun sebentar lagi malam akan tiba. Banyak bahaya di dalam hutan sana. Jika kalian ingin mengajarinya berburu, ajaklah lain kali saat ia sudah lebih besar."

Mereka kembali merengut karena jengkel.

"Tahu apa kau soal berburu?" tanya Braxton. "Apa yang pernah kau buru, selain pohon-pohon itu?"

"Pernahkah mereka menggigitmu?" imbuh Brandon.

Mereka berdua tergelak dan Kyra semakin marah, apa lagi yang harus ia lakukan. Jika Aidan tak mau menjawab, maka Kyra pun tak bisa apa-apa.

"Kau terlalu khawatir, adikku," tukas Brandon. "Bersama kami, takkan terjadi apa-apa pada Aidan. Kami hanya ingin membuatnya lebih pemberani—bukan membunuhnya. Kau pikir hanya dirimu saja yang peduli padanya?"

"Selain itu, Ayah pun ikut mengawasi," kata Braxton. "Apakah kau ingin mengecewakannya?"

Segera Kyra melihat di balik bahu mereka, di kejauhan, di atas menara yang tinggi, ia melihat ayahnya berdiri di dekat jendela terbuka yang berbentuk melengkung, tengah mengawasi mereka. Ia merasa kecewa pada ayahnya karena tak menghentikan ini semua.

Mereka hendak lewat, namun Kyra berdiri di situ, bergeming mencegat mereka. Mereka kelihatannya hendak merangsek mendorongnya, namun Leo maju di tengah-tengah mereka, menggeram, dan mereka pun mengurungkan niatnya.

"Aidan, ini belum terlambat," kata Kyra padanya. "Kau tak perlu melakukan ini. Maukah kau kembali ke benteng bersamaku?"

Ia mengamati Aidan dan terlihat olehnya mata Aidan berbinar, namun sekaligus tampak pula ketersiksaan di dalamnya. Lama mereka membisu, tanpa sepatah kata pun kecuali bunyi angin yang berdesir dan salju yang menderas.

Akhirnya, adiknya beringsut.

"Aku ingin berburu," ucapnya terbata dan ragu-ragu.

Kakak-kakaknya pun tiba-tiba merangsek ke depan, menabrak bahunya sembari menyeret Aidan, dan saat mereka berjalan cepat menyusuri jalan, Kyra berpaling dan mengamati mereka, dengan rasa muak di perutnya.

Kyra berbalik arah menuju ke benteng dan memandang ke atas ke menara, namun ayahnya tak lagi ada di sana.

Kyra terus mengamati hingga ketiga kakak-beradik itu menghilang dari pandangan, lenyap ditelan badai yang mulai datang, menuju ke Hutan Akasia, dan Kyra merasa sangat kesal. Sempat terpikir olehnya untuk merebut Aidan dan membawanya pulang—namun ia tak ingin mempermalukannya.

Ia tahu bahwa ia harus membiarkan hal ini terjadi—namun ia tak sanggup. Ada sesuatu dalam dirinya yang mencegahnya tinggal diam. Ia merasakan firasat adanya bahaya, terlebih dalam masa perayaan Bulan Musim Dingin seperti ini. Ia tak memercayai kedua kakak laki-lakinya; ia tahu bahwa mereka tak akan mencelakai Aidan, namun keduanya ini sungguh ceroboh dan terlalu kasar. Dan yang paling buruk, kedua kakaknya ini merasa terlalu percaya diri akan kemampuan yang mereka miliki. Itu adalah perpaduan sifat yang buruk.

Kyra tak tahan lagi. Jika ayahnya hanya diam saja, maka ia yang akan melakukannya. Kyra telah cukup umur—ia tak perlu menjawab pertanyaan siapa pun selain menjawab dirinya sendiri.

Maka Kyra bergegas, berlari menyusuri jalan pedesaan yang lengang bersama dengan Leo di sampingnya, dan menuju ke Hutan Akasia.




BAB DUA


Kyra memasuki Hutan Akasia yang suram di sebelah barat benteng, sebuah hutan yang amat lebat hingga sulit untuk melihat ada apa di dalamnya. Ia berjalan menembus hutan bersama dengan Leo, salju dan es bergemeretak di bawah kaki mereka, lalu ia menatap ke atas. Ia merasa kerdil di antara pohon-pohon akasia berduri yang seolah menjulang tinggi tanpa batas. Pohon-pohon hitam itu sudah sangat tua, dengan cabang-cabang yang saling berkelindan mirip duri, serta daunnya yang tebal dan hitam. Ia merasa hutan ini adalah sebuah tempat yang terkutuk; yang ada di sini hanyalah segala rupa nasib buruk. Anak buah ayahnya kembali dalam keadaan terluka setelah berburu di sini, dan entah sudah berapa kali para troll yang berhasil masuk ke Benteng Api bersembunyi di hutan ini dan menjadikannya sebagai tempat persiapan untuk menyerang penduduk desa.

Saat Kyra melangkah masuk ke hutan itu, segera saja ia merasakan hawa dingin yang mencekat. Hutan itu terasa lebih gelap, lebih dingin, udaranya lebih lembap, aroma pohon-pohon akasia tercium kuat, baunya seperti tanah yang membusuk, dan batangnya yang tinggi besar menghalangi berkas-berkas cahaya siang. Dalam kewaspadaannya, Kyra masih merasa geram pada kedua kakaknya. Berkeliaran di dalam hutan ini tanpa pengawalan para pasukan sangatlah berbahaya, terlebih pada senja hari. Setiap suara yang terdengar membuatnya kaget. Lalu terdengarlah suara jeritan hewan di kejauhan, lantas ia tersentak, membalikkan badan dan mencari asal datangnya suara. Namun hutan itu terlalu lebat sehingga ia tak mampu menemukannya.

Tetapi Leo menggeram di sampingnya, dan tiba-tiba berlari menghampiri suara tadi.

"Leo!" panggilnya.

Tetapi serigala itu telah berlalu.

Kyra mendengus kesal; begitulah selalu ulah Leo saat melihat binatang lain. Toh ia yakin, nanti Leo pasti akan kembali lagi padanya.

Kyra pun melanjutkan langkahnya, kali ini sendirian, sementara hutan bertambah gelap dan ia masih terus berusaha mencari jejak saudara-saudaranya—dan sekonyong-konyong ia mendengar suara tawa pecah di kejauhan. Ia memerhatikan, lalu berpaling ke arah datangnya suara dan melewati pepohonan yang lebat hingga menemukan saudara-saudaranya di depan.

Kyra memperlambat langkahnya, menjaga jarak dari mereka agar mereka tak tahu keberadaannya di situ. Ia paham, jika Aidan melihatnya maka ia akan merasa malu dan menyuruhnya kembali. Kyra memutuskan hanya akan mengawasi dengan diam-diam, hanya demi memastikan bahwa mereka semua baik-baik saja. Alangkah lebih baik untuk tidak mempermalukan Aidan, agar ia dapat merasakan dirinya menjadi seorang laki-laki sejati.

Sebatang ranting berderak saat terinjak dan Kyra segera merunduk, khawatir bunyi itu membuatnya ketahuan—namun kedua kakaknya yang mabuk tak menyadarinya, jarak mereka lima belas depa darinya, dan mereka berjalan dengan cepat sehingga bunyi itu tenggelam dalam gelak tawa mereka. Dari gerak-gerik tubuhnya, Kyra tahu bahwa Aidan merasa tegang, bahkan hampir menangis. Ia menggenggam tombak dengan erat, seolah ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia adalah seorang laki-laki, namun genggaman itu terlihat canggung pada tombak sebesari tiu, dan Aidan sendiri kesusahan menahan tombak seberat itu.

"Kemarilah!" teriak Braxton sambil berpaling ke arah Aidan yang tertinggal beberapa langkah darinya.

"Apa yang kau takutkan?" kata Brandon padanya.

"Aku tak takut—" Aidan bersikukuh.

"Diam!" sekonyong-konyong Brandon menghardik, menghentikan langkahnya dan menahankan telapak tangan di dada Aidan; kali ini raut mukanya terlihat serius. Braxton berhenti pula, dan mereka semua terlihat tegang.

Kyra bersembunyi di balik pohon sembari tetap mengawasi saudara-saudaranya. Mereka berdiri tepat di batas tanah terbuka, memandang lurus ke depan seolah tengah mengamati sesuatu.

Kyra merangkak maju dengan waspada, berusaha agar dapat melihat dengan lebih baik, dan saat ia menyelinap di antara dua buah pohon besar, langkahnya terhenti; ia tertegun karena sosok yang dilihatnya. Tampak olehnya seekor babi hutan yang tengah merumput sendirian di padang itu. Itu bukan babi hutan biasa; itu adalah Babi Hutan Tanduk Hitam yang mengerikan, babi hutan terbesar yang pernah ia temui, dengan taring putih panjang melengkung dan tiga tanduk hitam yang panjang dan tajam; satu buah tanduk mencuat dari moncongnya dan dua yang lain di atas batok kepalanya. Badannya hampir sebesar beruang, dan babi hutan semacam itu adalah hewan langka yang terkenal akan keganasan dan gerakannya yang secepat kilat. Babi hutan ini sangat ditakuti, dan tak ada seorang pun pemburu yang ingin bertemu dengannya.

Ini masalah besar.

Bulu di lengan Kyra meremang; ia berharap Leo ada di situ saat itu—namun ia pun bersyukur Leo tak ada, karena ia tahu Leo pasti akan segera menyergap babi hutan itu dan ia tak yakin apakah Leo mampu mengalahkannya. Kyra melangkah maju, perlahan melepaskan busur dari bahunya dan nalurinya menuntun tangannya meraih anak panah. Ia mencoba mengira-ngira jarak antara babi hutan itu dengan saudara-saudaranya, dan seberapa jauh ia berdiri dari hewan itu—dan ia merasa posisinya tak menguntungkan. Terlalu banyak pohon menghalangi untuknya melepaskan bidikan yang jitu—dan dengan babi hutan sebesar itu, ia tak boleh salah sedikit pun. Ia ragu apakah satu anak panah cukup untuk melumpuhkannya.

Kyra melihat raut ketakutan di muka kedua kakaknya, lalu Brandon dan Braxton menutupi rasa takutnya dengan berpura-pura menjadi pemberani—ia yakin itu pasti karena mereka tengah mabuk. Mereka berdua merengkuh tombak dan maju beberapa langkah. Demi melihat Aidan yang berdiri terpaku, Braxton berbalik lalu menarik bahu adiknya itu, kemudian memaksanya ikut melangkah maju.

"Inilah kesempatanmu untuk membuktikan diri sebagai seorang laki-laki," kata Braxton. "Bunuh babi hutan itu, dan mereka akan terus menyanjungmu."

"Bawa kepalanya dan kau akan menjadi tenar selamanya," kata Brandon.

"Aku...aku takut," jawab Aidan.

Brandon dan Braxton mencemooh lalu tertawa mengejek.

"Takut?" kata Brandon. "Lalu apa yang akan dikatakan oleh Ayah jika ia mendengarmu mengatakannya?"

Babi hutan itu bersiaga; ia mengangkat kepalanya, memperlihatkan mata kuningnya yang berkilat dan menatap mereka; mukanya mengernyit marah. Ia menyeringai memperlihatkan taringnya dan air liurnya menetes, sembari mengeluarkan geraman ganasnya yang berasal dari perutnya. Meskipun dari kejauhan, Kyra dapat merasakan ketakutan yang tiba-tiba menyergap—dan ia hanya dapat membayangkan seperti apa takutnya Aidan.

Kyra berlari tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, ia harus segera bertindak sebelum terlambat. Saat tinggal beberapa langkah lagi dari saudara-saudaranya, ia berseru:

"Minggir!"

Suaranya yang lantang memecah kesunyian, dan mereka pun berpaling karena terkejut.

"Cukup sudah main-mainnya," imbuh Kyra. "Biarkan saja."

Aidan tampak lega, namun Brandon dan Braxton merengut pada Kyra.

"Mau apa kau?" Hardik Brandon. "Berhentilah mengganggu laki-laki sejati."

Babi hutan itu menggeram makin dalam sembari melangkah ke arah mereka, dan Kyra pun, antara takut dan marah, melangkah maju.

"Jika kalian cukup tolol untuk menghadapi binatang ini, majulah," katanya. "Namun biarkan Aidan bersamaku saja di sini."

Brandon masam.

"Aidan akan baik-baik saja," balas Brandon. "Ia akan belajar caranya bertarung. Bukan begitu, Aidan?"

Aidan berdiri membisu, tertegun oleh rasa takutnya.

Kyra hendak melangkah maju dan merengkuh lengan Aidan tatkala didengarnya suara gemerisik dari padang di depannya. Ia melihat babi hutan itu mendekat, selangkah demi selangkah penuh ancaman.

"Babi hutan itu takkan menyerang jika tak diganggu," ujar Kyra meyakinkan kedua kakaknya. "Biarkan saja."

Namun kedua kakaknya mengabaikan kata-kata Kyra, lalu berbalik dan menghadapi binatang itu dan mengangkat tombaknya. Mereka maju ke arah padang, seolah hendak membuktikan betapa pemberaninya mereka.

"Aku akan mengincar kepalanya," kata Brandon.

"Dan aku akan membidik kerongkongannya," timpal Braxton.

Babi hutan itu menggeram makin keras, mulutnya menyeringai makin lebar, liurnya menetes, dan langkahnya mulai mengancam.

"Kembali kemari!" Kyra berteriak kehabisan akal.

Namun Brandon dan Braxton tak menyurutkan langkah, mengangkat tombaknya dan dengan cepat menghunjamkannya.

Kyra melihat dengan tegang saat tombak itu meluncur di udara, bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Seperti yang dicemaskannya, ia melihat tombak Brandon menggores telinga babi hutan itu, cukup untuk membuatnya mengucurkan darah—sekaligus membuatnya marah—, sedangkan tombak Braxton meleset, melenceng beberapa kaki jauhnya dari kepala babi hutan.

Untuk kali pertama, Brandon dan Braxton tampak ketakutan. Mereka berdiri terpaku dengan mulut menganga dan raut muka tolol, gelora yang timbul akibat minuman mereka yang memabukkan kini tergantikan oleh rasa takut.

Babi hutan yang marah itu merundukkan kepalanya, ia menggeram dengan suara mengerikan, dan sekejap kemudian berlari menyeruduk.

Kyra memandang dengan ngeri saat babi hutan itu menyerang kedua kakaknya. Itulah gerakan tercepat yang pernah ia lihat dari seekor binatang berukuran sebesar babi hutan itu, yang berlari melintasi rumput bagaikan seekor rusa.

Saat babi hutan itu mendekat, Brandon dan Braxton lari menyelamatkan diri, tunggang langgang ke segala arah.

Tinggal Aidan yang berdiri di sana, terpaku seorang diri, bergeming dalam takut. Mulutnya ternganga, genggamannya mengendur dan tombak terlepas dari tangannya, terjatuh ke tanah. Namun kira tahu bahwa toh tak akan ada bedanya; Aidan takkan mampu bertahan meskipun ia mencobanya. Bahkan seorang pria dewasa pun takkan sanggup. Dan babi hutan yang menyadari betapa lemah adikna itu pun mengalihkan sasaranya pada Aidan dan mengincarnya.

Dengan jantung berdegup kencang, Kyra segera bertindak karena ia tahu bahwa itulah satu-satunya kesempatan yang dimilikinya. Tanpa pikir panjang, ia berlari maju lewat sela-sela pepohonan, dengan busur yang telah siap di genggamannya karena ia hanya punya satu kesempatan membidik, dan bidikannya harus tepat. Dalam keadaan kalut semacam itu, sulit sekali membidik dengan baik, pun bila babi hutan itu tidak sedang berlari—tapi ia harus membidik dengan sempurna jika ingin nyawanya selamat.

"AIDAN, TIARAP!" teriaknya.

Mulanya Aidan bergeming. Aidan menghalanginya untuk membidik dengan tepat, dan saat Kyra mengangkat busurnya lalu berlari maju, ia sadar bahwa jika Aidan tidak segera bergerak maka satu-satunya kesempatan itu akan terlewatkan. Berlari dalam hutan semacam itu membuat kakinya terpeleset salju dan tanah yang basah, dan ia sempat merasa bahwa kesempatannya akan hilang.

"AIDAN!" teriaknya lagi dengan putus asa.

Ajaibnya, kali ini Aidan mendengar teriakan itu lalu bertiarap tepat pada saat-saat terakhir sehingga memberi ruang bagi Kyra untuk melepaskan anak panahnya.

Saat babi hutan itu hendak menyerang Aidan, tiba-tiba waktu seolah berjalan melambat bagi Kyra. Ia merasa bagai memasuki sebuah dunia lain, ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, dan sekaligus ia tak memahaminya. Dunia seolah menyempit dan terpusat di satu titik. Ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri, deru nafasnya, bunyi gemerisik dedaunan, dan burung-burung gagak yang berkoar-koar di udara. Ia merasa menyatu dengan alam lebih dari sebelumnya, seolah ia telah memasuki sebuah dunia di mana ia melebur dengan alam semesta.

Kyra merasa telapak tangannya dijalari suatu energi yang hangat dan menggelitik, dan ia tak mampu memahaminya; seolah ada kekuatan asing yang merasuk dalam tubuhnya. Seolah dalam sekejap saja ia berubah menjadi seseorang yang lebih besar dari dirinya sendiri, jauh lebih kuat.

Kyra memasuki alam bawah sadar di mana pikirannya tak lagi bekerja, dan ia membiarkan dirinya digerakkan oleh naluri yang murni, dan oleh kekuatan baru yang mengalir di dalam tubuhnya. Ia berdiri dengan kokoh, mengangkat busurnya, menyiapkan anak panah dan melesatkannya.

Tepat pada saat anak panah itu melesat, ia merasa bahwa bidikan itu adalah bidikan yang istimewa. Ia tak perlu mengarahkan ke mana anak panah itu harus melesat sesuai incarannya: mata kanan babi hutan itu. Ia memanah dengan sekuat tenaga sehingga anak panah itu menancap saat babi hutan itu tinggal berjarak nyaris satu kaki darinya sebelum akhirnya tumbang.

Babi hutan itu pun sekonyong-konyong mengerang saat kakinya saling tersandung, lalu roboh dengan kepala terjerembab. Tubuhnya tergelangsar dekat penghabisan tanah padang itu, menggeliat-geliat, masih bernyawa, hingga sampai di tempat Aidan. Akhirnya tubuh babi hutan itu berhenti tepat satu kaki jaraknya dari Aidan, amat dekat hingga nyaris bersentuhan dengannya.

Babi hutan itu mengejang di tanah, dan Kyra yang telah menyiapkan sebuah anak panah lagi, berjalan menghampirinya lalu berdiri mengangkangi tubuh babi hutan itu, kemudian ia hunjamkan lagi anak panah itu ke belakang batok kepala babi hutan. Akhirnya tubuh itu tak bergerak-gerak lagi.

Kyra berdiri membisu di tanah padang; jantungnya berdegup, rasa menggelitik di telapak tangannya berangsur surut, energi itu perlahan lenyap, dan ia terheran-heran atas apa yang baru saja terjadi. Benarkah ia yang memanah babi hutan itu?

Tiba-tiba ia teringat akan Aidan, dan saat ia meraih dan merengkuhnya, Aidan menatapnya seolah ia sedang menatap ibunya; matanya masih menyiratkan ketakutan, namun ia selamat. Ia merasakan setitik kelegaan saat menyadari bahwa dirinya baik-baik saja.

Kyra berpaling dan melihat kedua kakaknya masih bertiarap di tanah, sembari memandangnya dengan tertegun—dan kagum. Namun ada isyarat lain dalam tatapan mata mereka, sesuatu yang membuatnya gusar: kecurigaan. Seolah Kyra berbeda dengan mereka. Bagai seorang asing. Itu adalah tatap mata yang pernah Kyra lihat sebelumnya, kadang-kadang saja, namun cukup sering untuk membuat kira pun terheran-heran akan dirinya sendiri. Ia berbalik dan memandang binatang yang telah tewas itu, binatang yang mengerikan, besar; ia tertegun dan keheranan, bagaimana mungkin seorang gadis berusia lima belas tahun seperti dirinya mampu melakukan hal ini. Ia tahu bahwa ini di luar kemampuannya. Ini bukan sekadar bidikan yang beruntung.

Selalu ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda dari saudara-saudaranya. Ia berdiri saja di sana, membeku, ingin rasanya bergerak namun tak sanggup. Ia tahu bahwa yang membuatnya terguncang bukanlah binatang buas itu, melainkan cara kedua kakaknya memandang dirinya. Dan untuk kesekian kalinya ia tak mampu memahami jawaban dari pertanyaan yang tak pernah berani ia cari seumur hidupnya.

Siapakah sebenarnya dirinya?




BAB TIGA


Kyra berjalan di belakang saudara-saudaranya menyusuri jalan kembali ke benteng, sambil memandang mereka yang kerepotan memanggul beratnya babi hutan itu; Aidan ada di sampingnya dan Leo mengikutinya di belakang, ia telah kembali dari perburuannya sendiri. Brandon dan Braxton bersusah payah membawa binatang yang telah mati itu, yang terikat pada kedua tombak mereka dan dipanggulnya di bahu. Suasana hati mereka yang suram telah berubah drastis sejak keluar dari hutan dan kembali melihat langit luas, apalagi kini benteng ayah mereka telah terlihat. Langkah demi langkah, kepercayaan diri Brandon dan Braxton telah kembali, sebentar lagi kesombongan mereka akan muncul lagi; saat ini mereka mulai tertawa-tawa dan saling menggoda sembari membual tentang hasil buruan mereka.

"Tombakkulah yang menggores babi hutan itu," kata Brandon paa Braxton.

Braxton menimpali "Tetapi, tombakku yang membuatnya berlari ke arah panah Kyra."

Kyra menyimak, mukanya merah mendengar bualan mereka; kedua kakaknya yang bodoh lagi keras kepala itu mulai meyakinkan diri tentang cerita bualan mereka sendiri, dan sepertinya kini mereka mulai mempercayainya. Kyra telah siap dengan bualan mereka saat kembali ke benteng ayahnya nanti, kemudian mereka akan bercerita pada semua orang tentang buruan yang mereka bunuh itu.

Benar-benar menyebalkan! Namun ia merasa bukan tugasnya untuk menegur mereka. Ia benar-benar yakin akan roda keadilan, dan ia tahu bahwa pada akhirnya, kebenaran akan selalu terbukti.

"Dasar pembohong," kata Aidan sembari berjalan di belakang Kyra; tampak jelas bahwa Aidan masih gemetaran karena kejadian di hutan tadi. "Kalian tahu bahwa Kyra-lah yang membunuh babi hutan itu."

Brandon melirik sekilas ke belakang sekenanya, seolah Aidan tak lebih dari seekor serangga saja.

"Dan kau sendiri?" tanyanya pada Aidan. "Kau sibuk terkencing-kencing di celana."

Mereka berdua tertawa tergelak, seakan makin menegaskan bualan mereka.

"Dan kau tidak lari ketakutan?" tanya Kyra membela Aidan; ia sudah tak tahan lagi.

Mendengar itu, kedua kakaknya hanya bisa terdiam. Kyra dapat dengan mudah membungkam mereka—namun ia tak perlu berkata dengan suara yang meninggi. Kyra berjalan dengan riang, merasa senang pada dirinya sendiri karena dalam hati ia merasa telah menyelamatkan nyawa saudaranya; itu sajalah kepuasan yang ingin ia dapatkan.

Kyra merasa sebuah tangan kecil menyentuh bahunya, dan ia menoleh kepada Aidan yang tersenyum dan menghiburnya; tergambar jelas raut muka penuh syukur karena ia selamat dan baik-baik saja. Kyra bertanya-tanya adakah kedua kakaknya itu juga menghargai apa yang telah ia lakukan bagi mereka; toh, andaikan ia tak muncul tepat pada waktunya, mereka berdua juga akan tewas oleh babi hutan itu.

Kyra memandang babi hutan yang bergucang-guncang di depannya seiring tiap langkah kaki, dan ia pun menyeringai; ia berharap kedua kakaknya membiarkan saja babi hutan itu di ladang, tempat ia seharusnya berada. Babi hutan itu adalah binatang yang terkutuk, bukan milik Volis, dan tempatnya bukanlah di sini. Binatang itu adalah pertanda buruk, apalagi asalnya dari Hutan Akasia, lagipula ini adalah perayaan Bulan Musim Dingin. Ia teringat sebuah pepatah kuno yang pernah dibacanya: jangan membual setelah luput dari maut. Ia merasa bahwa kedua kakaknya itu bermain-main dengan takdir, mengundang malapetaka ke rumah. Ia tak dapat berbuat apa-apa, namun tampaknya akan muncul hal-hal yang buruk.

Mereka mendaki bukit dan setelah tiba di puncaknya, terlihatlah benteng ayahnya terbentang di depan mereka, dengan seluruh pemandangan yang melingkunginya. Meskipun angin bertiup makin kencang dan salju turun makin deras, Kyra merasakan kelegaan karena telah pulang ke rumah. Asap membumbung dari cerobong yang tampak bagai noktah hitam di sekitar pedesaan dan benteng ayahnya memancarkan pendar lembut dan redup, penuh dengan nyala api yang temaram, menerangi senja yang mulai datang. Jalanan mulai melebar, lebih rata saat makin dekat dengan jembatan, dan mereka mempercepat langkah serta berjalan dengan lebih bersemangat saat makin dekat dengan benteng. Jalan itu sibuk dengan hilir mudik orang, mereka bersemangat menyambut datangnya pesta perayaan meskipun di tengah cuaca yang buruk dan malam yang hampir tiba.

Kyra keheranan. Pesta perayaan Bulan Musim Dingin adalah salah satu perayaan terpenting dalam setiap tahun, dan semua orang sibuk mempersiapkan pesta itu. Banyak orang berkerumun di atas jembatan gantung, bergegas membeli barang-barang dari pedagang untuk mengikuti pesta di dalam benteng—sementara orang-orang yang keluar dari gerbang pun tak kalah banyaknya, bergegas pulang ke rumah untuk merayakannya bersama keluarga. Lembu-lembu menarik pedati dan mengangkut barang dari kedua arah, sementara para tukang batu menggepuk dan membelah batu di dekat tembok yang baru dibangun mengelilingi benteng; denting palu yang beradu terdengar di udara, bergantian dengan suara ternak dan lolongan anjing. Kyra tak paham bagaimana mereka mampu terus bekerja di tengah cuaca seperti ini, bagaimana tangan mereka tak membeku kedinginan.

Saat tiba di jembatan, mereka pun berbaur dengan orang banyak, lalu Kyra memandang jauh ke depan dan merasa muak karena apa yang dilihatnya di dekat gerbang benteng, yaitu beberapa Pasukan Pengawal, para prajurit pengawal Tuan Gubernur yang ditugaskan oleh Pandesia, dalam balutan baju zirah merah yang khas. Terbersit olehnya kegeraman akan apa yang dilihatnya itu, sama seperti kebencian yang dirasakan semua orang. Keberadaan Pasukan Pengawal selalu terasa menyesakkan—terlebih lagi pada saat pesta Bulan Musim Dingin, di mana mereka datang hanya untuk meminta segala rupa pungutan yang dapat mereka minta dari penduduk. Bagi Kyra, mereka ini tak ubahnya pemulung; perusuh dan pemulung yang menjadi kaki tangan para bangsawan busuk yang menduduki kekuasaan sejak invasi Pandesia.

Semua ini adalah salah Raja mereka sebelumnya, yang menyerah kepada Pandesia—namun kini tak ada gunanya. Sekarang sungguh memalukan, mereka harus tunduk hormat pada pasukan-pasukan ini. Hal ini membuat Kyra dipenuhi oleh amarah. Ketundukan itu membuat ayahnya dan prajurit-prajurit terbaiknya—serta semua kawan Kyra—menjadi tak lebih dari sekadar budak yang diangkat derajatnya; Kyra sungguh ingin mereka bangkit, berjuang demi kebebasannya, bertempur dalam perang yang tak berani dilakukan oleh Raja mereka yang terdahulu. Namun ia juga tahu bahwa jika mereka bangkit sekarang, maka mereka harus menghadapi kemurkaan Pasukan Pengawal. Mungkin mereka bisa mencegahnya jika mereka tak membiarkan para pasukan itu berkuasa; namun setelah kini para pasukan itu telah bercokol cukup lama, maka mereka tak punya banyak pilihan lagi.

Kyra dan ketiga saudaranya tiba di jembatan, berjalan di tengah-tengah keramaian orang, dan saat mereka lewat, orang-orang itu berhenti sejenak dari kesibukannya, memandang mereka dan menunjuk-nunjuk babi hutan itu. Kyra puas juga melihat kedua kakaknya bermandi keringat, terengah-engah memanggul babi hutan. Semua orang -baik penduduk desa maupun para prajurit- menoleh dan mulut mereka melongo, terkesima oleh besarnya babi hutan itu. Kyra juga mendapati tatap mata yang menyiratkan kekhawatiran tentang takhayul; sama seperti dirinya, beberapa orang di situ juga menduga-duga apakah babi hutan itu merupakan pertanda buruk.

Yang jelas, semua mata tertuju pada kedua kakaknya dengan penuh kebanggan.

"Tangkapan bagus untuk pesta nanti!" seru seorang petani yang tengah menuntun lembunya sembari menyusuri jalan bersama dengan mereka.

Raut muka Brandon dan Braxton pun berseri-seri bangga.

"Babi hutan itu cukup untuk santapan separuh tamu ayahmu!" teriak seorang tukang daging.

"Bagaimana caramu menangkapnya?" tanya seorang perajin pelana.

Kedua kakaknya saling berpandangan, dan Brandon akhirnya tersenyum lebar pada perajin itu.

"Bidikan yang jitu dan keberanian," jawab Brandon mantap.

"Jika kalian tak berani masuk ke hutan, maka kalian takkan tau apa yang bisa kalian dapatkan," imbuh Braxton.

Beberapa orang lain bersorak dan bertepuk tangan di belakang mereka. Kyra sendiri hanya diam. Ia tak butuh pengakuan dari orang-orang ini, karena ia tahu pasti apa yang telah dilakukannya.

"Bukan mereka yang membunuh babi hutannya!" Teriak Aidan geram.

"Diam kau!" Brandon menoleh dan menghardiknya pelan. "Sekali lagi kau ulangi, akan kuberitahu mereka bahwa kau terkencing-kencing di celana karena dikejar babi hutan."

"Tapi aku tidak terkencing di celana!" sanggah Aidan.

"Menurutmu mereka akan percaya pada omonganmu?" tambah Braxton.

Brandon dan Braxton tertawa, lalu Aidan memandang Kyra seakan ingin tahu apa yang akan Kyra lakukan selanjutnya.

Kyra hanya menggeleng.

"Jangan buang-buang tenaga," katanya pada Aidan. "Kebenaran selalu menang."

Kerumunan orang semakin ramai saat mereka melintasi jembatan; bahu mereka terus saling bersinggungan dengan orang-orang saat melewati atas parit. Kyra dapat merasakan kegembiraan menguar di udara seiring senja tiba, obor-obor menyala menerangi sisi atas dan bawah jembatan, dan salju turun semakin deras. Ia memandang ke depan dan seperti biasanya, jantungnya berdegup kencang saat melihat gerbang batu besar berbentuk melengkung di muka benteng, yang dijaga oleh selusin pasukan ayahnya. Di puncak lengkungan itu mencuat ujung-ujung tajam dari pintu gerbang besi yang tergantung; batang-batang besi yang tajam dan tebal itu cukup kokoh untuk menghalangi musuh, dan gerbang itu siap ditutup hanya dengan isyarat terompet tanda bahaya. Gerbang itu tergantung tiga puluh kaki tingginya, dan di atasnya terdapat sebuah lantai lebar yang membentang mengelilingi seluruh benteng, dinding pertahanan dari batu tempat penjaga yang selalu mengawasi dengan mata yang siaga. Volis adalah sebuah benteng yang kuat, dan Kyra selalu bangga akan benteng tersebut. Yang membuatnya semakin bangga adalah para pasukan di dalamnya, anak buah ayahnya, prajurit-prajurit terbaik Escalon, yang sedikit demi sedikit berkumpul kembali di Volis setelah tercerai berai sejak menyerahnya sang Raja; mereka bagai magnet yang menempel pada ayahnya. Berulang kali ia mendesak ayahnya agar menobatkan diri sebagai Raja yang baru, seperti halnya yang diinginkan oleh banyak orang—namun sang ayah hanya menggelengkan kepala dan berkata bahwa itu bukanlah takdirnya.

Ketika mereka telah dekat dengan gerbang, selusin anak buah ayahnya lewat dengan berkendara di atas kuda, dan orang-orang pun menyingkir memberi jalan pada mereka yang hendak menuju ke arena latihan, sebuah tanggul melingkar yang lebar pada sebidang tanah lapang di luar benteng yang dikelilingi oleh dinding batu rendah. Kyra berpaling dan memandang mereka berlalu, dan jantungnya berdegup makin kencang. Arena latihan adalah tempat kesukaannya. Ia suka pergi ke sana dan menyaksikan para prajurit itu berlatih selama berjam-jam, memelajari tiap gerakan yang mereka lakukan, cara mereka menunggang kuda, bagaimana mereka menghunus pedang, melontarkan tombak, atau mengayunkan bola berduri. Para prajurit ini tetap berlatih meskipun malam hampir tiba dan salju turun, meskipun sebuah pesta perayaan akan digelar pada hari itu, semata-mata karena mereka ingin berlatih agar lebih mahir, karena mereka lebih suka terjun ke medan pertempuran daripada berpesta di dalam ruangan, seperti dirinya. Bagi Kyra, mereka ini adalah prajurit-prajurit sejati.

Sepasukan prajurit lain melintas dengan berjalan kaki, dan saat berpapasan dengan Kyra dan saudara-saudaranya di gerbang benteng, para prajurit ini serta kerumunan orang lain di situ memberinya jalan, agar Brandon dan Braxton yang memanggul babi hutan dapat lewat dengan mudah. Mereka bersiul tanda kagum dan berkumpul; mereka adalah pria-pria besar berotot kekar, dengan tubuh satu kaki lebih tinggi dari kedua kakaknya yang tak bisa dibilang kecil, dan kebanyakan dari mereka memiliki jenggot yang sedikit beruban; mereka semua adalah pria-pria terlatih berusia tiga puluhan dan empat puluhan yang telah malang melintang dalam banyak pertempuran, yang telah mengabdi pada Sang Raja dan menanggung kehinaan karena Sang Raja akhirnya menyerah. Mereka adalah para pria yang tak akan pernah sudi menyerah. Pria-pria ini adalah orang-orang berpengalaman dan tak mudah kagum—namun kali ini sepertinya mereka terkagum-kagum akan babi hutan itu.

"Kalian sendiri yang membunuhnya, bukan begitu?" salah satu dari mereka menanyai Brandon, lalu mendekat dan mengamati babi hutan itu.

Kerumunan makin bertambah dan Brandon serta Braxton akhirnya berhenti, menanggapi pujian dan kekaguman pria-pria hebat itu, sembari berusaha mati-matian agar nafasnya tak terlihat terengah-engah.

"Ya, benar!" seru Braxton dengan bangga.

"Babi hutan Tanduk Hitam," kata seorang prajurit lain setelah mendekat dan meraba punggung babi hutan. "Tak pernah kulihat lagi sejak aku kecil. Aku pernah ikut membantu membunuh babi hutan semacam ini—namun saat itu aku bersama dengan banyak orang—dan dua dari antara mereka harus kehilangan jari-jari di tangannya."

"Yah, dan kami tidak kehilangan apa pun," tukas Braxton mantap. "Kecuali sebuah mata tombak."

Emosi Kyra terbakar saat para prajurit itu tertawa karena kagum akan hasil buruan itu; akan tetapi, seorang prajurit lain, pemimpin mereka, yaitu Anvin, melangkah maju dan memeriksa babi hutan itu dengan saksama. Para prajurit lain minggir, memberinya ruang karena rasa segan mereka padanya.

Anvin, komandan pasukan ayahnya, adalah pria yang paling Kyra kagumi; ia hanya tunduk pada ayahnya, dan dialah pemimpin para prajurit terbaik ini. Anvin bagaikan ayah kedua bagi Kyra, dan Kyra telah mengenalnya sejak kecil. Ia tahu bahwa Anvin amat menyayanginya, dan Anvin selalu menjaganya; dan yang paling penting, Anvin selalu meluangkan waktu baginya, mengajarinya teknik-teknik bertarung dan ilmu senjata, sedangkan tak satu pun prajurit lain mau melakukannya. Bahkan tak hanya sekali Anvin mengizinkannya berlatih bersama para prajurit yang lain, dan Kyra selalu menikmati setiap kesempatan yang diberikan padanya. Anvin adalah pria terkuat di antara mereka semua, namun sekaligus pria yang paling baik hati—tentunya pada orang-orang yang Anvin sukai. Pada orang lain yang tak Anvin sukai, Kyra hanya bisa turut prihatin.

Anvin sangat membenci kebohongan; ia adalah jenis pria yang harus selalu mengetahui kebenaran dari segala sesuatu, sesamar apa pun kebenaran itu. Ia memiliki mata yang jeli, dan saat ia melangkah maju lalu memeriksa babi hutan itu dengan cermat, Kyra melihatnya berhenti dan mengamati dua buah luka bekas anak panah. Anvin memiliki mata yang teliti, dan ia adalah satu-satunya orang yang mampu melihat kebenaran yang tersembunyi.

Anvin mengamati baik-baik dua buah bekas luka itu, memeriksa mata panah kecil yang masih menancap di dalamnya, serta serpihan kayu pada anak panah yang dipatahkan oleh kedua kakaknya. Kakak-kakaknya mematahkan anak panah dekat sekali dengan ujung mata panahnya, sehingga semua orang nyaris tak mengetahui apa sebenarnya yang melumpuhkan babi hutan itu. Namun Anvin bukanlah orang sembarangan.

Kyra melihat Anvin yang mengamati luka itu; mata Anvin menyipit dan Kyra tahu bahwa dalam sekejap Anvin telah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Anvin membungkuk, melepaskan sarung tangannya, memegang mata babi hutan itu lalu mengambil mata panah yang menancap di sana. Ia mengacungkannya, masih berlumuran darah; lalu ia berpaling pada kedua kakaknya dengan tatap mata curiga.

"Mata tombak, betul?" tanya Anvin menyanggah.

Kerumunan orang terdiam dan tegang karena Brandon dan Braxton tampak gugup. Mereka gelisah.

Kemudian Anvin memandang Kyra.

"Atau sebuah mata panah?" imbuhnya, dan Kyra merasa ini masih akan berlanjut hingga Anvin membuat kesimpulannya.

Anvin berjalan menghampiri Kyra, mengambil sebuah anak panah dari sarungnya, dan menjajarkannya dengan mata panah tadi. Semua orang bisa melihat, bahwa keduanya sama persis. Ia memandang Kyra dengan tatapan bangga dan penuh makna, dan Kyra merasa kini semua mata tertuju padanya.

"Bidikanmu, benar?" tanya Anvin padanya. Namun kata-kata itu lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan.

Kyra mengangguk.

"Benar," jawabnya datar; ia senang karena Anvin memberikan sebuah pengakuan atas kemampuannya, dan dengan begitu ia merasa bahwa kebenaran akhirnya terbukti.

"Dan bidikan itulah yang melumpuhkannya," ujar Anvin menyimpulkan. Sekali lagi kata-kata itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan; keputusan yang mantap dan tegas setelah mengamati babi hutan itu.

"Aku tidak melihat luka lain selain dua buah luka akibat anak panah ini," tambah Anvin seraya tangannya meraba babi hutan itu—lalu berhenti di telinganya. Anvin mengamati telinga babi hutan itu, lalu berpaling dan menatap Brandon serta Braxton dengan pandangan mencemooh. "Kecuali jika kalian menyebut goresan mata tombak ini sebagai luka."

Anvin menegakkan telinga babi hutan itu, dan muka Brandon serta Braxton merah padam saat para prajurit di situ tertawa terbahak-bahak.

Seorang prajurit termashyur anak buah ayahnya maju ke depan—Vidar, sahabat karib Anvin, seorang pria pendek dan kurus berusia tiga puluhan, dengan wajah suram dan bekas luka melintang di hidungnya. Dengan postur tubuhnya yang kecil, ia terlihat tak cocok menjadi prajurit; namun Kyra mengenal seperti apa sesungguhnya pria ini: Vidar keras bagaikan batu, ia terkenal akan kemampuan bertarung dengan tangan kosong. Ia adalah salah satu prajurit tertangguh yang pernah Kyra kenal, yang pernah merobohkan dua pria dengan badan dua kali lebih besar darinya. Karena tubuh kecilnya itu, banyak orang yang sembrono menjajal kemampuannya—dan akhirnya harus membayar mahal demi mendapatkan pelajaran berharga. Pria ini pun adalah pembimbing Kyra, dan ia selalu melindunginya.

"Sepertinya bidikan mereka berdua meleset," simpul Vidar, "dan gadis ini menyelamatkan nyawa mereka. Siapa yang mengajari kalian menombak?"

Brandon dan Braxton terlihat sangat gugup karena kebohongannya terkuak, dan tak satu pun dari mereka berani angkat bicara.

"Berbohong tentang hasil buruan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan," kata Anvin muram, sembari memandang kedua kakaknya. "Enyahlah sekarang juga. Ayah kalian ingin mendengar pengakuan jujurmu."

Brandon dan Braxton hanya dapat berdiri sambil belingsatan, jelas mereka merasa kikuk, saling memandang seolah berdebat jawaban apa yang harus mereka berikan. Sejauh ingatan Kyra, baru kali ini lidah kedua kakaknya kelu tak dapat berkata apa-apa.

Tepat saat kakak-kakaknya ini hendak mengucapkan sesuatu, sekonyong-konyong sebuah suara asing menyela.

"Tak peduli siapa yang membunuhnya," kata suara itu. "Babi hutan itu sekarang menjadi milik kami."

Kyra dan semua orang di situ berpaling, terkejut akan suara kasar dan asing itu—dan perutnya mendadak mual saat ia melihat segerombolan Pasukan Pengawal dengan baju zirahnya yang mencolok merangsek maju, dan orang-orang pun menyingkir. Mereka mendekati babi hutan itu, memandanginya dengan rakus, dan Kyra tahu bahwa mereka menginginkan hasil buruan ini—bukan lantaran mereka memang memerlukannya, namun sekadar demi mempermalukan orang-orang di situ, dengan merampas apa yang mereka banggakan. Leo menggeram di sampingnya, lalu ia mengelus lehernya untuk menenangkan dan menahannya.

"Atas nama Tuan Gubernur, kami ambil babi hutan ini," kata Pemimpin Pasukan Pengawal, seorang prajurit berbadan gempal dengan kening yang rendah, alis tebal, perut buncit dan wajah tolol yang berkerut. "Beliau berterima kasih atas hadiah dari kalian pada pesta perayaan ini."

Ia memberi isyarat pada anak buahnya dan mereka pun maju mendekati babi hutan itu, lalu hendak mengambilnya.

Tiba-tiba Anvin melangkah dengan Vidar di sisinya, lalu menghalangi mereka.

Orang-orang terkesiap—tak seorang pun berani menentang Pasukan Pengawal; demikianlah bunyi aturan tak tertulisnya. Tak seorang pun ingin menyulut amarah Pandesia.

"Setahuku, tak ada yang memberikan hadiah ini padamu," kata Anvin dengan suara dingin, "tidak juga pada Tuan Gubernur."

Kerumunan orang bertambah banyak, ratusan penduduk desa berkumpul untuk menyaksikan perselisihan ini, dan merasa bahwa pertikaian akan timbul. Saat itu juga, beberapa orang yang lain menyingkir, memberi ruang bagi dua orang yang tengah saling berhadapan ini, dan suasana pun semakin menegangkan.

Kyra merasa jantungnya berdegup kencang. Tak sadar, tangannya menggenggam erat busur miliknya karena suasana makin memanas. Seberapa pun ia menginginkan pertempuran dan menginginkan kebebasan, ia juga tahu bahwa orang-orang ini tak sanggup menanggung murka Tuan Gubernur; bahkan jika entah bagaimana mereka mampu mengalahkan para Pasukan Pengawal ini, Kerajaan Pandesia telah siap di belakang Pasukan Pengawal. Pandesia sanggup mengumpulkan pasukannya yang luar biasa banyak.

Namun di saat yang sama, Kyra sangat bangga pada Anvin yang berani menghadapi mereka. Akhirnya, ada juga seseorang yang berani menghadapinya.

Pemimpin Pasukan itu memandang Anvin dengan marah.

"Beraninya kau membantah Tuan Gubernur?" tanyanya.

Anvin bergeming.

"Babi hutan ini milik kami—tak seorang pun sudi memberikannya padamu," kata Anvin.

"Tadinya milik kalian, tapi sekarang ini milik kami," sanggah Pemimpin Pasukan Pengawal. Ia memandang anak buahnya. "Ambil babi hutan ini," perintahnya.

Para Pasukan Pengawal maju, dan pada saat yang sama para pasukan ayahnya pun maju, mendukung Anvin dan Vidar, menghalangi jalan Pasukan Pengawal, dengan senjata yang siap terhunus.

Ketegangan makin memuncak, Kyra menggenggam erat-erat busurnya hingga buku-buku jarinya berwarna putih; ia berdiri di situ dengan perasaan yang amat ngeri, ia merasa dirinyalah yang mengakibatkan masalah ini timbul, karena dialah yang membunuh babi hutan itu. Firasatnya berkata bahwa akan terjadi hal yang buruk, dan ia menyumpahi kedua kakaknya yang membawa pulang binatang terkutuk itu ke desa, terlebih saat ini adalah Bulan Musim Dingin. Keanehan-keanehan selalu muncul pada saat pesta perayaan; itulah saat-saat mistis di mana konon arwah orang mati akan menyeberang ke alam lain. Mengapa pula kedua kakaknya ini memanggil arwah-arwah itu dengan cara demikian?

Saat kedua pemimpin pasukan itu saling berhadapan, anak buah ayahnya telah bersiap menghunus pedang, dan pertumpahan darah akan pecah sebentar lagi; tiba-tiba sebuah suara berwibawa terpekik di udara, memecah kesunyian.

"Buruan ini milik gadis itu!" demikian kata suara itu.

Suara itu lantang dan mantap, sebuah suara yang mampu mengalihkan perhatian, suara yang Kyra kagumi dan hormati lebih dari apa pun di dunia ini; itulah suara ayahnya, Komandan Duncan.

Semua mata tertuju padanya saat sang ayah tiba, lalu kerumunan orang banyak menyingkir dengan segan, memberinya jalan. Ia berdiri di situ dengan badannya yang tegap, dua kali lebih tinggi dari semua orang di situ, dengan dada yang jauh lebih bidang, dengan jenggot coklatnya yang lebat dan rambut panjang kecoklatan, dihiasi oleh semburat abu-abu dari ubannya; bahunya berbalut mantel bulu dan dua buah pedang panjang tersandang di pinggangnya, serta sebuah tombak tersampir di punggungnya. Baju yang dikenakannya adalah zirah hitam Volis, dengan ukiran naga di bagian dadanya, yang menjadi lambang desanya. Pedangnya terasah oleh begitu banyak pertempuran, dan ia sendiri memancarkan pengalaman yang mumpuni. Ia adalah seseorang yang pantas ditakuti, seorang pria yang layak dikagumi, seorang pria yang terkenal adil dan bijaksana. Ia adalah sosok yang dicintai, dan yang paling penting, ia adalah seseorang yang terhormat.

"Babi hutan itu milik Kyra," ulangnya, melihat sekilas penuh sanggahan pada kedua kakaknya, lalu berpaling dan menatap Kyra; tak dipedulikannya para Pasukan Pengawal di situ. "Biarlah ia yang menentukan nasibnya."

Kyra terkesiap oleh kata-kata ayahnya. Ia tak pernah menduga kata-kata itu, tak pernah pula ia menduga akan diberi tanggung jawab seperti ini, sehingga ia harus membuat keputusan yang sulit. Mereka berdua tahu bahwa ini lebih dari sekadar keputusan soal seekor babi hutan, namun ini soal nasib rakyat mereka.

Kedua belah pasukan yang tegang berjajar berhadapan, semuanya siap menghunus pedang; dan saat Kyra memandangi wajah-wajah itu, mereka semua berpaling padanya, semua menunggu jawabannya; ia mengerti benar, pilihan yang akan ia buat, kata-kata yang akan ia ucapkan, akan menjadi kata-kata paling penting yang pernah keluar dari mulutnya.




BAB EMPAT


Merk menyusuri jalan setapak di dalam hutan dengan perlahan, ia tengah menuju ke Whitewood, sembari merenungi hidupnya. Empat puluh satu tahun dalam hidupnya adalah masa yang berat; ia belum pernah meluangkan waktu untuk berjalan menyusuri hutan, demi mengagumi keindahan di sekitarnya. Ia memandang dedaunan putih yang bergemerisik di bawah kakinya, ditingkahi bunyi tongkatnya saat ia menapakkak kakinya di tanah hutan yang lunak; ia memandang ke depan sembari berjalan, menikmati keindahan pepohonan Aesop, dengan daun-daun putihnya dan cabang-cabang merah merona, gemerlapan tertimpa sinar matahari pagi. Daun-daun gugur menimpanya bagai salju yang turun, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, ia merasakan suasana damai yang sejati.

Dengan tinggi badan dan posturnya yang sedang, rambutnya yang hitam legam, wajah yang lama tak bercukur, rahang lebar, tulang pipi yang panjang dan menonjol, serta mata hitam yang lebar dengan kantung mata hitam di bawahnya, Merk selalu terlihat seperti orang yang kurang tidur. Dan memang itulah yang ia rasakan. Kecuali hari ini. Hari ini, ia akhirnya merasa dapat beristirahat. Di sini, di Ur, di ujung timur laut Escalon, salju tidak turun. Angin hangat berembus dari laut, namun saat angin bertiup ke barat, cuaca menjadi lebih hangat dan bunga-bunga beraneka warna akan mekar. Cuaca seperti itu membuat Merk bisa singgah hanya dengan mengenakan sepotong jubah, tanpa harus menghangatkan diri dari angin yang dingin, seperti kebanyakan orang di Escalon. Ia masih membiasakan diri mengenakan jubah untuk menggantikan baju zirah, menggunakan tongkat sebagai pengganti pedang, dan menumpukan tongkatnya pada dedaunan alih-alih menusuk lawannya dengan pisau belati. Ini semua adalah sesuatu yang baru baginya. Ia tengah mencoba seperti apa rasanya menjadi seseorang yang ia dambakan. Rasanya sangat damai—namun ganjil. Seolah ia sedang berpura-pura menjadi orang lain.

Itu semua lantaran Merk bukanlah seorang pengelana, dan bukan seorang pertapa—pun ia bukanlah seorang pecinta damai. Dalam dirinya, mengalir darah seorang prajurit. Dan ia bukanlah prajurit sembarangan; ia adalah seseorang yang bertempur dengan caranya sendiri, dan ia tak pernah kalah. Ia adalah seorang pria yang tak takut menghadapi pertempuran, entah itu pertempuran dengan tombak di atas kudanya atau perkelahian di kedai minum yang sering ia kunjungi. Seperti sebutan orang-orang, ia adalah seorang prajurit bayaran. Seorang pembunuh. Ahli pedang bayaran. Ada banyak julukan untuk dirinya, termasuk julukan yang kurang ajar; namun Merk tak ambil pusing soal julukan, pun tak peduli akan anggapan orang atas dirinya. Yang ia pedulikan hanyalah bahwa ia merupakan salah satu petarung terbaik.

Sesuai dengan pekerjaannya, Merk memiliki banyak nama yang dapat ia ganti-ganti sesukanya. Ia tak suka dengan nama pemberian ayahnya—dan sesungguhnya ia pun tak menyukai ayahnya—, maka ia tak akan menjalani hidup cukup dengan satu nama yang diberikan orang padanya. Merk adalah orang yang paling sering berganti nama, dan ia menyukai nama yang dipakainya saat ini. Ia tak peduli orang lain akan memanggilnya dengan nama yang mana. Hanya dua hal yang ia pedulikan dalam hidup ini, yaitu: menemukan tempat yang tepat untuk menancapkan belatinya, dan memastikan bahwa orang yang menyewanya membayar upahnya dengan emas, dalam jumlah yang besar.

Sejak kecil Merk sadar bahwa ia memiliki bakat alami, yang membuatnya selalu lebih unggul dari orang lain dalam segala hal. Saudara-saudara laki-lakinya, sama seperti ayah dan moyangnya yang termashyur, adalah para bangsawan luhur dan terhormat, dalam balutan baju zirah, berlapis besi terbaik, menunggang kuda, mengibarkan panji-panji kebesaran dengan rambut yang indah serta memenangkan perlombaan, lantas para gadis terpesona, menaburkan bunga di bawah kaki mereka. Mereka amat bangga pada dirinya sendiri.

Toh, Merk tak suka dengan segala kemegahan dan kegemerlapan itu. Para ksatria itu tampak kaku saat bertarung, sangat tak cakap, dan Merk sama sekali tak menaruh hormat pada mereka. Pun ia tak butuh pengakuan, lencana atau panji-panji atau jubah atau senjata seperti yang didambakan oleh para ksatria itu. Barang-barang semacam itu hanyalah untuk mereka yang tak punya sesuatu yang paling penting, yaitu: kemampuan untuk membunuh dengan cepat, tepat dan tenang. Dalam benaknya, tak ada lagi hal yang lebih penting.

Sewaktu kecil, ada beberapa kawannya yang terlalu lemah untuk membela diri, dan mereka menghadapi masalah; lalu mereka mendatangi Merk yang saat itu telah tenar karena keahliannya bermain pedang, dan Merk pun mendapat bayaran untuk membantu mereka. Para pengganggu kawan-kawannya itu tak pernah berani mengusik mereka lagi, sejak Merk menunjukkan keberaniannya. Kabar cepat tersebar tentang keberanian Merk; ia pun lebih sering disewa, dan kemampuan membunuhnya pun meningkat.

Merk bisa saja memilih menjadi seorang ksatria, seorang prajurit terkenal seperti saudara-saudaranya. Namun toh ia lebih memilih bekerja diam-diam semacam ini. Yang menarik baginya adalah bagaimana memenangi pertarungan, kecepatan membunuh lawan, dan ia segera tahu bahwa para ksatria itu, dengan senjata-senjatanya yang hebat dan baju zirah tebal, tak sampai separuh kemampuannya dalam hal kecepatan atau ketepatan membunuh lawan, sedangkan ia hanyalah seorang pria yang bertarung seorang diri, dengan baju kulit dan belati yang tajam.

Saat ia berjalan sembari menumpukan tongkatnya pada dedaunan, ia teringat suatu malam di sebuah kedai minum bersama saudara-saudara laki-lakinya, tatkala terjadi pertikaian dengan kstaria lawan. Saudaranya terkepung, kalah jumlah, dan saat para ksatria itu masih sibuk berbasa-basi sebelum bertarung, Merk tak mau berlama-lama. Ia melesak cepat dengan belati di tangannya dan menggorok leher semua lawannya, sebelum mereka sempat menghunus pedangnya.

Semestinya saudara-saudaranya berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawa mereka—namun mereka semua justru menjauhinya. Mereka takut akan dirinya, dan mereka meremehkan dirinya. Itulah ungkapan terima kasih yang ia dapatkan, dan pengkhianatan yang sangat melukai hati Merk lebih dari apa pun juga. Hal itu semakin membuat hubungan mereka renggang, ditambah dengan segala tetek bengek keningratan dan kesopansantunan. Di matanya, semua itu tak lebih dari kemunafikan, keegoisan; mereka kini mungkin dapat berjalan congkak dengan baju zirah yang mengkilap dan meremehkan dirinya, namun tanpa Merk dan belatinya, mereka pastilah telah terbujur kaku meregang nyawa di kedai minuman itu.

Merk terus berjalan, menghela nafas, berusaha melupakan masa lalunya. Dalam perenungannya, ia menyadari bahwa ia tak sepenuhnya tahu dari mana bakatnya itu berasal. Mungkin karena ia gesit dan tangkas; mungkin juga karena gerakan lengan dan tangannya sangat cepat; mungkin karena ia punya bakat istimewa untuk menemukan titik lemah di tubuh manusia; mungkin karena ia tak pernah ragu-ragu beraksi lebih berani, untuk melakukan tusukan pamungkas yang tak dapat dilakukan oleh orang lain; mungkin; mungkin karena ia melumpuhkan lawannya dalam sekali serang; atau mungkin karena ia mampu berimprovisasi, sanggup membunuh dengan senjata apa pun yang ia miliki—entah itu bulu ayam, palu, atau batang kayu tua. Ia jauh lebih terampil dari orang lain, lebih pandai menyesuaikan diri dan kakinya bergerak lebih cepat—sebuah kombinasi yang mematikan.

Seiring ia beranjak dewasa, semua ksatria angkuh itu makin menjauhinya, bahkan diam-diam mengejeknya (karena tak seorang pun dari mereka yang berani mengejeknya terang-terangan). Namun kini saat usia mereka tak lagi muda, ketika kekuatan mereka telah berkurang dan seiring namanya yang semakin tenar, ia adalah satu-satunya yang menjadi pasukan kerajaan, sementara semua saudaranya yang lain telah terlupakan. Ini semua lantaran para saudaranya itu tak memahami bahwa kesopansantunan tidak membuat seseorang layak menjadi raja. Alih-alih, yang menentukan adalah kekerasan yang berbahaya dan kejam, ketakutan, kemampuan menaklukkan lawan, dan sekaligus kemampuan membunuh yang mengerikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan saat tugas nyata sebagai seorang raja harus dituntaskan, kepada dirinyalah mereka menyerahkannya.

Dengan setiap jejakan tongkat pada dedaunan, Merk teringat akan setiap lawan yang dibunuhnya. Ia pernah membunuh musuh bebuyutan sang Raja—bukan dengan meracuninya—musuh yang pernah mereka coba tumpas dengan menyewa pembunuh bayaran, ahli pembuat racun, dan wanita penggoda. Musuh terbesar yang ingin mereka bunuh demi menyampaikan sebuah pesan, dan untuk itu, mereka membutuhkan bantuan Merk. Mereka menginginkan kematian yang mengerikan, yang dilihat oleh banyak orang: dengan belati yang menancap di bola matanya; dengan mayatnya yang tergeletak di pelataran terbuka, atau terjuntai di jendela, agar semua orang bisa melihatnya keesokan paginya, agar semua orang bertanya-tanya siapa gerangan yang berani melawan sang Raja.

Namun saat Raja Tarnis menyerah dan takluk pada Pandesia, Merk pun merasa pupus, dan untuk kali pertama ia merasa tak ada tujuan dalam hidupnya. Tanpa mengabdi pada sang Raja, ia merasa hidupnya terombang-ambing. Sesuatu yang telah lama bergejolak dalam dirinya kini muncul lagi, dan entah mengapa ia tak dapat memahami, betapa dirinya mulai mempertanyakan arti hidupnya. Seluruh hidupnya diisi oleh hasrat akan kematian, dorongan untuk membunuh dan mencabut nyawa lawannya. Hidupnya terasa demikian mudah—bahkan terlalu mudah. Namun kini, ada sesuatu dalam dirinya yang tengah berubah; seolah ia nyaris tak memiliki pijakan yang mantap dalam hidupnya. Ia sangat paham betapa rapuhnya hidup ini, betapa mudahnya hidup ini berakhir, namun kini ia mulai bertanya-tanya bagaimana mempertahankan hidupnya. Jika hidup demikian rapuh, bukankah mempertahankan hidup itu adalah tantangan yang jauh lebih berat daripada mengakhirinya?

Dan dalam hatinya, ia mulai bertanya: apakah hidup ini yang telah ia renggut dari lawan-lawannya?

Merk tak mengerti apa yang membuatnya mulai merenungkan diri, namun jelas perenungan ini membuatnya merasa tak enak hati. Ada sesuatu yang muncul dari dalam dirinya, rasa muak yang tak terperikan, dan ia menjadi jijik membunuh—rasa jijik itu kini sama besarnya dengan kesukaannya untuk membunuh di masa lalunya. Ia berharap ada sesuatu yang dapat ia anggap menjadi pemicu dari semua ini—misalnya, pembunuhan yang ia lakukan pada seseorang—tapi bukan itu juga penyebabnya. Perasaan itu muncul begitu saja dalam dirinya, tanpa sebab. Dan itulah perasaan yang paling mengganggu.

Tidak seperti prajurit bayaran lainnya, Merk hanya mau menerima pekerjaan untuk membunuh seseorang yang memang pantas dibunuh. Namun di kemudian hari, ketika ia telah menjadi sangat ahli, saat bayaran yang ia terima telah sedemikian besar, dan orang-orang yang menyewanya adalah orang-orang penting, maka prinsipnya itu mulai kabur; ia mau diupah untuk membunuh orang-orang yang tak semestinya dibunuh, bahkan tak perlu dibunuh sama sekali. Dan itulah yang membuatnya merasa tak enak hati.

Mark begitu ingin dapat membatalkan semua pembunuhan yang pernah ia lakukan, untuk membuktikan pada orang bahwa dirinya dapat berubah. Ia ingin menghapus masa lalunya, untuk mengembalikan apa yang telah dilakukannya, untuk menebus dosanya. Ia telah bersumpah pada diri sendiri bahwa ia tak akan pernah membunuh lagi; ia tak akan mau diupah untuk membunuh lagi; ia akan menghabiskan sisa hidupnya untuk memohon ampun pada Sang Kuasa; ia akan mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain; ia bersumpah akan menjadi seseorang yang lebih baik. Dan semua sumpahnya itulah yang membawanya ke jalan setapak di dalam hutan yang tengah ia susuri dengan tongkatnya ini.

Merk melihat jalan setapak itu menanjak di depannya lantas menurun curam, berseri oleh dedaunan putih, dan ia memandang lagi ke kaki langit untuk mencari di mana Menara Ur. Namun belum juga ia menemukan tanda-tanda keberadaannya. Ia tahu bahwa jalan ini akhirnya akan sampai ke menara itu; inilah perjalanan batin yang telah memanggilnya berbulan-bulan yang lalu. Sejak kecil ia begitu terpesona oleh kisah tentang Sang Penjaga, ordo rahasia para pertapa/ksatria, separuh manusia dan separuh makhluk lain, yang bertugas menghuni dua buah menara—yaitu Menara Ur di barat laut dan Menara Kos di tenggara—dan mengawasi pusaka keramat Kerajaan: Pedang Api. Legenda membuktikan bahwa Pedang Api adalah pusaka yang menjaga Benteng Api tetap bertahan. Tak ada yang tahu pasti di menara mana pedang itu tersimpan; itu adalah sebuah rahasia yang tersimpan rapat yang hanya diketahui oleh Sang Penjaga pertama. Jika pedang itu sampai dipindahkan atau dicuri, maka Benteng Api akan musnah selamanya—dan Escalon akan sangat mudah diserang.

Konon menjadi penjaga menara adalah sebuah panggilan mulia, sebuah tugas suci dan tugas kehormatan—tentu saja jika Sang Penjaga menerimamu. Merk selalu bercita-cita menjadi Sang Penjaga sejak ia kecil; tiap malam menjelang tidur, ia selalu membayangkan seperti apa rasanya bergabung dengan Sang Penjaga. Ia ingin meleburkan diri dalam kesendirian, dalam pengabdian, dalam perenungan diri, dan ia tahu bahwa tak ada cara yang lebih baik selain menjadi Sang Penjaga. Merk telah merasakannya. Ia telah mengganti baju zirahnya dengan mantel kulit, mengganti pedang dengan tongkat, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, telah sebulan penuh ia jalani tanpa membunuh atau melukai seseorang. Ia mulai merasa lebih baik.

Ketika berjalan mendaki sebuah bukit kecil, Merk memandang ke sekeliling dengan penuh harapan seperti yang telah dilakukannya selama beberapa hari ini, berharap siapa tahu dari puncak bukit ini ia bisa menemukan di mana letak Menara Ur. Namun ia tak melihatnya di mana pun—yang ia lihat hanyalah hamparan hutan, yang membentang sejauh matanya memandang. Toh ia tahu bahwa ia sudah semakin dekat dengan menara itu—setelah perjalanan berhari-hari, menara itu pasti tak jauh lagi letaknya.

Merk kembali berjalan menuruni jalan setapak yang menurun; hutan semakin lebat, dan tatkala sampai di kaki bukit, ia melihat sebuah pohon yang besar tumbang menghalangi jalannya. Ia berhenti dan mengamati pohon itu, mengagumi ukurannya dan berpikir bagaimana cara memutar untuk melewatinya.

"Menurutku jaraknya jauh sekali," bisik sebuah suara jahat di telinganya.

Mark segera mengenali maksud jahat dari suara yang didengarnya itu, sesuatu yang sangat ia pahami, dan ia bahkan tak perlu memalingkan wajahnya untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia mendengar daun-daun bergemerisik di sekelilingnya, dan dari dalam hutan muncullah wajah-wajah empunya suara tadi: para pembunuh keji, masing-masing dengan wajah yang sangat mengerikan. Mereka adalah orang-orang yang sanggup membunuh tanpa alasan. Itulah wajah-wajah begal dan pembunuh yang memburu orang-orang lemah secara acak, dengan kekejaman yang tak berperikemanusiaan. Bagi Merk, mereka adalah golongan manusia paling nista.

Merk sadar bahwa ia telah terkepung dan ia telah memasuki perangkap. Ia memandang sekilas ke sekeliling tanpa mereka menyadarinya; naluri lamanya bangkit dan ia menghitung bahwa mereka semua berdelapan jumlahnya. Mereka semua memegang belati, semuanya mengenakan baju dari kain-kain bekas, dengan wajah, tangan dan kuku yang kotor, tak satu pun dari mereka yang bercukur, dan semuanya tampak nekat, yang menunjukkan bahwa mereka belum makan selama berhari-hari lamanya. Dan mereka semua merasa jemu.

Mark merasa tegang saat pimpinan begal itu mendekat, namun bukan lantaran ia takut pada mereka; jika boleh memilih, Mark sanggup membunuh mereka, semuanya, tanpa kesulitan berarti. Yang membuatnya tegang adalah karena ia dipaksa melakukan kekerasan. Ia telah bertekad untuk menaati sumpahnya, apa pun risikonya.

"Lihat, apa yang kita dapatkan di sini?" salah satu dari mereka bertanya pada yang lain, lalu mendekat dan berjalan mengitari Merk.

"Sepertinya ia seorang pertapa," sahut yang lain dengan suara mengolok. "Tapi sepatunya itu bukan sepatu pertapa."

"Mungkin ia adalah seorang pertapa yang menganggap dirinya seorang prajurit," seorang dari mereka berkata sambil terbahak.

Tawa mereka pecah, dan salah satu dari mereka -seorang pria tolol berusia empat puluhan dengan gigi depan yang ompong- membungkuk ke arah Merk dengan nafasnya yang bau, lalu menepuk-nepuk pundak Merk. Dulu, Merk pasti sudah membunuh seseorang yang berani maju sedekat itu dengannya.

Namun Merk yang sekarang telah bertekad menjadi seorang manusia yang lebih baik, demi mengalahkan kekerasan—bahkan jika kekerasan itu mengancam dirinya. Merk memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam, menahan dirinya agar tetap tenang.

Jangan menggunakan kekerasan, katanya pada diri sendiri berulang-ulang.

"Sedang apa pertapa ini?" salah satu dari mereka bertanya. "Berdoa?"

dan meledaklah lagi tawa mereka.

"Tuhanmu tak akan menyelamatkanmu kali ini, nak!" seru yang lain.

Merk membuka matanya dan menatap tajam pada pria tolol itu.

"Aku tak ingin melukai kalian," kata Merk tenang.

Tawa mereka pun makin kencang dari sebelumnya, dan Merk sadar bahwa dengan tetap tenang, tidak menanggapi dengan kekerasan, adalah hal paling sulit yang pernah dilakukannya.

"Beruntunglah kami ini!" balas salah seorang dari mereka.

Mereka tertawa lagi, lalu tiba-tiba mereka diam saat pemimpin kawanan ini maju dan berhadapan dengan muka Merk.

"Tapi mungkin, kami ingin mencelakaimu," katanya dengan nada serius, dekat sekali dengan wajah Merk sehingga ia bisa mencium bau busuk nafas pria itu.

Seorang dari berdiri di belakang Merk, menyilangkan lengannya yang besar ke tenggorokan Merk dan mencekiknya. Merk megap-megap karena tercekik; cekikan itu cukup kuat untuk menyakitinya, namun tak sampai menghentikan nafasnya. Naluri alamiahnya adalah mencengkeram pria itu lalu membunuhnya. Mudah sekali; ia tahu benar titik di lengan yang harus ditekan agar cekikan itu terlepas. Namun ia menahan diri untuk tidak melakukannya.

Biarkan saja, katanya dalam hati. Inilah permulaan dari kerendahan hati.

Merk memandang pemimpin begal itu.

"Ambillah milikku semau kalian," kata Merk dengan nafas megap-megap. "Ambillah, dan pergilah."

"Bagaimana jika kami mengambilnya dan kami tetap di sini?" balas pemimpin itu.

"Tidak ada yang menanyaimu tentang apa yang bisa dan tidak bisa kami ambil, nak," kata yang lain.

Salah satu dari mereka maju dan menggeledah lengan baju Merk, tangannya mengaduk-aduk kantong berisi barang-barang kepunyaannya yang terakhir di dunia ini. Merk menahan diri sekuat tenaga untuk tetap tenang saat tangan orang itu menggeledah segala barang miliknya. Akhirnya, mereka menemukan belati perak tua, senjata kesukaanya, dan Merk yang masih kesakitan tetap berusaha tidak bereaksi.

Biarkan saja, katanya dalam hati.

"Apa ini?" tanya salah satu dari mereka. "Sebuah belati?"

ia menatap Merk.

"Mengapa seorang pertapa sepertimu membawa sebuah belati?" tanya seorang dari begal-begal itu.

"Apa yang kau lakukan, nak? memahat pohon?" tanya yang lain.

Mereka semua tertawa, dan gigi Merk bergemeretak membayangkan seberapa lama lagi ia mampu menahan diri.

Orang yang mengambil belati itu berhenti, memandang pergelangan tangan Merk dan menyibakkan lengan bajunya. Merk menahan diri, ia tahu bahwa mereka akan melihatnya.

"Apa ini?" begal itu bertanya, menarik lengan Merk dan mengangkatnya, lalu mengamatinya.

"Sepertinya seekor rubah," kata yang lain.

"Mengapa seorang pertapa memiliki tato rubah?" tanya seorang dari mereka.

Lalu seorang yang lain lagi maju; badannya tinggi kurus, dengan rambut kemerahan, lalu merengkuh pergelangan tangan Merk dan mengamatinya dengan saksama. Kemudia ia melepaskannya dan memandang Merk dengan mata penuh curiga.

"Ini bukan rubah, tolol," katanya pada kawannya. "Ini tato serigala. Ini adalah lambang pasukan Sang Raja—seorang prajurit bayaran."

Merk merasa wajahnya merona saat melihat mereka menatap tato itu. Ia tak ingin jati dirinya terkuak.

Semua begal ini masih terdiam, menatap tato di pergelangan tangannya, dan baru kali ini Merk melihat keraguan tersirat di wajah mereka.

"Itu adalah sebutan untuk ordo pembunuh," kata salah seorang dari mereka lalu menatapnya lagi. "Bagaimana kau mendapatkan tato ini?"

"Mungkin ia sendiri yang membuatnya," jawab yang lain. "Agar selamat di perjalanan."

Pemimpin begal itu mengangguk pada anak buahnya agar melepaskan cekikan di leher Merk, lalu Merk dapat bernafas panjang dengan lega. Namun si pemimpin itu lantas menarik dan menempelkan sebuah pisau di tenggorokan Merk, dan Merk membayangkan apakah mungkin ia akan mati di sini, hari ini, di tempat ini. Ia membayangkan bahwa mungkin ini adalah hukuman atas semua nyawa yang pernah ia bunuh. Ia bertanya-tanya apakah ia telah siap mati.

"Jawab dia," bentak si pemimpin. "Kau sendiri yang merajah tato ini?" Konon untuk mendapatkan tato ini, kau harus membunuh seratus orang terlebih dulu."

Merk menarik nafas, dan dalam keheningan itu, mereka semua menanti jawaban apa yang akan ia berikan. Akhirnya, Merk menghela nafas.

"Seribu nyawa," kata Merk.

Si pemimpin mengerjapkan mata, ia bingung.

"Apanya?" tanyanya.

"Seribu nyawa," papar Merk. "Sebanyak itulah yang harus kubunuh untuk mendapatkan tato itu. Dan Raja Tarnis sendiri yang menorehkannya di pergelangan tanganku."

Semua menatap Merk dengan terkejut, dan keheningan yang panjang menyelimuti seluruh hutan itu, demikian heningnya hingga Merk dapat mendengar bunyi decit kumbang-kumbang. Ia menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lantas salah satu dari mereka tertawa tergelak—lalu diikuti oleh tawa kawannya yang lain. Mereka tertawa terbahak-bahak dengan Merk yang masih berdiri di situ; mereka pikir, itulah lelucon terkonyol yang pernah mereka dengar.

"Cerita yang bagus, nak," ujar seorang dari kawanan itu. "Kau benar-benar seorang pertapa pembohong yang lihai."

Si pemimpin itu menekankan belatinya ke leher Merk, cukup kuat hingga membuat darah mulai menetes.

"Kubilang, jawab pertanyaanku," ulangnya. "Jawablah dengan jujur. Apa kau mau mampus sekarang, hah?"

Mark diam saja sambil merasakan sakit, lalu ia memikirkan pertanyaan itu—ia benar-benar memikirkannya. Apakah ia ingin mati? Itu adalah sebuah pertanyaan yang bagus, dan sebuah pertanyaan dengan makna yang jauh lebih dalam dari maksud mereka. Ketika memikirkannya dengan bersungguh-sungguh, ia merasa bahwa sebagian dari dirnya belum ingin mati. Ia memang lelah dengan kehidupan ini, lelah setengah mati.

Namun setelah memikirkannya lagi, Merk akhirnya merasa bahwa ia belum siap mati. Bukan sekarang. Bukan hari ini. Bukan pada saat ia telah siap untuk memulai sebuah lembaran yang baru. Bukan pada saat ia baru saja mulai dapat menikmati hidupnya. Ia ingin mendapatkan sebuah kesempatan untuk berubah. Ia ingin mendapatkan kesempatan untuk mengabdi di Menara. Ia ingin menjadi Sang Penjaga.

"Tidak, aku belum mau mati," jawab Merk.

Akhirnya ia menatap lekat-lekat orang yang menahannya itu tepat di matanya, dan keteguhan mulai muncul di dalam dirinya.

"Dan oleh karena itu," lanjutnya, "Akan kuberi kalian satu kesempatan untuk melepaskanku, sebelum kubunuh kalian semua."

Mereka semua memandang Merk dengan kaget, lantas si pemimpin itu murka dan hendak mulai menyerangnya.

Merk merasa mata pisau mulai mengiris tenggorokannya, dan suatu kekuatan dalam dirinya mulai bekerja. Itu adalah sebuah sisi dalam dirinya sebagai prajurit kelas tinggi, keahlian yang ia latih seumur hidupnya, sisi lain dalam dirinya yang tak dapat menahan kesabaran lebih lama lagi. Dan itu berarti ia harus melanggar sumpahnya—namun Merk tak peduli lagi.

Old yang dahulu pun telah kembali lagi demikian cepat, seolah jati dirinya itu tak pernah ia tinggalkan—dan dalam sekejap mata, dirinya telah berubah kembali menjadi seorang pembunuh.

Merk memusatkan perhatian dan pandangannya pada tiap gerak lawannya, pada tiap kelebat, tiap titik lemah, pada tiap titik mematikan di tubuh lawannya. Hasrat membunuh telah menguasainya bagaikan seorang kawan lama yang ia temui lagi, dan Merk membiarkan hasrat itu berkuasa dalam dirinya.

Dengan satu gerakan secepat kilat, Merk menarik pergelangan tangan si pemimpin begal itu, menotokkan jarinya tepat di titik lemahnya, menghentakkannya hingga patah, dan merebut kembali belatinya yang terlepas, lalu dalam satu gerakan yang cepat, digoroklah leher lawannya lebar-lebar.

Si pemimpin itu sempat memandangnya dengan tatapan terkesima sebelum roboh ke tanah, lalu mati.

Merk berpaling dan memandang kawanan yang lain, dan mereka pun memandangnya juga, tertegun, dengan mulut ternganga.

Kini giliran Merk yang tertawa saat melihat mereka semua, menikmati apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ia berkata "Ada kalanya memang, kalian berurusan dengan orang yang salah."




BAB LIMA


Kyra berdiri di tengah-tengah jembatan yang penuh sesak; ia merasa semua mata tertuju padanya, dan semuanya menanti keputusan soal nasib babi hutan itu. Pipinya merah; ia tak suka menjadi pusat perhatian. Toh, ia senang ayahnya memberikan pengakuan padanya, dan ia merasakan kebanggaan yang amat besar, terlebih karena ayahnya menyerahkan keputusan itu pada dirinya.

Namun di saat yang sama, ia juga memikul tanggung jawab yang berat. Ia tahu, pilihan apa pun yang ia buat akan menetukan nasib orang lain. Sedalam apa pun kebenciannya pada pasukan Pandesia, ia tak ingin bertanggung jawab karena melibatkan bangsanya dalam sebuah perang yang tak dapat mereka menangkan. Tetapi ia pun tak ingin mundur dan membuat Pasukan Pengawal itu semakin besar kepala, semakin menjadi merendahkan bangsanya, membuat bangsanya terlihat lemah, apalagi setelah Anvin dan para prajurit yang lain menghadapi mereka dengan berani.

Ia tahu bahwa ayahnya sangat bijaksana; dengan menyerahkan keputusan itu pada dirinya, ayahnya membuat seolah keputusan itu merupakan keputusan mereka bersama, bukan keputusan para Pasukan Pengawal, dan tindakan itu sendiri telah menyelamatkan muka bangsanya. Ia juga mengerti bahwa ayahnya menyerahkan keputusan itu dengan satu alasan: ayahnya tahu bahwa situasi semacam ini memerlukan dukungan dari pihak luar benteng agar kehormatan semua pihak tetap terjaga—dan ayahnya memilih dirinya karena ia memang cocok, dan karena ayahnya tahu bahwa Kyra tak akan bertindak gegabah, dan karena kata-katanya yang sederhana. Semakin dalam ia memikirkannya, semakin pahamlah Kyra mengapa ayahnya memilih dirinya: bukan untuk memicu pecahnya pertempuran—ayahnya bisa saja memilih Anvin untuk membuat keputusan—namun untuk menghindarkan orang-orang ini dari pertempuran.

Kyra akhirnya menentukan keputusannya.

"Binatang ini terkutuk," ujarnya acuh. "Hampir saja ketiga saudaraku tewas olehnya. Babi hutan ini berasal dari Hutan Akasia dan dibunuh pada saat perayaan Bulan Musim Dingin, hari yang terlarang untuk berburu. Membawanya masuk ke gerbang itu adalah sebuah kesalahan—seharusnya kita membiarkannya membusuk di sana, di tempat asalnya."

Ia berpaling dan memandang para Pasukan Pengawal dengan tatapan mengejek.

"Bawalah babi hutan ini kepada Tuan Gubernur," kata Kyra sembari tersenyum. "Bantulah kami."

Para Pasukan Pengawal itu mengalihkan pandangan dari Kyra ke babi hutan itu, dan raut muka mereka pun berubah; mereka tampak merasa jijik, tak menginginkan babi hutan itu lagi.

Kyra melihat Anvin dan semua orang di situ memandangnya dengan ungkapan setuju dan bersyukur—dan ayahnya pun demikian. Kyra telah mengambil keputusannya—ia telah menyelamatkan muka bangsanya, menghindarkan mereka dari pertempuran—sekaligus berhasil memperolokkan Pandesia.

Kedua kakaknya menurunkan babi hutan yang dipanggulnya dan menggeletakkannya begitu saja di tanah bersalju. Mereka berdua mundur dengan malu-malu, dan bahu mereka jelas kesakitan.

Kini semua mata tertuju pada Pasukan Pengawal yang masih berdiri saja di situ, tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kata-kata Kyra jelas berhasil menohok mereka; kini para pengawal memandang babi hutan itu seakan serupa barang kotor yang baru saja digali dari dalam tanah. Jelas mereka tak lagi menginginkannya. Dan karena babi hutan itu sekarang menjadi milik mereka, maka mereka pun tampaknya telah kehilangan selera untuk mengambilnya.

Setelah kebisuan yang panjang dan menegangkan, komandan Pasukan Pengawal akhirnya memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengangkut babi hutan itu, lalu ia berbalik, bersungut-sungut dan berlalu; ia jelas sangat kesal karena menyadari bahwa ia baru saja diakali.

Kerumunan bubar, ketegangan sirna dan kini kelegaan terasa. Banyak anak buah ayahnya yang mendekati Kyra dengan tatapan setuju, dan menepukkan tangan di bahunya.

"Selamat," kata Anvin sembari memandangnya tanda setuju. "Kau akan menjadi pemimpin yang hebat kelak."

Orang-orang desa kembali melanjutkan perjalanannya, hiruk pikuk kembali pecah, ketegangan berangsur reda dan Kyra berbalik lalu memandang ayahnya. Ayahnya pun menatapnya, ia berdiri tak jauh dari Kyra. Di depan anak buahnya, ayahnya selalu pendiam jika terkait soal Kyra, dan demikian pula saat ini—raut mukanya masih sama, namun ia mengagguk pelan pada Kyra, anggukan yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan keputusan Kyra.

Kyra memandang ke sekeliling dan melihat Anvin serta Vidar menggenggam tombaknya, lalu jantungnya berdegup kencang.

"Bolehkah aku bergabung dengan kalian?" tanyanya pada Anvin karena tahu bahwa mereka akan pergi ke arena latih, seperti halnya seluruh anak buah ayahnya yang lain.

Anvin melirik gugup pada ayah Kyra, karena ia merasa bahwa sang ayah takkan mengizinkan.

"Salju makin tebal," akhirnya Anvin menjawab sekenanya. "Malam pun hampir tiba"

"Tetapi itu tak mengurungkan niat kalian," balas Kyra.

Anvin meringis.

"Benar, tidak," jawab Anvin mengakuinya.

Anvin melirik lagi pada ayah Kyra, dan Kyra menoleh lalu melihat ayahnya menggeleng sebelum ia berpaling dan kembali ke benteng.

Anvin menghela nafas.

"Mereka tengah menyiapkan pesta besar," katanya. "Lebih baik kau pulang."

Kyra pun mengetahui persiapan itu; udara dipenuhi aroma daging yang dipanggang, dan ia melihat kedua kakaknya masuk ke dalam benteng bersama dengan lusinan orang desa, semuanya bergegas mempersiapkan diri untuk pesta perayaan itu.

Namun Kyra berpaling dan menatap penuh harap ke tanah lapang, ke arena latihan itu.

"Makanan masih bisa menunggu," kata Kyra. "Tetapi latihan tidak bisa ditunda. Izinkan aku ikut."

Vidar tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Kau yakin dirimu ini seorang gadis, bukannya seorang prajurit?" tanya Vidar.

"Atau mungkin aku bukan keduanya?" balas Kyra.

Anvin kembali menghela nafas panjang, dan akhirnya ia menggelengkan kepalanya juga.

"Ayahmu akan menghukumku," kata Anvin.

Namun, kemudian Anvin mengangguk.

"Kau tak suka ditolak," simpulnya, "dan kau tekadmu lebih kuat daripada separuh anak buahku. Kurasa kita bisa mencobanya sekali lagi."

*

Kyra berlari melintasi tanah bersalju, mengikuti Anvin, Vidar, dan beberapa anak buah ayahnya, serta Leo di sampingnya, seperti biasanya. Salju turun makin tebal dan Kyra tak peduli. Ia merasakan kebebasan dan kegembiraan, seperti yang ia rasakan saat memasuki Gerbang Petarung, sebuah pintu masuk rendah berbentuk melengkung yang menembus dinding batu di arena latihan itu. Ia menarik nafas dalam-dalam di bawah langit luas dan ia berlari ke tempat yang paling ia sukai di dunia; deretan perbukitan hijaunya kini berselimut salju, dikelilingi oleh dinding batu yang menjulang, mungkin selebar dan setinggi dua ratus depa. Ia merasa segala sesuatu telah berjalan seperti semestinya saat melihat para prajurit itu berlatih, berseliweran memacu kudanya, melentingkan lembing, membidik sasaran yang jauh dan meningkatkan kemampuan bertarungnya. Baginya, inilah arti hidup yang sesungguhnya.

Arena latihan itu dibuat untuk para anak buah ayahnya; perempuan dan laki-laki yang belum genap delapan belas tahun umurnya—serta orang-orang yang tak diundang. tak diperbolehkan masuk ke situ. Tiap hari, Brandon dan Braxton menanti dengan sabar agar diundang masuk ke arena itu—namun Kyra rasa mereka berdua tak pernah diundang. Gerbang Petarung adalah tempat untuk para prajurit terhormat dan berpengalaman, bukan untuk pembual macam kedua kakaknya.

Kyra berlari melintasi arena terbuka, ia merasa jauh lebih bahagia dan lebih bersemangat di tempat itu daripada di tempat lain mana pun di muka bumi ini. Energi di tempat itu terasa amat kuat, terpancar dari lusinan prajurit terbaik ayahnya; mereka semua mengenakan baju zirah yang sedikit berbeda, lantaran mereka berasal dari berbagai wilayah di Escalon; mereka semua adalah para prajurit yang bagai tersedot oleh benteng ayahnya itu. Mereka adalah para prajurit dari wilayah selatan, dari Thebus dan Leptis; dari Midland, dan kebanyakan dari ibu kota, Andros, namun ada juga para prajurit dari gunung Kos, prajurit-prajurit wilayah barat dari Ur, orang-orang sungai dari Thusis dan tetangga mereka dari Esephus. Ada pula para prajurit yang tinggal dekat dengan Danau Ire, dan mereka yang berasal dari tempat yang jauh, seperti dari air terjun Everfall. Mereka semua mengenakan pakaian dan baju zirah yang berbeda, memegang senjata yang berbeda; mereka adalah para prajurit Escalon yang mewakili kesatuannya masing-masing. Mereka merupakan sebuah kekuatan yang mengagumkan.

Ayahnya, prajurit terbaik yang pernah mengabdi pada mantan Raja, adalah seorang pemimpin yang disegani, satu-satunya pria di masa-masa keruntuhan kejayaan kerajaan, yang dipatuhi oleh begitu banyak pasukan. Dan memang, saat Sang Raja menyerahkan kerajaannya tanpa syarat, bangsanya mendesak agar ayahnyalah yang melanjutkan tahta kerajaan dan memimpin perang. Seiring waktu, para prajurit terbaik lainnya mencari ayahnya, dan kini, dengan kekuatan yang semakin besar hari demi hari, Volis telah memiliki kekuatan yang nyaris seimbang dengan pasukan di ibu kota. Kyra tahu, mungkin karena itulah para Pasukan Pengawal merasa perlu merendahkan mereka semua.

Di tempat lain di Escalon, Tuan Gubernur untuk Pandesia tidak mengizinkan para ksatria berkumpul, tidak memberikan kebebasan semacam itu karena khawatir akan pecah perlawanan. Namun di sini, di Volis, keadaannya berbeda. Di sini, Pandesia tak punya pilihan; mereka harus mengizinkannya, karena mereka membutuhkan pasukan sebaik mungkin untuk menjaga Benteng Api.

Kyra berbalik dan memandang ke sekitar, di luar dinding, di balik deretan perbukitan putih dan di kejauhan, di kaki langit, menembus salju yang turun, meski samar-samar ia dapat melihat pendar cahaya Benteng Api. Benteng Api, dinding api yang melindungi tapal batas di timur Escalon, dinding api setebal lima puluh kaki dan beberapa ratus kaki tingginya, menyala sangat terang, menerangi malam, siluetnya terlihat di kaki langit dan tampak makin jelas seiring malam tiba. Benteng Api yang membentang hampir lima puluh mil luasnya adalah satu-satunya bangunan yang terletak di antara Escalon dan tanah bangsa troll yang keji di sebelah timur.

Namun demikian, banyak troll mencoba menerobos masuk membawa malapetaka tiap tahun, dan jika bukan karena Sang Penjaga, para prajurit pemberani anak buah ayahnya yang menjaga Benteng Api, Escalon niscaya akan menjadi budak bagi para troll. Para troll yang takut air hanya dapat menyerang Escalon lewat daratan, dan Benteng Api adalah satu-satunya yang mampu menahan mereka. Sang Penjaga bertugas bergantian, berkeliling melakukan patroli, dan Pandesia jelas membutuhkan mereka. Sebenarnya ada juga orang-orang lain yang berada di Benteng Api—para serdadu aplusan, budak, dan para penjahat—namun pasukan yang sesungguhnya hanyalah anak buah ayahnya, Sang Penjaga, dan satu-satunya pasukan yang tahu bagaimana cara menjaga Benteng Api.

Sebagai imbalannya, Pandesia memberikan sedikit kebebasan bagi Volis dan para prajuritnya, seperti arena latihan dan senjata-senjata yang sesungguhnya—sedikit kebebasan yang membuat mereka masih merasa menjadi seperti prajurit yang merdeka, meskipun semua itu hanyalah ilusi belaka. Mereka bukanlah orang-orang yang merdeka, dan mereka semua menyadarinya. Mereka hidup dengan keseimbangan yang aneh antara kebebasan dan perbudakan yang tak dapat mereka terima.

Tapi setidaknya, di sini di Gerbang Petarung, para prajurit ini dapat menjadi orang merdeka seperti dahulu kala, para prajurit yang dapat bersaing dan berlatih serta menempa kemampuannya. Mereka adalah wakil-wakil terbaik Escalon, para prajurit yang lebih hebat daripada seluruh prajurit yang dimiliki oleh Pandesia; mereka semua adalah para prajurit yang pernah bertugas—dan seluruh pasukan lain—di Benteng Api; namun kini masa itu telah berlalu. Yang diinginkan Kyra hanyalah agar dapat bergabung dengan pasukan itu, dapat membuktikan kemampuannya untuk bertugas di Benteng Api, untuk bertempur melawan troll yang sebenarnya jika mereka datang, dan untuk menjaga kerajaan dari serbuan musuh.

Tentu saja ia tahu bahwa ia takkan pernah mendapatkan izin. Ia masih terlalu muda untuk bergabung bersama mereka—dan ia adalah seorang gadis. Tak ada gadis lain di dalam pasukan itu, dan jika ada, maka ayahnya tak akan pernah mengizinkannya. Anak buah ayahnya pun memandang dirinya sebagai seorang anak kecil saat ia pertama kali datang ke arena latihan beberapa tahun yang lalu; mereka kegirangan melihat keberadaannya, seperti penonton yang terpesona. Namun setelah para pasukan itu selesai, ia tinggal di sana seorang diri, berlatih siang dan malam arena latihan yang sepi, memakai senjata dan sasaran mereka. Awalnya, ketika datang kembali keesokan harinya, mereka terkejut melihat anak panah yang menancap pada sasaran latihan—dan lebih kagum lagi karena anak panah itu menancap tepat di tengah-tengah sasaran. Namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi terbiasa dengan hal itu.

Kemampuan Kyra mulai diperhitungkan dan dihargai, terlebih karena jarang-jarang ia diizinkan berlatih di arena itu. Kini, dua tahun kemudian, mereka semua tahu bahwa Kyra mampu membidik sasaran yang tak mampu mereka taklukkan—dan mereka yang dulunya memandang Kyra sebelah mata, kini berubah menjadi menghormatinya. Tentu saja, Kyra belum pernah bertempur dalam perang seperti yang pernah dilakukan oleh para prajurit ini; Kyra pun belum pernah membunuh seseorang, belum pernah berjaga di Benteng Api atau berhadapan dengan troll di medan perang. Ia tak dapat mengayunkan pedang atau kapak atau halberd -tombak bermata kapak-, atau bergulat seperti yang dilakukan oleh para prajurit ini. Kekuatan badannya tak sampai separuh kekuatan mereka, dan inilah yang sangat ia sesalkan.

Namun Kyra tahu bahwa ia memiliki kemampuan alamiah dalam menggunakan dua jenis senjata, dan masing-masing senjata itu membuatnya menjadi lawan yang tangguh meskipun ia adalah seorang gadis dan tubuhnya mungil, yaitu busur panah dan tongkat. Busur panah ia kuasai sejak kecil, sedangkan ia baru saja mahir menggunakan tongkat beberapa bulan yang lalu secara tak sengaja, ketika ia tak mampu mengangkat sebuah pedang besar. Waktu itu, para prajurit menertawakan dirinya yang tak mampu mengangkat pedang besar itu, dan untuk mengejeknya, salah seorang dari mereka melemparkan sebuah tongkat padanya dengan penuh cemooh.

"Siapa tahu kau bisa mengangkat tongkat ini," seru prajurit itu ditimpali gelak tawa para prajurit yang lain. Kyra tak pernah lupa betapa malunya ia saat itu.

Awalnya, mereka menganggap tongkat itu sebagai ejekan belaka; toh tongkat semacam itu hanya digunakan sebagai senjata latih bagi mereka, para pemberani yang membawa pedang besar dan kapak dan tombak bermata kapak, yang mampu menumbangkan sebatang pohon dengan sekali tebas. Mereka menganggap tongkat kayu itu sekadar sebuah mainan, dan itu membuat Kyra semakin diremehkan.

Namun Kyra telah mengubah mainan itu menjadi sebuah senjata ampuh, sebuah senjata yang mengerikan. Tongkat itu menjadi sebuah senjata yang membuat banyak anak buah ayahnya bertekuk lutut. Kyra sangat kagum akan betapa ringannya tongkat itu, dan ia lebih kagum lagi menyadari betapa dirinya dapat menguasainya secara alami—begitu cepat gerakannya sehingga ia dapat mendaratkan pukulan saat para prajurit itu bahkan belum selesai menghunus pedangnya. Dengan tongkat itu, banyak prajurit yang berlatih dengannya harus berakhir dengan lebam-lebam di tubuhnya, dan sekaligus ia berhasil mendapatkan kembali rasa hormat mereka.

Setelah berlatih seorang diri tanpa henti, meningkatkan kemampuannya tanpa seorang pelatih, Kyra berhasil menguasai banyak gerakan yang mampu memukau para prajurit itu, gerakan-gerakan yang tak dipahami oleh satu pun dari mereka. Mereka pun tertarik pada tongkat itu, dan Kyra lantas mengajari mereka. Dalam benak Kyra, busur dan tongkat itu saling melengkapi, dan masing-masing sama pentingnya: ia membutuhkan busur panah untuk pertarungan jarak jauh, dan tongkat itu ia butuhkan untuk pertarungan jarak dekat.

Kyra juga menyadari betapa ia memiliki bakat alami yang tak mereka miliki: ia sangatlah gesit. Ia bagaikan seekor ikan kecil di lautan yang dipenuhi oleh hiu-hiu yang lamban, dan meskipun para pria kawakan itu memiliki kekuatan yang besar, Kyra dapat bergerak lincah ke sana kemari, ia dapat melompat tinggi, berjungkir balik melampaui kepala mereka dan mendarat dengan berguling—atau mendarat dengan kedua kakinya. Dan ketika kegesitannya ini berpadu dengan teknik bermain tongkat, hasilnya adalah sebuah paduan yang mematikan.

"Apa yang dilakukannya di sini?" tanya seseorang dengan suara kasar.

Kyra, yang berdiri di tepi arena latihan di sebelah Anvin dan Vira, mendengar derap kuda yang mendekat; lalu ia berbalik dan melihat Maltren berkendara di atas kudanya, disertai oleh beberapa kawannya sesama prajurit dengan nafas yang masih terengah-engah akibat pedang yang mereka bawa, karena mereka baru saja berlatih di arena itu juga. Maltren memandangnya dengan hina, dan Kyra pun merasa muak. Di antara sekian banyak anak buah ayahnya, Maltren adalah satu-satunya prajurit yang tak menyukai dirinya. Entah karena alasan apa, ia membenci Kyra sejak pertama kali melihat dirinya.

Maltren duduk di atas pelana kudanya dengan emosi yang mendidih; dengan hidung pesek dan mukanya yang buruk, ia cocok sekali menjadi seorang pembenci, dan tampaknya ia menemukan mangsanya, yaitu Kyra. Ia selalu menentang keberadaan Kyra di arena latihan ini, mungkin lantaran Kyra adalah seorang gadis.

"Kau seharusnya kembali ke dalam benteng ayahmu, mempersiapkan pesta perayaan bersama dengan gadis-gadis muda yang bebal lainnya" kata Maltren.

Di sebelah Kyra, Leo menggeram pada Maltren, lalu Kyra mengeluskan tangannya pada kepala Leo untuk menenangkannya.

"Dan mengapa serigala ini boleh masuk ke arena latihan kita?" imbuh Maltren.

Anvin dan Vidar yang memihak Kyra menatap Maltren dengan dingin dan tajam; Kyra masih berdiri di situ dan tersenyum saja, karena tahu bahwa mereka berdua akan membelanya dan Maltren takkan dapat mengusirnya dari situ.

"Rasanya kau harus kembali ke arena latihan, bukannya sibuk mengurusi gadis muda dan bebal yang keluar-masuk di sini," balas Kyra dengan nada mengejek.

Maltren meradang, namun tak dapat membalas. Ia berpaling, bersiap hendak pergi, namun tak lupa untuk menghina Kyra lagi sebelum berlalu.

"Hari ini adalah latihan tombak," katanya. "Sebaiknya kau menyingkir dari para pria sejati yang berlatih menggunakan senjata yang sebenarnya."

Maltren berpaling dan memacu kudanya bersama dengan kawan-kawannya, dan setelah ia berlalu, Kyra merasa bahwa kesenangannya di sini sempat terganggu oleh kedatangan Maltren.

Anvin memandangnya dengan tatapan menenagkan dan merangkul bahunya.

"Pelajaran pertama bagi seorang prajurit adalah belajar hidup bersama orang yang membencinya," ujarnya. "Suka tak suka, kau akan bertempur bersama orang-orang yang membencimu, dan menggantungkan nyawamu pada mereka. Seringkali, musuh terbesar bukanlah lawanmu, melainkan kawanmu."

"Dan mereka yang banyak bicara biasanya tak pandai bertarung," sahut seseorang.

Kyra membalikkan badan dan dilihatnya Arthfael datang dengan senyum menyeringai, membelanya seperti biasanya. Seperti Anvin dan Vidar, Arthfael -seorang prajurit pemberani yang bertubuh tinggi, dengan kepala pelontos dan jenggot hitam yang panjang dan kaku ini- selalu bersikap baik pada Kyra. Ia adalah salah satu ahli pedang terbaik, nyaris tak tertandingi, dan ia selalu membela Kyra. Kyra merasa senang akan kehadirannya.

"Begini," imbuh Arthfael. "Jika Maltren adalah seorang prajurit yang hebat, maka ia akan lebih banyak mengurus urusannya sendiri daripada sibuk mengurus orang lain."

Anvin, Vidar dan Arthfael naik ke atas kuda mereka masing-masing lalu berlalu bersama para prajurit yang lain, sementara Kyra masih berdiri di situ memandang mereka berlalu, sembari berpikir. Mengapa seseorang harus membenci orang lain? begitulah ia bertanya-tanya. Ia tak pernah dapat memahami jawaban dari pertanyaan itu.

Tatkala mereka berpacu mengelilingi arena latihan membentuk sebuah lingkaran lebar, Kyra mengamati kuda-kuda perang yang hebat itu dengan penuh rasa kagum, dan ia membayangkan suatu saat nanti ia akan menunggangi kuda perangnya sendiri. Kyra memandangi mereka yang berkuda berkeliling arena, berpacu di sekeliling dinding batunya, dan kaki-kaki kuda itu kadang-kadang terpeleset oleh salju. Mereka menangkap tombak yang dilemparkan oleh para pelayan latihan, dan sembari berkuda mengitari arena, mereka melontarkan tombak itu menuju sasaran yang jauh letaknya, yaitu perisai-perisai yang tergantung di dahan pohon. Ketika tombak itu mengenai sasaran, bunyi denting logam beradu terdengar bertalu.

Ia rasa melempar tombak sambil berkuda itu jauh lebih sulit daripada yang ia lihat, dan lemparan tombak beberapa dari prajurit itu meleset, terlebih saat mereka membidik sasaran berupa perisai yang lebih kecil ukurannya. Bagi mereka yang berhasil mengenai sasaran, hanya sedikit yang lemparannya berhasil menancap tepat di tengah—kecuali Anvin, Vidar, Arthfael dan segelintir prajurit yang lainnya. Ia melihat betapa Maltren berulang kali gagal mengenai sasaran, lantas mengumpat diam-diam sambil melirik padanya, seolah-olah itu semua adalah salah Kyra.

Agar badannya tetap hangat, Kyra mengeluarkan tongkatnya lalu mulai memutar dan mengayunkan tongkat itu dengan tangannya, melewati atas kepala, mengitari tubuhnya, meliuk dan berputar seolah tongkat itu bernyawa. Ia memukul musuh khayalannya, menangkis serangan khayalan, berganti tangan untuk memegang tongkat, memutarnya mengitari leher, mengitari pinggangnya; tongkat itu bagai tangannya yang ke-tiga, tongkat yang terbuat dari kayu yang amat tua.

Saat para prajurit itu berkuda mengitari arena latihan, Kyra berlari menuju arena latihannya sendiri, sebidang tanah lapang kosong kecil di dalam arena latihan, yang tak pernah dipakai oleh para prajurit itu, namun merupakan sebidang tanah yang ia sukai sebagai tempat berlatih. Beberapa lempeng baja digantung dengan tali pada serumpun pepohonan, tersebar dengan ketinggian yang berbeda-beda, dan

Kyra berlari sambil membayangkan bahwa sasaran itu adalah musuh-musuhnya, lalu memukulnya satu persatu menggunakan tongkat. Bunyi berdenting terdengar saat ia berlari menuju pepohonan itu, membabat, meliuk dan melesak saat sasaran-sasaran itu berayun-ayun kembali ke arahnya. Dalam benaknya, ia tengah menyerang dan bertahan dengan hebat, menaklukkan sepasukan musuh khayalannya.

"Berhasil membunuh musuh?" terdengar suara mengejek.

Kyra membalikkan badan dan melihat Maltren di atas kudanya, ia tertawa mencemooh Kyra, sebelum berlalu lagi. Kyra naik pitam, berharap ada seseorang yang menyadarkan Maltren akan kemampuannya sendiri.

Kyra beristirahat sejenak saat melihat para prajurit itu selesai berlatih dengan tombaknya, lalu mereka turun dari kuda dan berkumpul dalam lingkaran di tengah lapangan terbuka. Pelayan latihan berlari maju dan memberikan pedang-pedang latih yang terbuat dari kayu ek keras, beratnya nyaris sama dengan pedang baja. Kyra tetap berdiri di kejauhan; jantungnya berdegup kencang saat melihat para prajurit itu saling berlatih berpasangan; ia sangat ingin ikut berlatih bersama mereka.

Sebelum mulai latihan itu, Anvin berjalan ke tengah lingkaran dan memandang mereka semua.

"Di hari besar ini, kita akan berlatih untuk memperebutkan hadiah istimewa," kata Anvin. "Para pemenang akan mendapatkan jatah makanan terbanyak dalam pesta!"

Teriakan girang pun bersahutan, lalu mereka mulai berlatih berpasang-pasangan, bunyi pedang kayu yang saling beradu terdengar nyaring, seiring dengan langkah mereka merangsek maju dan mundur teratur.

Latihan berpasangan itu diselingi oleh tiupan terompet yang nyaring, yang dibunyikan setiap kali seorang lawan latihan terkena pukulan pedang kayu, lalu ia yang kalah harus menyingkir ke tepi arena. Terompet itu berbunyi berulang kali, dan lambat laun jumlah prajurit yang tersisa pun semakin berkurang; sebagian besar dari mereka kini berdiri di tepi arena, menyaksikan kawannya yang masih bertanding.

Kyra pun berdiri di sisi arena bersama mereka, gemas ingin ikut berlatih, meskipun ia tentu takkan diizinkan. Namun hari ini adalah hari kelahirannya, usianya telah menginjak lima belas tahun, dan ia merasa dirinya telah siap. Ia merasa inilah saat baginya untuk unjuk kemampuan.

"Izinkan aku ikut latihan!" ia memohon pada Anvin yang berdiri di dekatnya sambil menyaksikan latihan itu.

Anvin menggelengkan kepala tanpa sedikitpun memalingkan pandangan dari arena latihan.

"Hari ini usiaku genap lima belas tahun!" Kyra bersikeras. "Izinkan aku bertanding!"

Anvin melirik sekilas padanya dengan ragu.

"Ini adalah arena latihan untuk para pria," sahut Maltren yang berdiri di tepi arena setelah kalah bertanding. "Bukan untuk gadis kecil. Kau duduk dan menonton saja bersama pelayan latihan, dan bawakan air jika kami memintanya."

Kyra meradang.

"Apakah kau takut dikalahkan oleh seorang gadis?" balas Kyra yang berdiri penuh amarah. Ia adalah anak perempuan ayahnya, dan tak ada yang boleh bicara sembarangan padanya seperti itu.

Beberapa prajurit terkekeh mendengarnya, dan kali ini giliran muka Maltren yang merah padam.

"Ia punya kemampuan, mungkin kita perlu mengizinkannya ikut latihan," sahut Vidar. "Apa salahnya dicoba?"

"Berlatih menggunakan apa?" balas Maltren.

"Dengan tongkatku!" sambar Kyra. "Melawan pedang kayumu."

Maltren tertawa.

"Ini pasti akan jadi tontonan menarik," kata Maltren.

Semua mata tertuju pada Anvin, sementara Anvin masih berdiri menimbang-nimbang.

"Jika kau terluka, ayahmu akan membunuhku," kata Anvin.

"Aku takkan terluka," Kyra memohon.

Anvin terdiam beberapa saat lamanya, hingga akhirnya menghela nafasnya.

"Kurasa tak ada salahnya dicoba," kata Anvin. "Anggap saja ini demi membuatmu berhenti merengek. Tentu saja jika para prajurit ini tidak keberatan," imbuh Anvin sambil menoleh ke arah para prajurit.

"AYE!" teriak selusin anak buah ayahnya bersamaan, mereka semua bersemangat mendukung Kyra. Kyra sangat senang mereka mendukung dirinya, hingga tak dapat ia lukiskan betapa senang dirinya. Ia melihat betapa mereka mengagumi dirinya, sama halnya seperti mereka mencintai ayahnya. Kyra tak punya banyak teman, dan para prajurit ini adalah orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Maltren mencemooh.

"Kalau begitu, biarlah gadis ini mempermalukan dirinya sendiri," kata Maltren. "Akan kuberi pelajaran padanya sekali ini dan untuk selamanya."

Terompet dibunyikan, dan setelah para prajurit lain berdiri melingkar, Kyra masuk ke dalam arena.

Kyra merasa semua pandangan mata tertuju padanya, tampak jelas mereka khawatir. Ia berhadapan dengan lawannya, seorang pria jangkung berumur tiga puluhan dengan badannya yang kekar, seorang prajurit kuat yang telah ia kenal sejak ia perayaan ulang tahun ayahnya di balairung benteng. Sejauh yang dapat ia lihat, ia tahu bahwa pria ini adalah petarung yang baik—namun juga petarung yang kelewat percaya diri, menyerang terlalu cepat sejak awal pertempuran, dan agak ceroboh.

Ia memandang Anvin, mukanya merengut.

"Hinaan macam apa pula ini?" tanya Maltren. "Aku tak mau melawan seorang gadis."

"Kau mempermalukan dirimu sendiri jika takut bertarung melawanku," balas Kyra geram. "Aku punya dua tangan dan dua kaki, sama sepertimu. Jika kau tak mau bertarung melawanku, maka mengakulah kalah!"

Maltren berkedip, terkejut, lalu memandang padanya dengan marah.

"Baiklah kalau begitu," kata Maltren. "Jangan mengadu pada ayahmu jika nanti kau kalah."

Maltren maju secepat kilat, tepat seperti dugaan Kyra; Maltren mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu menebaskannya kuat-kuat, mengincar bahu Kyra. Kyra telah siap dengan gerakan semacam itu, gerakan yang telah sering ia lihat dilakukan oleh Maltren, gerakan yang mudah ditebak dari ayunan lengannya. Pedang kayu yang dipegang Marlet memang sangat kuat, namun sekaligus berat dan kalah gesit dari tongkat Kyra.

Kyra mengamati tiap gerakan Maltren dengan cermat, menunggu saat yang tepat, dan ia melangkah ke samping, sehingga tebasan yang kuat itu berkelebat di sampingnya saja. Dalam satu gerakan, Kyra memutar tongkatnya dan memukulkannya di sisi bahu Maltren.

Maltren mengerang karena ia terdorong ke luar arena. Ia berdiri di situ, tertegun dan kesal karena ia harus mengakui kekalahannya.

"Ada lagi lainnya? tanya Kyra sembari tersenyum lebar, ia putar badannya dan memandang semua orang yang berdiri melingkar di tepi arena.

Hampir semua prajurit di situ tersenyum; mereka jelas bangga pada dirinya, bangga melihat Kyra telah tumbuh besar dan telah mencapai titik ini. Kecuali Maltren, tentunya, yang merengut marah padanya. Sepertinya ia hendak menantang Kyra lagi, ketika tiba-tiba seorang prajurit lain muncul, menghadapinya dengan tatap mata serius. Pria ini lebih pendek dan lebih gempal, dengan jenggot kemerahan yang tak bercukur dan sorot mata yang ganas. Dari caranya memegang pedang, Kyra tahu bahwa pria ini adalah lawan yang lebih berat daripada Maltren. Ia menganggapnya sebagai sebuah pujian: akhirnya mereka mulai memperhitungkan kemampuan Kyra dengan sungguh-sungguh.

Pria itu menyerang, dan Kyra tak mengerti entah mengapa seolah gerakan yang harus ia lakukan terasa sangat mudah. Seakan-akan nalurinya bangkit dan memandu dirinya. Ia merasa badannya jauh lebih ringan dan lebih gesit dari para pria itu, yang mengenakan baju zirah berat dan pedang kayu yang besar. Mereka semua bertarung dengan mengandalkan kekuatan, dan mereka berharap lawannya akan melawan dan menangkis serangan mereka. Namun Kyra lebih senang mengelak menghindarinya, dan ia tak mau mengikuti pola pertarungan mereka. Mereka mengandalkan kekuatan—namun Kyra lebih mengandalkan kecepatan.

Tongkat itu bergerak kian kemari seolah menjadi perpanjangan tangan Kyra; ia memutarnya dengan cepat hingga lawannya tak sempat bereaksi, lawannya belum selesai bergerak sedangkan Kyra telah berpindah ke belakangnya. Lawannya kali ini menerjang ke arah dadanya—namun ia hanya perlu melangkah ke samping dan mengayunkan tongkat, memukul pergelangan tangan lawannya dan membuat pedang terpental dari genggamannya. Kemudian Kyra memutar tongkatnya lagi dan memukul kepala pria itu.

Terompet dibunyikan tanda kemenangan baginya, dan pria itu menatap Kyra dengan terkesima, sembari memegangi keningnya yang terpukul, sedangkan pedangnya tergeletak saja di tanah. Kyra sendiri agak terkejut saat melihat akibat dari serangannya, sedangkan ia tak sedikitpun terluka.

Kyra justru menjadi lawan tanding yang sulit ditaklukkan, dan kini, para prajurit itu tak ragu-ragu lagi, mereka mengantri untuk menguji kemampuannya melawan Kyra.

Badai salju datang saat obor-obor dinyalakan untuk menerangi senja yang tiba, dan Kyra masih terus berlatih, bertanding melawan seorang demi seorang dari para prajurit itu. Mereka tak dapat tersenyum lagi: raut muka mereka berubah serius, kusut, dan sangat kesal karena tak ada yang mampu menyentuh Kyra barang sedikit pun—dan mereka masing-masing berhasil dikalahkan. Saat melawan seorang dari mereka, ia melompat melewati kepalanya sambil berlari, berguling di udara dan mendarat di belakang badan prajurit itu, lalu memukul bahunya; dengan lawan yang lain lagi, ia merunduk dan bergulung di tanah, tangannya kirinya bergantian memegang tongkat dan ia mendaratkan pukullan telak yang tak terduga. Ia melakukan gerakan yang berbeda-beda untuk masing-masing lawan; separuh dirinya bagai pemain akrobat, dan separuh lainnya bagai ahli pedang, sehingga tak satu pun lawan dapat menerka serangannya. Satu persatu prajurit tersingkir dengan malu, masing-masing terkesima karena harus mengakui kekalahannya.





Конец ознакомительного фрагмента. Получить полную версию книги.


Текст предоставлен ООО «ЛитРес».

Прочитайте эту книгу целиком, купив полную легальную версию (https://www.litres.ru/pages/biblio_book/?art=43695719) на ЛитРес.

Безопасно оплатить книгу можно банковской картой Visa, MasterCard, Maestro, со счета мобильного телефона, с платежного терминала, в салоне МТС или Связной, через PayPal, WebMoney, Яндекс.Деньги, QIWI Кошелек, бонусными картами или другим удобным Вам способом.



Jika Anda pikir bahwa segalanya telah usai seiring tamatnya serial Cincin Bertuah, maka Anda keliru. Dalam BANGKITNYA PARA NAGA, Morgan Rice kembali hadir dengan janjinya akan sebuah serial baru yang brilian, yang akan menghanyutkan kita dalam kisah fantasi tentang para troll dan naga, keberanian, kehormatan, semangat, keajaiban dan keyakinan akan takdir. Morgan sekali lagi berhasil menghadirkan sederet tokoh yang akan menghibur kita pada tiap lembar kisahnya.. Inilah karya yang direkomendasikan sebagai koleksi wajib para pencinta kisah fantasi nan apik. Books and Movie Reviews, Roberto MattosBuku Terlaris #1! Sebuah serial kisah fantasi epik kembali lahir dari tangan penulis Terlaris #1, Morgan Rice: BANGKITNYA PARA NAGA (RAJA DAN PENYIHIR – Buku 1) . Kyra, gadis berusia 15 tahun, bermimpi menjadi seorang ksatria termashyur seperti ayahnya, meskipun ia adalah satu-satunya anak perempuan di antara saudara-saudara laki-lakinya. Tatkala ia berusaha memahami kemampuan istimewanya, yaitu kekuatan tersembunyi yang misterius, ia menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Namun ada sebuah rahasia yang tersimpan tentang kelahiran dan ramalan tentang dirinya, hingga membuatnya bertanya-tanya siapakah dirinya yang sesungguhnya. Ketika Kyra telah cukup dewasa dan seorang bangsawan setempat datang untuk mengawininya secara paksa, maka ayahnya terpikir untuk menikahkannya demi menyelamatkan putri satu-satunya itu. Namun Kyra menolak dan ia kabur seorang diri; ia masuk ke sebuah hutan keramat, di mana ia bertemu dengan seekor naga yang terluka – dan sejak saat itulah terjadi berbagai peristiwa yang akan mengubah seluruh kerajaan untuk selamanya. Sementara itu, Alec yang berusia 15 tahun berkorban demi sang kakak, menggantikannya sebagai serdadu aplusan yang dipilih untuk dibawa ke Benteng Api, sebuah benteng di sisi timur dengan dinding api setinggi seratus kaki yang menjadi sarang para prajurit Troll. Jauh di sisi lain kerajaan, Merk -seorang prajurit bayaran yang mencoba lari dari masa lalunya nan gelap- berjalan menembus hutan demi menjadi Sang Penjaga Menara dan membantu menjaga Pedang Api, sumber kekuatan ajaib kerajaan. Namun para Troll pun mengincar pedang itu – dan mereka tengah menyiapkan serangan besar-besaran demi menumpas kerajaan itu untuk selamanya. Dengan atmosfer yang kuat dan penokohan nan rumit, BANGKITNYA PARA NAGA menjadi sebuah hikayat besar tentang para ksatria dan pejuang, tentang para raja dan bangsawan, tentang kehormatan dan keberanian, tentang keajaiban, takdir, siluman dan para naga. Ini adalah sebuah kisah tentang cinta dan hati yang remuk redam, tipu muslihat, ambisi dan pengkhianatan. Inilah puncak dari sebuah kisah fantasi, yang mengajak kita masuk ke sebuah alam yang akan terus kita selami, kisah yang memikat pembaca dari segala umur dan jenis kelamin. Buku #2 dari serial RAJA DAN PENYIHIR akan segera terbit. BANGKITNYA PARA NAGA benar-benar sukses – sejak awalnya.. Sebuah kisah fantasi yang hebat.. Seperti yang kita duga, kisah ini diawali dengan perjuangan seorang tokoh protagonis dan kemudian mengalir berkisah tentang para ksatria, naga, sihir dan siluman, serta takdir.. Semua daya pikat kisah fantasi ada dalam buku ini, dari cerita tentang para prajurit dan peperangannya hingga pergolakan batin mereka.. Inilah kisah terbaik yang direkomendasikan bagi para pencinta novel fantasi yang penuh dengan kisah tentang tokoh protagonis muda yang kuat dan handal. Midwest Book Review, D. Donovan, Pengulas eBook

Как скачать книгу - "Bangkitnya Para Naga" в fb2, ePub, txt и других форматах?

  1. Нажмите на кнопку "полная версия" справа от обложки книги на версии сайта для ПК или под обложкой на мобюильной версии сайта
    Полная версия книги
  2. Купите книгу на литресе по кнопке со скриншота
    Пример кнопки для покупки книги
    Если книга "Bangkitnya Para Naga" доступна в бесплатно то будет вот такая кнопка
    Пример кнопки, если книга бесплатная
  3. Выполните вход в личный кабинет на сайте ЛитРес с вашим логином и паролем.
  4. В правом верхнем углу сайта нажмите «Мои книги» и перейдите в подраздел «Мои».
  5. Нажмите на обложку книги -"Bangkitnya Para Naga", чтобы скачать книгу для телефона или на ПК.
    Аудиокнига - «Bangkitnya Para Naga»
  6. В разделе «Скачать в виде файла» нажмите на нужный вам формат файла:

    Для чтения на телефоне подойдут следующие форматы (при клике на формат вы можете сразу скачать бесплатно фрагмент книги "Bangkitnya Para Naga" для ознакомления):

    • FB2 - Для телефонов, планшетов на Android, электронных книг (кроме Kindle) и других программ
    • EPUB - подходит для устройств на ios (iPhone, iPad, Mac) и большинства приложений для чтения

    Для чтения на компьютере подходят форматы:

    • TXT - можно открыть на любом компьютере в текстовом редакторе
    • RTF - также можно открыть на любом ПК
    • A4 PDF - открывается в программе Adobe Reader

    Другие форматы:

    • MOBI - подходит для электронных книг Kindle и Android-приложений
    • IOS.EPUB - идеально подойдет для iPhone и iPad
    • A6 PDF - оптимизирован и подойдет для смартфонов
    • FB3 - более развитый формат FB2

  7. Сохраните файл на свой компьютер или телефоне.

Видео по теме - BANGKITNYA PARA RAJA NAGA // Trailer Pengungkapan Skin Imperium - VALORANT

Книги автора

Аудиокниги автора

Рекомендуем

Последние отзывы
Оставьте отзыв к любой книге и его увидят десятки тысяч людей!
  • константин александрович обрезанов:
    3★
    21.08.2023
  • константин александрович обрезанов:
    3.1★
    11.08.2023
  • Добавить комментарий

    Ваш e-mail не будет опубликован. Обязательные поля помечены *