Книга - Yang Terlarang

a
A

Yang Terlarang
Owen Jones


Henglee mulai merasa aneh dengan tubuhnya tiba-tiba, jadi dia menghubungi syaman di daerahnya, yang kebetulan adalah bibinya sendiri. Syaman itu melakukan beberapa tes dan menyatakan bahwa Heng tidak punya darah. Lalu bagaimana dia akan memberitahu keluarganya, dan apa yang akan mereka lakukan?

Heng Lee adalah penggembala kambing di pegunungan terpencil di timur laut Chiang Rai di Thailand utara, sangat dekat dengan perbatasan Thailand dengan Laos. Hubungan antar masyarakat di daerah itu sangat erat, setiap orang saling kenal satu sama lain. Heng tiba-tiba sakit, tapi tidak terlalu parah sehingga masih cukup kuat untuk membawa keluar kambing-kambingnya. Sampai pada suatu hari, dia harus pergi menemui syaman setempat karena dia mulai pingsan. Tidak ada dokter medis di lingkungannya. Seorang syaman sudah cukup baik bagi kebanyakan orang di daerah itu selama berabad-abad. Syaman mengambil beberapa spesimen dan sampai pada kesimpulan bahwa ginjal Heng telah berhenti berfungsi sehingga Heng hanya memiliki sedikit waktu yang tersisa untuk hidup. Pertempuran sedang berlangsung untuk menyelamatkan nyawa Heng, tetapi ada kekuatan lain yang juga muncul. Apa yang akan terjadi dengan Heng, keluarganya, dan seluruh komunitas, bila dia mengikuti nasihat syaman?







YANG TERLARANG



Kisah Humor Keluarga Vampir Kontemporer





1 (THE DISALLOWED)




oleh





1 Owen Jones




Diterjemahkan oleh



1 Henny Prianto




Hak Cipta Owen Jones 22 Agustus 2021



Hak Owen Jones yang diidentifikasi sebagai penulis karya ini telah ditegaskan sesuai dengan bab 77 dan 78 dari Desain Hak Cipta dan Undang-Undang Paten 1988. Hak moral penulis telah ditegaskan.

Dalam cerita fiksi ini, karakter dan kejadian, keduanya adalah produk dari imajinasi penulis atau keduanya sepenuhnya fiktif. Beberapa tempat mungkin memang ada, tetapi kejadian dalam cerita sepenuhnya fiktif.

Diterbitkan oleh

Megan Publishing Services

http://meganthemisconception.com (http://meganthemisconception.com/)



Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang




1 DEDIKASI


Buku ini kudedikasikan untuk temanku, Lord David Prosser dan Murray Bromley, yang telah membantu diriku dan keluarga Thailandku lebih dari yang pernah mereka bayangkan di tahun 2013.

Amal baik pasti akan terbalas.




1 …DAFTAR ISI


Kesulitan Tuan Lee

Kegalauan Keluarga Lee

Pee Pob Heng

Proses Pemulihan

Apa itu orang? Ataukah Burung? Itu Heng

Heng Kembali Bekerja

Heng Memperbanyak Varian Makanannya

Eksperimen Heng

Wisma Tamu

Bisnis Baru Keluarga Lee

Peninggalan Hippie

Waktu Istirahat

Pria dan Wanita Kelelawar

Komunitas Kelelawar Bertumbuh

Dewan Kelelawar Pertama

Glosarium

Bunga Lili Macan dari Bangkok

Tentang Penulis


Hubungi saya di:

http://facebook.com/angunjones (http://facebook.com/angunjones)

http://twitter.com/lekwilliams (http://twitter.com/lekwilliams)

owen@behind-the-smile.org (mailto:owen@behind-the-smile.org)

http://owencerijones.com (http://owencerijones.com/)



Bergabunglah di buletin kami untuk informasi staf yang

bertugas untuk buku dan tulisan Owen Jones

dengan memasukkan alamat surel di sini:



http://meganthemisconception.com (http://meganthemisconception.com/)




1 1 KESULITAN TUAN LEE


Tuan Lee, atau Kakek Lee, begitu dia dikenal warga sekitar, merasa aneh selama berminggu-minggu. Karena masyarakat setempat begitu kecil dan terisolasi, semua orang di sekitarnya juga mengetahui keadaannya. Dia telah mencari nasihat dari dokter setempat, yaitu salah satu dari dokter tradisional, bukan dokter medis modern. Dokter itu mengatakan padanya bahwa suhu tubuhnya tidak seimbang karena ada sesuatu yang mempengaruhi darahnya.

Seorang shaman wanita di wilayah setempat, yang sebenarnya adalah bibi Tuan Lee sendiri, masih belum yakin penyebabnya. Akan tetapi, dia berjanji akan mencari tahu dalam waktu sekitar dua puluh empat jam, jika Tuan Lee meninggalkan beberapa sampel untuk dia pelajari dan kembali lagi ketika dia memanggilnya. Shaman itu memberi Tuan Lee segumpal lumut dan batu.

Tuan Lee tahu apa yang harus dilakukan karena dia pernah melakukannya sebelumnya. Jadi dia mengencingi lumut itu lalu meludah di batu itu setelah berusaha memancing keluar ludahnya sampai banyak. Tuan Lee dengan sungguh-sungguh mengembalikan benda itu ke shaman. Dengan sangat hati-hati agar tangannya tidak menyentuh benda itu, shaman itu membungkusnya secara terpisah dalam potongan-potongan daun pisang agar kelembapannya terjaga selama mungkin.

“Beri waktu satu hari agar benda itu membusuk lalu mengering, setelah itu, aku akan melihat dengan seksama apa yang terjadi denganmu.”

“Terima kasih, Bibi Da, maksudku, Shaman Da. Aku akan menunggu kabar darimu dan segera datang saat kau memanggilku.”

“Tunggulah di sana, anakku, aku belum selesai denganmu.”

Shaman Da mengulurkan tangan ke arah belakang lalu mengambil kendi gerabah dari rak. Dia membuka tutupnya, mengambil dua suap, lalu terakhir meludahkannya ke Kakek Lee. Saat Bibi Da mengucapkan doa kepada dewanya, Tuan Lee berpikir mungkin wanita itu telah lupa soal ‘higinitas’ ‒ dia benci diludahi siapa pun, terutama oleh wanita tua dengan giginya yang busuk.

“Semburan alkohol dan doa itu akan melindungimu sampai kita dapat menelaah apa yang terjadi padamu dengan benar.” dia meyakinkannya.

Shaman Da berdiri dari posisi duduk bersila di tanah di tempat naungan spiritualnya, merangkul bahu keponakannya, lalu berjalan bersamanya ke luar sambil melinting rokok.

Begitu keluar, dia menyalakan rokoknya, mengisap dalam-dalam lalu merasakan asap memenuhi paru-parunya.

“Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu tersayang?”

“Oh, mereka baik, Bibi Da, hanya sedikit khawatir dengan kesehatanku. Sekarang, aku merasa agak cemas untuk sementara waktu dan aku tidak pernah sakit seumur hidup, seperti yang kau tahu.”

“Iya. Kita keluarga Lee memang sangat kuat. Ayahmu, maksudku kakakku, pasti masih sehat sekarang jika tidak mati karena flu. Dia kuat seperti kerbau. Kau mengikuti jejaknya, tapi dia tidak pernah tertembak. Menurutku, itulah yang telah membelenggumu, peluru Yankee itu.”

Tuan Lee pernah mengalami ini berratus-ratus kali sebelumnya, tetapi dia tidak pernah bisa menang dalam berdebat. Jadi, dia hanya mengangguk, menyerahkan uang lima puluh baht pada bibinya dan lalu pulang ke rumahnya, yang hanya beberapa ratus meter di luar desa.

Dia sudah merasa baikan, sehingga dia berjalan riang untuk membuktikan itu pada semua orang.

Kakek Lee percaya sepenuhnya pada bibi tua Da, sama seperti orang lain di lingkungannya, yang mana terdiri dari dusun-dusun dengan lima ratus rumah dan beberapa lusin peternakan kurang lebih. Bibinya, Shaman Da, telah mengambil alih peran sebagai shaman desa ketika masih kecil, dan tidak lebih dari selusin, orang yang bisa mengingat shaman sebelumnya. Mereka tidak pernah memiliki dokter medis lulusan universitas.

Bukan berarti bahwa penduduk desa tidak memiliki akses ke dokter, melainkan jumlah dokterlah yang sedikit dan lokasinya pun jauh‒dokter permanen terdekat berada ‘di kota’, tujuh puluh lima kilometer jauhnya dan tidak ada bus, taksi, atau kereta api di pegunungan tempat tinggal mereka, yaitu di pojok timur laut paling atas Thailand. Selain itu, biaya dokter mahal dan obat yang diresepkan pun mahal, bahkan bagi orang-orang yang memiliki penghasilan tinggi. Ada pula sebuah klinik yang jaraknya beberapa desa jauhnya, tetapi dikelola oleh perawat penuh waktu dan seorang dokter keliling paruh waktu yang hanya bekerja di sana satu hari dalam dua minggu.

Penduduk desa seperti Tuan Lee berpikir bahwa mereka yang merupakan penduduk kota yang kaya mungkin baik-baik saja, tetapi tidak bagi penduduk desa. Bagaimana mungkin seorang petani meliburkan diri satu hari lalu menyewa seseorang beserta mobil untuk melakukan hal yang sama dan pergi mengunjungi dokter di kota? Jikalau ada seseorang yang memiliki mobil, dia adalah pemilik mobil traktor tua yang ada dalam radius sepuluh kilometer.

Tidak, pikirnya. Bibinya yang sudah sangat tua cukup baik untuk semua orang dan bibinya itu cukup baik untuk Tuan Lee. Selain itu, bibinya tidak akan membiarkan siapa pun mati bila belum waktunya dan dia jelas tidak pernah membunuh siapa pun. Semua orang bisa bersumpah untuk itu. Semua orang.

Tuan Lee sangat bangga dengan bibinya, dan bagaimanapun, tidak ada sanak saudara bermil-mil jauhnya dan tentu saja tidak ada seorang pun yang berpengalaman seperti bibinya ‒ semua…? Ya, tidak ada yang tahu berapa usia Bibi Da sebenarnya, bahkan dirinya sendiri, tetapi mungkin sekitar sembilan puluh tahun.

Tuan Lee sampai di depan halamannya dengan gagasan-gagasan itu dalam benaknya. Dia ingin mendiskusikan hal itu dengan istrinya karena meskipun dari luar dia adalah kepala keluarga, sama seperti keluarga lainnya, itu hanyalah formalitas. Pada kenyataannya, setiap keputusan dibuat bersama-sama atau setidaknya bagi semua para orang dewasa.

Ini akan menjadi hari yang penting karena keluarga Lee tidak pernah mengalami ‘krisis’ sebelumnya dan kedua anak mereka, yang juga bukan anak-anak lagi, harus diizinkan untuk angkat bicara juga. Sejarah akan dibuat dan Tuan Lee sadar akan hal itu.

“Mud!” teriaknya. Itu adalah panggilan sayang untuk istrinya sejak anak sulung mereka tidak bisa mengatakan ‘Ibu’.

“Mud, apa kau di rumah?”

“Iya, aku baru kembali.”

Lee menunggu beberapa saat sampai dia masuk. Di dalam ruangan terasa panas dan pengap, jadi dia pergi ke halaman depan dan duduk di balai-balai keluarga mereka yang besar. Balai-balai itu adalah tempat seluruh keluarga makan bersama dan mereka tidak akan duduk di sana jika mereka tidak punya waktu luang.

Nama asli Nyonya Lee adalah Wan, meskipun suaminya dengan sayang memanggilnya ‘Mud’ karena anak tertua mereka memanggilnya begitu sebab dia belum bisa mengatakan ‘ibu’ saat itu. Nama itu melekat pada Tuan Lee tetapi tidak dengan salah satu dari anak-anak mereka. Nyonya Lee berasal dari desa Baan Noi, seperti halnya Tuan Lee sendiri, tetapi keluarga Nyonya Lee tidak tahu bahwa keluarga Tuan Lee datang dari China dua generasi sebelumnya, meskipun kota asalnya juga tidak jauh.

Dia sama seperti perempuan-perempuan di daerah itu. Di masa mudanya, dia adalah seorang gadis yang sangat cantik, tetapi pada saat itu para gadis tidak diberi banyak kesempatan dan juga tidak didorong untuk menjadi ambisius. Bukan berarti hal itu telah banyak berubah di jaman putrinya meski sudah dua puluh tahun kemudian. Dulu, Nyonya Lee berniat mencari seorang suami setelah putus sekolah, jadi ketika Heng Lee melamarnya dan menunjukkan kepada orangtuanya uang kompensasi yang dia miliki di bank, Nyonya Lee berpikir laki-laki itu merupakan tangkapan yang bagus seperti laki-laki lain di daerah itu yang mungkin ingin didapatkannya. Dia juga tidak berkeinginan untuk pergi dari teman dan kerabatnya ke kota besar untuk memperluas wawasannya.

Dia bahkan mulai mencintai Heng Lee dengan caranya sendiri, meskipun gairah itu telah lama padam dalam kehidupan cintanya yang singkat dan sekarang dia lebih menjadi mitra bisnis daripada seorang istri di perusahaan keluarga yang didedikasikan untuk kelangsungan hidup mereka bersama.

Wan tidak pernah mencari kekasih, meskipun dia telah dilamar baik sebelum dan sesudah pernikahannya. Pada saat itu, dia sangat marah, tetapi sekarang dia bisa mengingat kembali momen-momen itu dengan hati yang lunak. Lee adalah yang cinta pertama dan satu-satunya bagi Wan, dan sekarang pastilah akan menjadi yang terakhir, tetapi dia tidak menyesalinya.

Satu-satunya mimpi Wan adalah melihat dan merawat cucu-cucunya, yang pada waktunya nanti pasti juga dikehendaki oleh anak-anaknya. Walaupun anak-anaknya tidak ingin, terutama putrinya, untuk terburu-buru menikah seperti ibunya. Wan tahu bahwa anak-anaknya juga akan memiliki anak nantinya, dia sangat yakin kalau mereka mampu. Sebab, itulah satu-satunya cara untuk memberikan jaminan finansial bagi diri mereka sendiri di masa tua dan berkesempatan untuk meningkatkan status keluarga.

Nyonya Lee peduli akan keluarga, status, dan kehormatannya, tetapi dia tidak menginginkan materi lebih dari yang telah dia miliki. Dia telah belajar untuk hidup sederhana begitu lama sehingga tidak menjadi masalah lagi baginya.

Dia sudah memiliki ponsel dan televisi, tetapi sinyalnya sangat buruk. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu pemerintah lokal berkeliling meningkatkan pemancar sinyal, yang pasti akan terjadi suatu hari nanti, jika tidak dalam waktu dekat. Dia tidak menginginkan mobil karena dia tidak ingin pergi ke mana pun dan selain itu jalanannya juga tidak begitu bagus.

Namun, bukan hanya itu, orang-orang seusianya dan yang ada di daerahnya beranggapan bahwa mobil sangat tidak terjangkau sehingga mereka tidak lagi menginginkan itu selama beberapa dekade yang lalu. Dengan kata lain, dia puas dengan sepeda dan motor tua yang menjadi armada angkutan keluarga.

Nyonya Lee juga tidak menginginkan emas atau pakaian mewah lagi karena kenyataan membesarkan dua anak dengan penghasilan seorang petani juga telah meruntuhkan keinginannya itu bertahun-tahun yang lalu. Terlepas dari semua itu, Nyonya Lee adalah seorang perempuan yang bahagia yang mencintai keluarganya dan pasrah untuk tinggal apa adanya dan tempat dia berada, sampai Buddha memanggilnya untuk berpulang suatu hari nanti.

Tuan Lee memperhatikan istrinya berjalan ke arahnya sambil menyesuaikan sesuatu di bawah sarungnya, yang mana dari luar terasa ada yang mengganjal, pikirnya, tetapi tidak pernah ingin tahu. Dia duduk di sudut balai-balai dan mengangkat lututnya agar bisa duduk sambal memeluk lututnya.

“Oke, apa yang nenek tua itu katakan?”

“Oh, ayolah, Mud, dia tidak seburuk itu! Baiklah, kau dan Bibi Da memang tidak cocok, tetapi terkadang itu wajar terjadi, bukan? Tetapi dia tidak pernah berbicara sepatah kata pun tentangmu. Baru tiga puluh menit yang lalu dia menanyakan kesehatanmu … dan anak-anak.”

“Terkadang kau juga bisa menjadi begitu bodoh, Heng. Bibi Da berbicara baik tentang aku atau di depanku hanya saat ada orang-orang yang mendengarkan di sekitarnya, tetapi setiap kali hanya ada kami berdua, dia memperlakukanku seperti kotoran dan dia selalu seperti itu. Dia membenciku, tetapi dia terlalu licik menyembunyikan itu darimu karena dia tahu kau akan memihakku, bukan dia. Para pria berpikir bahwa dirinya sangat bijak tetapi mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di bawah hidungnya sendiri. Dia telah menuduhku melakukan segala macam hal selama bertahun-tahun dan berkali-kali juga … seperti tidak menjaga kebersihan rumah, tidak memandikan anak-anak, dan bahkan dia pernah bilang kalau makananku berbau seperti ada kotoran kambing sebagai penyedap rasa! Cih, itu pun belum setengahnya. Toh kau tidak mempercayaiku, kan, istrimu sendiri? Ya, kau bisa tersenyum, tetapi tidak lucu bagi diriku yang selama tiga puluh tahun terakhir ini mengalaminya, biar kuberi tahu kau. Omong-omong, apa yang dia katakan?”

“Tidak ada, sungguh, hanya pemeriksaan, seperti rutinitas lama yang sama. Kau tahulah, kencing di lumut, meludahi batu lalu membiarkan dia menyemburku dengan alkohol dari mulut tua bergigi itu. Aku ngeri memikirkannya. Dia bilang akan memberitahuku besok saat hasilnya sudah bisa dibaca. Di mana anak-anak? Bukankah seharusnya mereka di sini untuk ikut serta dalam diskusi keluarga ini?”

“Menurutku tidak, tidak juga. Lagi pula, kita belum tahu apa-apa, kan? Atau kau punya ide?”

“Tidak, tidak ada. Kupikir aku bisa minta pijat ke gadis Tionghoa itu barangkali bisa membantu jika aku memintanya agar melunak padakku. Dia belajar keahlian memijat di Thailand utara dan dia sedikit kasar, bukan … begitu kata orang-orang. Kau tahu kan, terutama ada sebagian diriku yang sama seperti dia, dari ras yang sama. Barangkali bisa sembuh setelah mendapat pijatan lembut… bagaimana menurutmu, Sayang?”

“Ya, aku tahu apa yang kau maksud dengan pijatan lembut. Kalau begitu, kenapa kau tidak meminta pamanmu untuk melakukannya? Kenapa memilih gadis muda?”

“Kau kan tahu kenapa. Aku tidak suka ada tangan pria menyentuh badanku. Aku sudah menjelaskan itu sebelumnya, tetapi baiklah, jika itu membuatmu kesal, aku tidak akan minta pijat.”

“Dengar, aku tidak melarangmu! Demi Tuhan, aku tidak mungkin menghentikanmu meski kau ingin pergi! Namun, seperti yang kau katakan, orang-orang mengatakan gadis itu agak kasar, dan dia mungkin akan memperburuk kesehatanmu, bukan memperbaikinya. Menurutku, akan lebih bijaksana untuk tidak pijat sampai kita mendengar penjelasan dari bibimu, itu saja.”

“Ya, OK, mungkin kau benar. Kau belum menjawab anak -anak ada di mana.”

“Aku tidak begitu yakin, kurasa sekarang waktunya mereka kembali… Mereka pergi bersama untuk mendatangi pesta ulang tahun atau semacamnya di akhir pekan.”

Keluarga Lee memiliki dua anak, putra dan putri. Mereka merasa beruntung karena akhirnya mendapatkan putra setelah berusaha selama sepuluh tahun. Sekarang anak mereka berumur dua puluh dan enam belas tahun, jadi Tuan dan Nyonya Lee sudah lama menyerah untuk berharap menambah anak lagi.

Mereka pun sudah berhenti berusaha sejak lama.

Putra dan putri keluarga Lee adalah anak-anak yang baik, hormat, dan patuh. Mereka membuat orang tua mereka bangga, atau setidaknya, apa yang orang tua mereka ketahui tentang mereka membuat orang tua mereka bangga, karena mereka sama seperti anak-anak yang baik: sembilan puluh persen baik, tetapi bisa berbuat jahat juga dan memiliki pikiran rahasia yang mereka tahu tidak akan disetujui oleh orang tua mereka.

Putra Tuan Lee, Den, atau Lee muda, baru menginjak usia dua puluh tahun dan sudah hampir dua tahun putus sekolah. Dia, seperti saudara perempuannya, memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, tetapi kenyataan mulai menyadarkannya bahwa ayahnya punya kehidupan yang sangat berat yang direncanakan untuk diwarisinya, yaitu bekerja sepanjang hidupnya, baik sebelum maupun sepulang sekolah. Akan tetapi, mereka toh masih ada waktu untuk sepak bola dan tenis meja sementara para gadis berlatih menari saat itu.

Itu semua telah berakhir sekarang dan begitu juga prospek kehidupan seksualnya, bukan karena pernah ada banyak hal yang bisa dibanggakan‒sekadar ciuman yang jarang terjadi dan raba-meraba yang lebih jarang lagi terjadi, melainkan sekarang dia tidak melakukan apa pun selama hampir dua tahun. Den akan pergi ke kota seketika jika dia punya petunjuk apa yang harus dia lakukan ketika dia sampai di sana, tetapi dia juga tidak punya ambisi, kecuali untuk sering berhubungan seks.

Hormonnya mempermainkannya sedemikian rupa hingga beberapa kambing terlihat sangat menarik baginya. Hal itu membuat dirinya sendiri senantiasa khawatir. Dia sangat menyadari bahwa dia harus menikah jika ingin memiliki hubungan teratur dengan seorang perempuan. Pernikahan, sekalipun membutuhkan biaya untuk menghidupi anak, mulai terlihat sangat menarik baginya.

Nona Lee, yang lebih dikenal sebagai Din, adalah seorang gadis yang sangat cantik berusia enam belas tahun, yang putus sekolah pada musim panas setelah belajar dua tahun lebih sedikit dari kakaknya, yang mana itu cukup normal di daerah mereka. Bukan karena dia kurang cerdas, melainkan karena kedua orang tua dan dirinya sendiri berasumsi bahwa semakin awal mereka memulai keluarga, semakin baik. Selain itu, akan lebih mudah untuk mendapatkan seorang suami ketika seorang gadis belum menginjak usia dua puluh bahkan beberapa tahun lebih tua darinya. Din menerima ‘kearifan’ tradisional ini tanpa pertanyaan, meskipun ibunya waswas.

Dia juga telah bekerja sebelum dan sepulang sekolah sepanjang hidupnya dan mungkin lebih keras daripada kakaknya, meskipun kakaknya tidak akan pernah bisa melihat itu, karena gadis-gadis pada dasarnya adalah pekerja paksa di mana-mana.

Namun, Din punya fantasi. Dia memimpikan keterikatan romantis, di mana kekasihnya akan membawanya pergi ke Bangkok, di mana dia akan menjadi seorang dokter dan dia akan menghabiskan sepanjang hari berbelanja dengan teman-temannya. Hormonnya juga mengganggunya, tetapi budaya lokal melarangnya untuk menunjukkan itu, bahkan pada dirinya sendiri. Ayah, kakak, dan bahkan ibunya juga, mungkin, akan mengurung dirinya, jika dia tertangkap tersenyum kepada seorang anak laki-laki selain keluarga. Dia tahu itu dan menerimanya tanpa pertanyaan.

Dia berencana untuk segera mulai mencari suami. Ibunya menawarkan diri untuk membantu dalam rencananya itu karena ibu dan putrinya sama-sama tahu bahwa yang paling baik adalah diselesaikan secepat mungkin untuk mencegah risiko rasa malu menimpa keluarga.

Secara keseluruhan, keluarga Lee layaknya keluarga lain di wilayah itu dan mereka senang untuk itu. Mereka melanjutkan hidup mereka dalam batasan adat istiadat setempat dan berpikir bahwa hal itu benar dan pantas, bahkan jika kedua anaknya itu memiliki impian untuk melarikan diri ke kota besar. Masalahnya adalah kurangnya ambisi yang sudah mendarah daging bagi orang pegunungan selama berabad-abad, itulah yang menahan mereka. Hal ini berdampak positif bagi pemerintah karena jika tidak, semua anak muda telah lama menghilang dari pedesaan kabur ke Bangkok, kemudian dari sana mereka pergi ke luar negeri, seperti Taiwan dan Oman, yang mana gaji di sana lebih baik dan kebebasan dari tekanan teman sebaya yang kaku sangat memikat.

Banyak gadis muda yang telah pergi ke Bangkok. Beberapa dari mereka telah mendapatkan pekerjaan yang layak, tetapi banyak yang akhirnya bekerja di industri seks di kota-kota besar dan dari sana, beberapa melakukan perjalanan lebih jauh ke luar negeri dan bahkan ke luar Asia. Ada banyak cerita horor yang menghalangi gadis-gadis muda untuk mengambil jalan itu dan hal itulah yang juga menghalangi Din dan ibunya.

Tuan Lee menyukai hidupnya dan mencintai keluarganya, meskipun bukanlah hal baik untuk mengakuinya di luar batasan rumah. Dia tidak ingin kehilangan mereka karena penyakit yang mungkin mulai menumpuk dalam dirinya saat masih muda.

Tuan Lee, atau Kakek Lee, begitu dia lebih dikenal (meskipun dia tahu bahwa beberapa anak muda yang kurang hormat di desa memanggilnya Kambing Peot Lee) adalah seorang idealis semasa muda dan telah mendaftar untuk berjuang demi Vietnam Utara segera setelah dia putus sekolah. Dia tinggal tepat di perbatasan dengan Laos, jadi Vietnam Utara tidak jauh. Dia pun tahu tentang bom yang dijatuhkan Amerika di sana dan di Laos. Dia pun ingin melakukan sedikit usaha untuk menghentikannya.

Dia telah bergabung dengan gerakan komunis dan pergi ke Vietnam untuk pelatihan tempur setelah dia diberi perintah. Banyak orang yang dilatih sama seperti dirinya, sebagian keturunan Tionghoa, tetapi muak dengan kekuatan asing yang mencampuri masa depan bangsanya. Dia tidak dapat memahami mengapa orang Amerika yang tinggal ribuan mil jauhnya peduli tentang siapa yang berkuasa di bagian kecil dunia ini. Sedangkan dia sendiri tidak pernah peduli presiden mana yang dipilih bangsanya.

Namun, seperti sudah ditakdirkan, dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk melepaskan tembakan dalam kemarahan karena dia terkena pecahan peluru dari bom Amerika saat dia pergi dari kamp pelatihan ke medan pertempuran pada hari pertamanya keluar dari kamp pelatihan. Luka-lukanya sangat menyakitkan, tetapi tidak mengancam jiwa, meskipun cukup untuk membuatnya cacat dan dikeluarkan dari militer setelah dia cukup sehat untuk meninggalkan rumah sakit. Kaki kirinya terhantam oleh potongan terbesar, dan beberapa potongan yang lebih kecil mengenai perutnya, yang mana sekarang mungkin menjadi sumber ketidaknyamanannya, pikirnya. Hal itulah yang juga menjadi sumber rumor bahwa dia pernah tertembak.

Dia telah kembali ke rumah dengan kaki pincang yang buruk dan uang kompensasi yang cukup untuk membeli sebuah ladang kecil. Namun, karena keadaan kakinya buruk, dia membeli sebuah peternakan dan beberapa kambing, lalu membesarkan dan menjualnya sebagai gantinya. Dalam waktu satu tahun setelah dia kembali, kakinya sudah sebaik yang dia bisa dan dia menikah dengan seorang gadis lokal yang cantik yang dia kenal dan dia idamkan sepanjang hidupnya. Dia juga berasal dari latar belakang petani, dan mereka menetap untuk kehidupan yang bahagia, sedikit bahagia.

Setiap hari dalam seminggu sejak itu, kecuali hari Minggu, Tuan Lee membawa gembalanya ke dataran tinggi untuk merumput. Di musim panas, dia sering menginap di salah satu pondok miliknya di sana-sini yang mana dia belajar sendiri untuk membuatnya saat menjadi tentara. Dia melihat kembali ke masa itu dengan nostalgia, sebagai hari-hari bahagia, meskipun dia tidak akan menyebut seperti itu pada saat itu.

Tidak ada lagi predator di pegunungan, kecuali manusia, karena sudah lama sejak semua harimau dibunuh untuk digunakan dalam industri pengobatan Tiongkok. Tuan Lee memiliki perasaan campur aduk tentang itu. Di satu sisi, dia tahu itu memalukan, tetapi di sisi lain, dia juga tidak mau setiap malam harus melindungi kambingnya dari harimau pemburu. Ketika penyakit itu menyerangnya sekitar seminggu yang lalu, dia telah menjadi penggembala kambing selama hampir empat puluh tahun, jadi dia mengenal pegunungan seperti halnya kebanyakan orang tahu taman mereka sendiri.

Dia tahu area mana yang harus dihindari karena ranjau darat dan paket striknina yang dijatuhkan oleh orang Amerika pada tahun Tujuh Puluh dan dia tahu area mana yang telah dibersihkan, meskipun para pencari ranjau telah melewatkan satu atau dua ranjau seperti yang ditemukan salah satu kambingnya sebulan sebelumnya. Itu memalukan, meskipun mayat kambing itu tidak sia-sia, ajal telah datang dengan cepat ketika tuas penyumbat yang copot telah memicu ranjau lalu terlempar ke langit, membuat kepala kambing itu meledak. Karena terlalu jauh untuk membawa pulang bangkainya, jadi Tuan Lee menghabiskan beberapa hari di pegunungan sambil makan dengan rakus sementara keluarganya khawatir dia akan sakit jika kembali menggembala.

Tuan Lee pria yang santai. Dia menikmati pekerjaannya dan kehidupan di luar ruangan, dan dia sudah lama berdamai dengan kenyataan bahwa dia tidak akan pernah kaya atau pergi ke luar negeri lagi. Karena alasan ini, dia dan istrinya saat ini bahagia hanya memiliki dua anak. Dia menyayangi kedua anaknya sama besar dan menginginkan yang terbaik untuk mereka. Dia juga senang bahwa mereka sudah putus sekolah sehingga mereka dapat bekerja penuh waktu di peternakan, sedangkan istrinya menanam tumbuhan dan sayuran serta memelihara tiga babi dan beberapa lusin ayam.

Tuan Lee sedang memikirkan seberapa banyak dia dapat mengembangkan pertaniannya dengan bantuan ekstra. Mungkin mereka bisa mengelola selusin ayam lagi, beberapa ekor babi lagi, dan mungkin ladang jagung manis.

Dia terbangun dari lamunannya.

“Bagaimana jika ini serius, Mud? Aku belum pernah menyebutkan ini sebelumnya, tetapi aku pingsan dua kali minggu ini dan hampir pingsan lebih dari dua atau tiga kali.”

“Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”

“Yah, kau tahulah, aku tidak ingin kau khawatir dan kau tidak bisa berbuat apa-apa, bukan?”

“Tidak, memang tidak, tapi aku akan membawamu ke bibimu lebih awal dan mungkin mencoba membawamu ke dokter medis.”

“Ohh, kau mengerti diriku, Mud. Aku sudah bilang kan, ‘Mari kita tunggu apa kata bibi sebelum menghabiskan semua uang itu’. Aku harus mengakui kadang-kadang merasa sangat aneh dan aku agak takut dengan apa yang akan dikatakan bibi besok.”

“Ya, aku juga. Apakah kau benar-benar merasa seburuk itu?”

“Kadang-kadang. Tapi aku hanya merasa kelelahan saja. Dulu aku bisa lari dan melompat dengan kambing-kambingku, tetapi sekarang aku lelah hanya melihat mereka!”

“Ada yang tidak beres, aku yakin itu.”

“Lihat, Paw.” yang merupakan suatu nama hewan peliharaan dan bukan imajinatif karena panggilan itu berarti ‘Ayah’.

“Anak-anak ada di gerbang. Apakah kau ingin mengajak mereka berdiskusi sekarang?”

“Tidak, kau benar, mengapa mengkhawatirkan itu sekarang. Menurutku, bibi akan memanggilku besok sore, jadi beri tahu mereka kalau kita akan mengadakan pertemuan keluarga saat minum teh dan mereka harus ada di sana.

Kurasa aku akan pergi tidur sekarang, aku merasa lelah lagi. Ludah bibi membangunkanku untuk beberapa saat, tetapi ludahnya sudah hilang sekarang. Katakan pada mereka aku baik-baik saja. Tapi minta Den menggembalakan kambingku besok, ya? Dia tidak harus menggembala kambing jauh-jauh, hanya menyusuri sungai sehingga mereka bisa makan rumput di dekat sungai dan minum … Itu tidak akan menyiksa para kambing selama satu atau dua hari.

Kalau kau punya waktu sepuluh menit, apa kau bisa membuatkan aku teh spesial? Teh dengan jahe, adas manis dan, sisanya … yang seharusnya membuatku sedikit bersemangat … Oh, dan beberapa melon atau biji bunga matahari … mungkin kau bisa meminta bantuan Din untuk menyiapkannya untukku?”

“Bagaimana kalau semangkok sup? Ini kesukaanmu…”

“Ya, OK, tetapi jika aku tertidur, taruh saja di meja, aku akan memakannya nanti saat dingin.

Halo, anak-anak, ayah akan tidur lebih awal malam ini, tapi ayah tidak ingin kalian khawatir. Ayah baik-baik saja. Ibu akan menjelaskan detailnya pada kalian. Ayah hanya menderita infeksi, kurasa. Selamat malam semuanya.”

“Selamat malam, Paw,” jawab mereka semua. Din terlihat sangat prihatin karena Din dan Den terlihat cemas saat melihat Tuan Lee yang bersandar kembali. Kemudian, mereka saling bertatapan satu sama lain.

Saat Tuan Lee berbaring di sana dalam kegelapan yang sunyi, dia merasakan sisi tubuhnya semakin berdenyut, seperti gigi yang membusuk yang selalu terasa lebih merepotkan saat tidur di malam hari, tetapi dia sangat lelah sehingga dia tertidur lelap sebelum minum teh, sup, dan biji-bijian yang dibawakan untuknya.

Di luar, di balai-balai di bawah cahaya temaram, anggota keluarga lainnya membahas kesulitan Tuan Lee dengan suara pelan, meskipun faktanya tidak ada yang bisa mendengar mereka jika mereka berbicara dengan suara keras.

“Apa ayah akan mati, Mum?” tanya Din hampir menangis pada ibunya.

“Tidak, Sayang, tentu tidak,” jawab Ibu Din “…setidaknya menurut ibu, tidak.”




1 2 KEGALAUAN KELUARGA LEE


Dalam gaya pedesaan yang khas, semua orang tidur bersama di satu-satunya kamar di dalam rumah: Mum dan Paw tidur di kasur double, anak-anak tidur di kasur single masing-masing dan tiap kasur tertutup kelambu sendiri-sendiri. Jadi, ketika keluarga Lee bangun saat fajar menyingsing, semua orang saling memberi kode agar tidak membangunkan Heng.

Mereka tahu ada yang tidak beres, karena biasanya Heng-lah yang pertama bangun dan pergi keluar rumah, bahkan di pagi yang paling dingin. Anak-anak mengintip melalui kelambu ke wajah Heng yang pucat pasi dan mereka terlihat cemas, hingga akhirnya, Mum mengusir mereka keluar.

“Din, bantu kami, Sayang. Ibu tidak suka melihat Paw seperti ini, jadi cepatlah, mandi, lalu cari tahu apakah bibi sudah punya kabar untuk kita, yaa? kau adalah gadis yang baik. Jika bibi belum siap karena mungkin kita yang terlalu pagi, ya ibu tahu, tanyakan pada bibi barangkali beliau bisa melakukan upaya khusus untuk keponakan kesayangannya, sebelum terlambat?”

Din mulai menangis dan berlari ke kamar mandi. “Maaf, Sayang, ibu tidak bermaksud membuatmu sedih!” teriak ibu ke punggung putrinya.

Ketika Din tiba di rumah bibi buyutnya, lima belas menit kemudian, shaman tua itu sudah bangun dan berpakaian rapi, duduk di balai-balai di depan rumah, sedang makan nasi dan sup.

“Selamat pagi, Din, senang bertemu denganmu, apa kau ingin semangkuk sup? Ini lezat.” Bibi Da menyayangi semua cucu perempuannya, khususnya Din, tetapi ketika Bibi Da mendengar apa yang harus Din tanyakan, Bibi Da tidak dapat menahan diri. Bibi Da mengatakan bahwa ibu Din terlalu memaksa dalam meminta diagnosis yang tepat seperti ini dalam waktu dua puluh empat jam.

“Duh, ibumu itu! Oke, ayo kita lihat apa yang bisa kita lakukan … Ayahmu terlihat buruk, bukan?”

“Ya, Bibi Da, dia seputih mayat, tapi menurut kami dia belum mati… Mum menancapkan jarum pada ayah saat aku pergi untuk melihat reaksinya, tapi aku tidak menunggu untuk mengetahuinya reaksinya. Aku tidak ingin Paw mati, Bibi Da, tolong selamatkan ayahku.”

“Aku akan melakukan semua yang aku bisa, Nak, tapi saat Buddha memanggil, tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mencegahnya, tapi mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan. Ayo ikut denganku.”

Bibi Da berjalan di depan Din menuju ke naungan sucinya, menyalakan lilin lalu menutup pintu di belakang mereka. Bibi Da berharap Din menunjukkan minat terhadap ‘cara lama’ itu, mumpung dirinya masih cukup muda untuk mengajarinya. Dia tahu, suatu hari nanti, dia akan membutuhkan pengganti, apabila tugas itu tetap diemban oleh keluarga Lee.

Bibi Da menunjuk ke tikar Penanya di lantai dan menyuruh Din duduk, kemudian dia berjalan mengelilingi ruangan sambil menggumamkan doa dan mantra lalu menyalakan beberapa lilin lagi. Kemudian, Bibi Da duduk di hadapan Din, yang sedang menatap ke bawah ke tangannya yang ditangkupkan di atas pangkuannya.

Bibi Da memandang keponakannya, merasakan sedikit getaran di sekujur tubuhnya, menatap ke tangannya sendiri yang ditangkupkan selama beberapa detik, lalu menatap Din lagi.

“Kau datang untuk mencari nasihat tentang hal lainnya? Silakan ajukan pertanyaanmu?” kata Bibi Da, tapi dengan suara yang dalam, gelap, bergemuruh yang belum pernah didengar siapa pun di luar ruangan itu.

Transformasi itu mengejutkan Din, seperti yang selalu terjadi ketika bibinya mengalami kesurupan dan membiarkan entitas lain mengendalikan tubuhnya. Walau wajahnya tidak banyak berubah, tetapi seluruh tubuhnya berubah secara halus, dengan cara yang sama ketika seorang aktor atau peniru dapat mengubah bahasa tubuhnya agar sesuai dengan karakter yang dia mainkan, tetapi lebih dari itu. Seolah-olah jiwa Bibi Da telah diganti dengan orang lain, yang membuatnya tidak hanya terlihat berbeda tetapi juga terdengar berbeda.

Din memandang shaman tua yang bukan lagi bibinya.

“Shaman, ayahku sakit parah. Aku perlu tahu ayah sakit apa dan apa yang bisa kami lakukan untuk menyembuhkannya.”

“Ya, ayahmu, yang kau panggil ‘Paw’, kan.”

Orang itu, bibinya terdengar seperti pria pada saat itu, meletakkan tangannya di tiap bungkusan yang ditinggalkan Heng pada hari sebelumnya lalu menutup mata bibinya. Din melongo sesaat lamanya lalu keheningan yang begitu dalam muncul, hingga dia pun akan mampu mendengar semut berjalan di atas tanah yang keras.

Din sudah pernah menjalani selusin sesi seperti itu sebelumnya, meski tidak pernah untuk sesuatu yang seserius ini. Dia pernah bertanya tentang keluhanannya terkait perut sekali, dan tentang menstruasinya beberapa tahun yang lalu. Terakhir kali, dia bertanya apakah dia akan segera menikah. Dia bukan takut dengan ritualnya, melainkan hasilnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa dirinya hanya bisa duduk, menunggu, dan mengamati, karena menurutnya itu menarik.

Shaman itu perlahan membuka bungkusan pertama yang berisi batu, memeriksanya dengan cermat, mengendusnya, lalu meletakkannya kembali di atas daun pisang pembungkusnya. Kemudian mengambil bungkusan kedua yang mengandung lumut, mengendusnya, lalu menggantinya di atas tikar di depannya.

Shaman itu memandang Din dengan serius. Setelah beberapa menit, dia berkata,

“Orang yang kau khawatirkan sedang sakit parah. Sebenarnya, dia sangat dekat dengan kematian ketika dia memberikan sampel ini, tetapi dia belum mati… Beberapa organ dalamnya, terutama yang berhubungan dengan pembersihan darah, kondisinya sangat buruk… Yang kalian sebut ginjal di Thailand, kukira, sudah sama sekali tidak bekerja, dan levernya rusak dengan cepat.

“Artinya, kematiannya sudah dekat. Tidak ada obat medis yang diketahui.”

Shaman itu bergidik lagi dan kembali menjadi Bibi Da tua, yang berkedip beberapa kali. Dia menggeliat sedikit seolah-olah mengenakan gaun ketat tua lalu mengusap matanya.

“Tadi bukan kabar baik, kan Nak? Kau tahu, kan, pada saat aku dirasuki, aku tidak selalu bisa mendengar semuanya. Tapi aku mendengar sedikit dan aku bisa tahu dari wajahmu bahwa itu kabar buruk tentang ayahmu.”

“Roh tadi berkata bahwa Paw pasti akan segera mati, karena tidak ada obat medis untuk gagal ginjal dan hati …”

“Maaf, Din, kau tahu bibi sangat menyayangi ayahmu … Begini, bibi akan memberitahumu sesuatu, bibi sudah mempelajari beberapa trik sendiri selama bertahun-tahun, selain yang kumiliki. Mari kita lihat sekarang … Ya, batunya … coba lihat di mana ayahmu meludahinya? Tidak ada bekasnya! Artinya, tidak ada garam dalam ludah ayahmu, tidak ada garam, tidak ada mineral, tidak ada vitamin, tidak ada apa-apa, hanya air.

“Sekarang, lumutnya.” Bibi Da mengendusnya dari kejauhan kemudian mendekatkan lumut itu ke hidungnya.

“Sama! Cium ini!” Bibi Da menyodorkannya agar Din bisa mengendusnya, tetapi Din enggan mencium bau urin ayahnya.

“Ayo, itu tidak akan menggigitmu!” kata Bibi Da. Din melakukan apa yang disuruh.

“Tidak bau. Hanya bau lumut.”

“Tepat! Urin seorang pria berbau seperti kencing kucing jika dibungkus, tetapi urin ayahmu tidak. Jadi, tidak ada daging di dalamnya yang membusuk. Maka dari itu, darah Ayahmu juga hanya air.

“Kau tidak bisa hidup lama dengan air sebagai darahmu kan? Masuk akal, bukan? Darahmu mengambil semua kebaikan di seluruh tubuh, tapi ayahmu tidak punya, dan itulah sebabnya dia begitu lemah sepanjang waktu!

“Pulanglah sekarang, cari tahu apa kita sudah terlambat. Apabila ayahmu masih hidup, kembalilah ke sini untuk menjemputku dan bawa juga skutermu itu. Ayo pergi sekarang dan cepatlah!”

Din melesat keluar pintu lalu berlari pulang ke rumah.

Ketika Din pergi untuk memeriksa ayahnya, Bibi Da mempersiapkan diri untuk pergi, karena dia tahu di dalam hatinya bahwa Heng belum mati, belum sepenuhnya. Bibi Da memilih beberapa tumbuhan lalu memasukkannya ke dalam tas, memercikkan air ke wajahnya lalu mengikat rambutnya dengan kerudung agar tidak berantakan saat naik motor. Kemudian, dia keluar untuk menunggu keponakannya.

Din tiba beberapa menit kemudian dalam balutan awan debu.

“Cepatlah Bibi, Mum ingin bibi datang secepatnya, karena ayah akan segera meninggal.”

Bibi Da menaiki sadel dari samping skuter, duduk miring layaknya seorang wanita, lalu mereka lepas landas. Rambut panjang Din mencambuk berulang-ulang wajah tua Bibi Da yang keriput. Itu menyakitkan, Bibi Da berusaha menghindarinya. Begitu mereka tiba, Bibi Da melompat turun. Dia cukup gesit untuk ukuran orang yang sangat tua, lalu dia diantar ke dalam rumah.

“Terima kasih sudah datang secepatnya, Bibi Da, Heng ada di atas, di kamar tidur.”

“Ya, tentu dia berada di tempat tidur, tidak mungkin dia bersama kambing kesayangannya!” Dia menyingkap kelambu lalu duduk di atas dipan kayu di sebelah kepala Heng. Pertama, Bibi Da mengamati kulit Heng, lalu rambut dan bibirnya, dan terakhir membuka mata Heng dan melihat ke dalamnya.

“Mmm, aku paham… tunjukkan padaku kaki Heng!” Wan bergegas membuka selimut di kaki suaminya, lalu Bibi Da membungkuk untuk meremasnya dan melihat lebih dekat.

“Mmm, aku belum pernah melihat kasus kekurangan darah dalam daging yang begitu serius seperti ini sebelumnya. Apa kau mengizinkanku untuk memberi tahu anak-anak apa yang harus dilakukan untuk sementara waktu?” tanya Bibi Da langsung diikuti anggukan Nyonya Lee.

“Bagus! Aku akan segera kembali. Topang kepala suamimu dengan beberapa bantal. Aku akan menyuruh Din membantumu, sementara Den akan membantuku di luar.”

“Ya, Bibi, tentu saja. Apapun kulakukan untuk menolong Heng tersayang.”

“Baiklah, mari kita lihat apa yang bisa kita lakukan, oke?” dan setelah itu, Bibi Da berdiri lalu turun ke lantai dasar.

“Din, bantulah ibumu! Den, kau ikut denganku. Kita semua harus bertindak cepat dan tepat.”

Din bergegas pergi sedangkan Den bertanya apa yang bisa dia lakukan untuk membantu.

“Tolong ambilkan aku ayam jantan terkuat yang kau miliki! Cepat, Nak!”

Ketika Den kembali dengan unggas di bawah ketiaknya, Bibi Da mengambil alih.

“Sekarang tambatkan dengan erat si Billy, kambing terkuatmu, ke tiang agar tidak bisa bergerak satu inci pun - duduk ataupun berdiri sama saja.”

Sementara Den bergegas pergi, Bibi Da berjongkok di tepi meja, menggorok tenggorokan ayam jantan, mengalirkan darahnya ke dalam mangkuk, lalu melemparkan tubuh unggas tak bernyawa itu ke keranjang sayuran di atas balai-balai, kemudian bergegas naik ke atas.

“Din.” panggilnya saat datang.

“Apa kau punya susu kambing, atau susu apa pun di lemari es? Jika tidak ada, ambil kendi dan perah susu segar, tolong ya, Nak.”

Tanpa perlu disuruh bergegas, Din sudah melesat pergi.

“Oke, Wan, apa dia sudah bangun?”

“Tidak juga, Bibi, setengah-setengah.”

Baiklah, tutup hidungnya dan aku akan menuangkan darah ini ke tenggorokannya. Dia meremas rahang Heng yang tertutup menggunakan ibu jari dan jari tengahnya agar terbuka, mendongakkan kepalanya, lalu menuangkan sedikit darah ayam ke tenggorokannya. Bibi Da menduga dari cara Heng mengoceh seperti suara mobil berbahan bakar solar bahwa separuh darah itu sedang mengalir menuju arah yang benar.

Heng membuka matanya sedikit.

“Apa yang kalian berdua, para penyihir tua, lakukan padaku?” bisiknya.

“Itu mengerikan!”

“Ah, sepertinya begitu,” kata Bibi Da, sambil menuangkan darah lebih banyak lagi, “…Terlalu kental, ini harus dihentikan.”

Ketika Din tiba, dia berkata,

“Ini susu segar, masih hangat dari si Flower, kambing terbaik kami.”

Bibi Da mengambilnya, lalu mencampurkannya 50 banding 50 dengan sisa darah di mangkuk, lalu menuangkannya ke tenggorokan Heng seperti sebelumnya dengan hasil yang sama, tapi sedikit ada perlawanan.

“Lihat itu!” seru Bibi Da, “…Heng sudah semakin kuat! Heng berusaha melawan kita, dia menahanku. Mungkin dia belum sepenuhnya tersesat! Baiklah! Wan, teruskan meminumkan ini, tapi simpan setengah dari ini. Aku akan kembali dalam beberapa menit.”

Bibi Da turun lalu memanggil Den.

“Apa kambing itu sudah siap?”

“Ya, Bibi, kambingnya di sini.”

“Bagus, ikut denganku.”

Bibi Da menusuk pembuluh darah di leher kambing itu menggunakan pisau tajamnya lalu menyedot beberapa ratus mililiter.

“Lihat bagaimana aku melakukan itu, Nak? Cobalah untuk mengingatnya karena menurutku, kau harus melakukannya setiap hari mulai sekarang.”

Mereka berdua naik ke atas dan mereka terkejut melihat Heng berbicara dengan istri dan putrinya layaknya pasien rumah sakit setelah anestesi umum - grogi, lemah, dan ragu-ragu, tetapi koheren.

Bibi Da mencampurkan darah kambing separuh-separuh dengan sisa susu, tetapi memberi Heng sedikit untuk dicoba terlebih dahulu.

“Oh, Bibi, ini menjijikkan! Astaga…”

“Kalau begitu, coba ini,” kata Bibi Da, menyerahkan segelas cairan merah muda.

“Ya… ini cukup enak… Apa ini? Aku bisa merasakan minuman ini membuatku lebih baik.”

Heng meminumnya dengan penuh semangat.

“Ini, emmm, susu kocok dengan herba… Enak, kan?”

“Ya, Bibi, enak sekali… menyegarkan sekali. Apa masih ada lagi?”

Wan memandang shaman tua yang mengangguk mengiyakan. Wan menuangkan segelas lagi dan membantu suaminya meminumnya.

“Oh, aku senang, Heng,” kata Bibi Da, “…Kurasa dengan susu kocok ini, kita telah menemukan solusi untuk permasalahanmu, meskipun aku yakin kita bisa memperbaikinya sedikit lagi. Mungkin kita bisa menemukan bahan lain untuk mengubah rasanya dari waktu ke waktu, agar tidak membosankan.”

“Ya, Bibi, aku tahu kau akan datang untukku.”

“Apa pun untuk keluargaku, asal aku mampu, aku akan membantu dengan senang hati.” jawabnya sambil memberi senyuman tulus dan hangat.

Bibi Da mencampurkan sisa darah dan susu dengan beberapa tumbuhan dan membuatnya menjadi segelas susu kocok, dan kemudian berkata,

“Heng, kurasa kau harus istirahat sekarang. Lihat, ada lebih banyak susu kocok menanti. Sekarang, aku akan memberi tahukan cara membuatnya kepada keluargmu di bawah, oke? Tenang saja. Panggil aku jika kau membutuhkan aku. Sampai jumpa dan semoga lekas sembuh.”

Setelah semua orang duduk dengan nyaman di balai-balai taman, Wan membagikan minuman dari buah segar dan air dingin, Bibi Da mengambil kendali dalam musyawarah keluarga itu.

“Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku belum pernah melihat kasus ekstrim seperti ini. Tampaknya, pengalamanku dan Roh Pemanduku telah menuntunku untuk meresepkan solusi yang benar.

“Namun, sejauh ini, kita hanya menggunakan apa yang kalian sebut ‘sumber daya darurat’. Mari kita hadapi itu, kita telah memberi Heng darah hewan yang tidak memakan makanan yang sama seperti kita, para manusia, jadi dia masih akan kehilangan nutrisi vital tertentu.

“Yang benar-benar perlu kita lakukan adalah memberinya suplai darah yang teratur dan konstan dari hewan yang memakan apa yang dimakan manusia. Semakin cocok, maka semakin baik untuk Heng.

“Sekarang, kita semua tahu bahwa tidak semua orang memakan persis seperti yang dibutuhkan tubuhnya setiap hari, jadi kita mungkin berasumsi bahwa Heng juga tidak akan meminta itu, tapi jika kita hanya memberinya darah ayam, dia akan kehilangan banyak nutrisi sementara ‘ayam’ masih bisa berkembang dan bertahan dengan baik.”

“Sama halnya jika dia hanya meminum darah kambing, karena rumput tidak bisa mencukupi kebutuhan manusia dalam jangka panjang.”

“Jadi, apa yang Bibi Da maksud…” tanya Den, “kita perlu mencarikannya darah monyet?”

“Yah, itu sesuai dengan apa yang kukatakan, iya, Den, tapi monyet juga tidak makan persis apa yang kita makan, bukan?”

Bibi Da membiarkan kata-katanya diresapi dulu oleh mereka. Din mengerti lebih dulu.

Maksud Bibi, Ayah membutuhkan persediaan darah manusia secara teratur?

Ya, Din, itu cara termudah dan mungkin satu-satunya dalam jangka panjang. Jika kau tidak dapat menemukan suplai darah manusia secara teratur, kau perlu memberinya darah dalam jumlah besar dari berbagai jenis hewan untuk melengkapi kebutuhan makanan manusia. Misalnya, babi makan banyak dari apa yang kita makan, tetapi mereka tidak makan banyak buah dan mereka tidak makan daging babi.

“Kusarankan kalian memelihara beberapa ‘babi donor’ hanya untuk Heng dan memberi makan babi-babi itu dengan makanan tertentu agar darahnya sesuai, kemudian ditambah dengan darah dari hewan lain. Namun, sekali lagi, itu membutuhkan banyak usaha. Kalian bisa membuat koktail dari darah ayam, kambing, babi, anjing dan kucing dan menyimpannya di lemari es, tetapi tidak ada yang pernah melakukan itu sebelumnya, sepengetahuanku… hasilnya tidak akan dapat diprediksi.

“Solusinya benar-benar sejelas hidung di wajah kalian, yaitu darah manusia.”

Kita memeriksa sampel urin dan ludah ayahmu setidaknya tujuh jam lebih awal, namun buktinya jelas.

“Ayahmu tidak memiliki darah! Tidak punya sama sekali! Bahkan tidak setetespun! Biar kutunjukkan pada kalian. Bibi Da merogoh tas bahunya lalu mengeluarkan lumut yang dibungkus daun pisang. Ini sampel urin ayahmu. Lihatlah!”

Bibi Da membakarnya.

“Apinya sedikit berceceran karena kelembapannya, tapi lihat, tidak ada warna di apinya, jadi tidak ada vitamin, tidak ada garam, jadi tidak ada apa-apa di dalam darah. Hanya air di pembuluh darahnya, meski masih berwarna kemerahan.”

“Kita bisa mengambil sampel darahnya lagi nanti dan memeriksanya, kalau kalian mau. Jika dia punya darah yang sebenarnya, lumut itu akan mengering sekarang dan akan menunjukkan warna saat dibakar.

“Sama dengan batunya, lihat! Heng meludah di sini, tapi tidak ada lingkaran garam, tidak ada apa-apa, jadi sekali lagi, hanya air. Ayahmu tidak punya darah di dalam tubuhnya.

“Bahkan setetes pun tidak ada!”

“Apa itu buruk, Bibi Shaman?” tanya Den.

“Buruk? Tentulah buruk! Seseorang tidak bisa hidup tanpa darah! Aku sangat menyayangimu, Den, tapi terkadang kau sangat bodoh! Hanya seks yang ada di otakmu, kurasa, sama seperti semua anak laki-laki seusiamu!”

“Dan itu hanya ‘bibi’ di luar kuil.”

“Ayahmu telah berubah menjadi vampir … apa dia menggigit salah satu dari kalian belakangan ini?”

“Tidak, Bibi, tapi mungkin saja ayah telah menggigit kambing, kami tidak akan tahu itu.” jawab Den.

“Oh, ini sangat serius, sangat serius. Aku pernah mendengar kasus seperti ini, tetapi tidak pernah menjumpai satu pun di seluruh… emmm, pengalamanku yang luas.”

“Wow,” seru Den, “…Ayah telah berubah menjadi Pee Pob, menjadi vampir? Tunggu sampai aku memberi tahu teman-temanku! Heng - Pee Pob! Itu luar biasa!”

“Apakah dia akan segera mati?” tanya Din.

“Kita berusaha menyelamatkannya, Din, kita akan melakukan semua yang kita bisa, tapi itu berarti kalian tidak boleh memberi tahu siapa pun. Den! Kau paham? Tidak seorangpun, tidak seorangpun, dasar anak bodoh!

Apa kau yakin anak laki-laki itu keturunan keluarga Lee, Wan?” Dia melirik sekilas ke arah Wan, yang cemberut lagi padanya dengan rasa tidak hormat sebanyak yang dia bisa kumpulkan ke arah seorang wanita tua yang baru saja menyelamatkan nyawa suaminya yang sekarat.

“Jadi, begitulah. Itulah pilihan kalian. Pada akhirnya, itu adalah keputusan kalian - kalian berempat - karena kalianlah yang harus mendapatkan ‘obat’ dan Heng harus menggunakan semua sisa hidupnya karena tidak ada obat medis untuk kondisi ini.”

Bibi Da bersandar pada salah satu penyangga atap lalu memejamkan mata seolah-olah dia sedang menutup buku dan mengakhiri sesi. Keluarga itu memandanginya lalu saling memandang satu sama lain bertanya-tanya bagaimana mereka akan keluar dari masalah yang satu ini.

Saat Bibi Da tampak kesurupan atau bahkan tertidur, tiga orang lainnya memperdebatkan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.

“Baiklah.” kata Wan, “…Kita tidak bisa mendapatkan banyak darah dari penduduk setempat, bukan? Kebanyakan dari mereka tidak akan rela melepaskan kulit puding beras dingin mereka, apalagi memberikan setengah liter darah mereka, dan kita pun tidak akan mampu membelinya dari mereka.”

“Kita bisa menculik turis, mengalirkan darah mereka ke dalam botol, lalu menyimpannya di lemari es…” usul Den.

“Sebenarnya tidak banyak turis yang datang ke sini, bukan, Den?” kata ibunya sambil mendecakkan lidahnya.

“Kita bisa mencoba campuran darah hewan yang berbeda dan kita semua bisa menyumbangkan setengah liter darah setiap bulan,” potong Din.

“Mmm, aku tidak tahu berapa banyak darah yang bisa diberikan seseorang dalam setahun, tapi dua belas gelas kedengarannya banyak bagiku - tapi pemikiran yang bagus, sayang.”

“Mungkin beberapa anggota keluarga besar bersedia mendonorkan darah dari waktu ke waktu, ayahmu sangat disukai di sekitar sini…”

“Kita bisa menawarkan untuk membeli semua darah dari orang yang meninggal.” usul Den.

“Kalian harus mengeluarkan darah dari tubuh seseorang sebelum dia mati, kukira, Sayang, jika tidak, jantung telah berhenti dan tidak ada yang bisa memompa keluar.”

“Kita bisa menggantung kaki mereka lalu melubangi tenggorokan … atau jantung mereka… atau keduanya?”

“Oh begitu, jadi ketika ada ibu tersayang seseorang meninggal dan semua orang menangisinya, kau mengusulkan untuk bergegas ke sana sebelum mayatnya kaku dan bertanya apakah kita bisa menggantung kakinya lalu mengalirkan darahnya ke dalam ember untuk diminum ayahmu, begitu? Menurutmu itu akan berhasil, hah?!”

“Kita bisa meminta untuk mengambil sedikit saja sebelum…”

“Jangan pernah mengusulkan hal yang begitu keji dan bodoh!”

“Bagaimana dengan bayi… mmm sepertinya tidak yaa?” kata Den lalu terdiam, semua sarannya telah ditolak sejauh ini.

“Singkatnya, sejauh ini kita memiliki opsi yang pertama, mengumpulkan darah dari anggota keluarga, yang kedua, membuat campuran darah hewan. Dan kedua opsi itu kami tidak yakin akan berhasil.

“Ada yang lain?”

“Kita bisa… jangan, mungkin jangan…” kata Den.

“Ayolah, katakan, entah itu bodoh atau tidak,” kata ibunya, “…kita putus asa dan harus mempertimbangkan setiap pilihan.”

“Baiklah, aku bisa menjadi seorang Muslim… kemudian aku bisa menikahi empat orang istri. Sehingga kita bisa memiliki empat pendonor lagi… Dan jika mereka memiliki, katakanlah, masing-masing empat anak, maka ada enam belas pendonor lagi dan…”

“Ya, OK, Den, terima kasih untuk usulmu! Sekarang aku menyesal telah bertanya… Selanjutnya, kau akan menyarankan adikmu untuk jadi PSK lalu menagih seliter darah untuk sekali jalan!”

Din tersipu memikirkannya sekaligus terkejut ibunya berani mengatakannya. Sedangkan Den mengangguk memikirkannya sampai-sampai Wan menendangnya.

“Menurutku, ada dua masalah lagi yang belum kita pertimbangkan.” kata Din. “…Bibi Da mengatakan bahwa Ayah sungguh harus menyetujui rencana kita karena dia yang harus meminumnya dan kita butuh stok untuk besok.”

“Mungkin kita bisa menggunakan susu kocok darah kambing untuk besok, karena Ayahmu sepertinya lebih menyukai itu daripada rasa ayam, tapi ya, kau benar, kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih permanen. Kita bisa bertanya pada Bibi tentang itu nanti. Sedangkan untuk Ayahmu, dia hanya perlu makan apa yang kita berikan padanya dan bersyukur untuk itu, sampai dia cukup kuat untuk mengatur kebutuhan makanannya sendiri, tapi aku yakin dia akan bersyukur bahwa kau memikirkannya.”

Ketika mereka bertiga terdiam dalam pikiran mereka sendiri selama beberapa menit, Bibi Da ‘bangun’.

“Apakah kau berhasil mendapatkan ide baru, atau haruskah aku yang memberi tahu solusinya?”

“Tidak, Bibi.” aku Wan, “…Den punya beberapa ide imajinatif, tapi itu tidak benar-benar memungkinkan. Sayangnya, kami masih bertahan dengan dua usulan yang sama dengan yang Bibi buat beberapa jam yang lalu.”

“Ya, kukira itulah yang akan kau katakan, tapi sejujurnya, ini bukanlah masalah yang mudah untuk diselesaikan. Aku pun telah mencoba bermeditasi, tetapi ini sudah sore dan aku lelah. Jadi, bisakah salah satu dari kalian mengantarku pulang dan kita semua bisa tidur setelahnya?”

Mereka menunggu Den kembali sebelum makan, memeriksa hewan, bergiliran mandi, dan menghabiskan beberapa saat terakhir bersama sebelum mereka tidur lebih awal. Emosi mereka semua terkuras. Namun, yang nyata dari masalah ini adalah tidak satu pun dari mereka yang ingin pergi ke atas sendirian dengan ada vampir di dalam kamar. Jadi, mereka lebih suka pergi bersama.

Wan bahkan tidak ingin tidur dengannya, tetapi dia merasa terikat kewajiban, jadi sebagai yang tertua, dia memimpin jalan, lilin di tangan dengan anak-anak bersembunyi di balik tubuhnya yang gemetar.

Mereka berhenti di ranjang pengantin lalu menatap Heng yang sedang duduk tegak di tempat tidur. Kulitnya pucat dan matanya berwarna koral bersinar dalam kegelapan.

“Selamat malam, semuanya!” katanya dengan suara serak rendah.

Mereka bertiga naik ke tempat tidur masing-masing, tetapi mereka tidak bisa mengalihkan pandangan dari Heng, yang tidak pernah bergerak, tetapi hanya menatap lurus ke depan.




1 3 PEE POB HENG


Ketika mereka bangun di pagi hari, setelah akhirnya tertidur karena kelelahan, Heng tertutup selimut sepenuhnya dengan bantal di atas kepalanya. Semua orang bangkit dari tempat tidurnya lalu turun secepat mungkin, melewati tempat tidur Heng dengan cepat.

“Wow, Mum, apa ibu melihat Ayah tadi malam?” tanya Den. “…Mata dan kulitnya menerangi ruangan, tapi itu matanya, bukan? Matanya dulu berwarna hitam dan putih seperti milik kita, tapi sekarang menjadi merah dan merah muda … Itu pasti karena semua darah itu, kurasa.”

“Aku tidak tahu, Sayangku, tapi kurasa kau benar. Lebih baik sekarang kau mengambil lebih banyak darah dan ajak adikmu untuk mendapatkan lebih banyak susu. Apakah kau ingat bagaimana bibimu mendapatkan darah itu?”

“Ya, Mum, aku akan mengambilnya dari kambing billy lain, bolehkah aku membiarkan yang terakhir sembuh?”

“Ya, ide bagus, Den. Gunakan kambing jantan yang berbeda setiap hari untuk darah dan Din bisa melakukan rutinitas pemerahan normalnya. Untuk saat ini, semua susu kambing itu untuk ayahmu, oke? Dia sangat membutuhkannya daripada kita dan kita tidak ingin dia lapar di tengah malam, bukan?”

“Tidak, Bu, jelas tidak! Aku butuh waktu lama untuk bisa tidur semalam. Aku sangat takut bila Ayah pergi dan mulai berjalan-jalan, barangkali mencari sesuatu untuk dimakan - atau seseorang.”

“Jangan mencemaskan hal-hal seperti itu untuk saat ini, Den. Aku lebih dekat dengannya daripada kau, jadi dia akan mencariku lebih dulu, tetapi jika kau melihat kulit pucat dan tidak berdarah lagi dari kita, keluarlah. Sama halnya jika kau melihat empat mata merah menatapmu dari balik kelambu kami suatu pagi.”

“Tentu, Bu! Aku akan pergi dan mengambil darah itu segera. Dimana Din?”

“Ibu tidak tahu, mungkin dia sudah mulai memerah susu. Lanjutkan pekerjaanmu dan aku akan menemui Bibi Da dengan menaiki sepeda motor - kurasa kita masih membutuhkan bantuan untuk ayahmu. Kau dan adikmu tunggu ibu kembali sebelum menemui Ayahmu, yaa?”

“Ya, Bu. Tidak perlu memberitahuku dua kali. Tapi apa yang harus kita lakukan jika ayah turun ke sini?”

“Kurasa dia tidak akan… Dia tertidur lelap ketika aku bangun dari tempat tidur, toh kita tidak akan lama. Jika Ayahmu benar-benar bangun, jangan biarkan Ayahmu mengucapkan selamat pagi sambil menciummu.”

Wan kembali sepuluh menit kemudian dengan Bibi Da, yang sudah duduk di balai-balainya sendiri menunggu kunjungan tak terelakkan dari seseorang di rumah Heng. Ketika mereka kembali, Heng belum turun, Din sudah mengambil susu dan Den hampir siap.

“Oke,” kata Bibi Da, “…untuk saat ini aku merekomendasikan 50:50 susu kambing dan darah dengan satu sendok teh kemangi, setengah ketumbar dan sedikit taburan ini. Aduk lalu selesai. Beri dia setengah liter di pagi hari dan setengah liter sebelum tidur. Itu sudah cukup untuk saat ini. Oh, dan jangan pernah memberinya bawang putih, itu sangat buruk bagi vampir! Ayo pergi dan temui dia sekarang.”

“Sebelum kita naik, Bibi Da, aku harus memberitahumu bahwa dia menghabiskan sebagian besar waktu kemarin malam dengan duduk tegak di tempat tidur yang berkilauan seperti suar dengan kulit pucat, dan mata merah muda dengan pupil merah. Oh, dan saat Heng berbicara dengan kami! Oh, Budha! Aku belum pernah mendengar suaranya seperti itu. Dia mengucapkan ‘Selamat malam, semuanya’ dengan suara yang dalam dan aneh… itu benar-benar menakutkan.”

“Tidak apa-apa … sekarang ayo pergi dan lihat dia.”

Mereka naik ke atas dengan sebotol susu kocok lalu memasuki ruang tidur. Semua jendela ditutup sehingga bagian dalamnya gelap gulita. Wan melangkah keluar lagi, mengambil lilin dari tempatnya, menyalakannya dengan korek api yang tergantung di tali di dekatnya, dan masuk kembali ke ruang tidur untuk bergabung dengan Bibi Da, yang telah memberanikan diri mendekati kasur tempat Heng tidur.

Cahaya lilin tidak memperlihatkan hal baru sehingga para wanita mengikat kelambu dan duduk di kedua sisi kasur. Wan membuka selimut Heng. Di tempat tidurnya, Heng berbaring, telentang, telanjang, lengan terentang lebar seperti Yesus di kayu salib. Matanya terbuka, dua lingkaran merah muda dan bentuk seperti kacang almond merah di tengah, ada di wajahnya yang tanpa ekspresi seperti hantu. Dan di bibirnya, ada dua garis kecil di sekitar mulutnya.

Wan memandang dengan penuh tanda tanya pada Bibi Da, yang sedang mempelajari pasiennya. Dia meletakkan punggung tangannya di dahi Heng dan tidak terkejut karena suhunya normal.

“Bagaimana kabarmu hari ini, Heng?” tanya istrinya.

“Lapar… tidak haus,” katanya. Ucapan itu keluar dari mulutnya bak batu-batu besar yang bergemuruh menuruni gunung dalam longsoran batu.

“Baiklah, Sayangku, duduklah. Kami punya susu kocok yang lebih enak untukmu.”

Para wanita mengatur ulang bantal untuknya, membantunya duduk tegak, kemudian menutupinya dengan selimut.

“Minumlah, Sayangku.” kata Wan, “…Itu rasa yang paling kau sukai kemarin.”

Bibi Da menuangkan sedikit ke dalam gelas dan memasukkan sedotan untuknya. Heng meminum dua gelas cairan merah muda dengan buih tumbuhan hijau dan tampak bersemangat. Dia menegakkan tubuhnya dan melihat sekeliling seolah-olah untuk pertama kalinya.

“Kau suka itu, Heng?” tanya Bibi Da. “…Aku tahu kau jauh lebih bersemangat sekarang daripada saat kami masuk. Apa menurutmu, kau bisa turun hari ini? Sinar matahari mungkin akan berguna… Kau terlihat sedikit pucat… Kau tidak terbiasa tinggal di dalam, bukan?”

Heng memandang Bibi Da seolah-olah Bibi Da sedang berbicara dalam bahasa asing, kemudian menatap istrinya.

“Apa kau ingin pergi ke toilet, Heng? Sudah lama lho. Apa tubuh bagian bawahmu baik-baik saja? Apa kau ingin pergi ke toilet sekarang atau haruskah aku membawakan ember untukmu?”

“Ya, ide bagus, aku ingin pergi ke toilet di lantai bawah, tapi pertama-tama susu kocok lagi.”

Karena tidak ada wanita yang tahu berapa banyak yang harus Heng konsumsi, mereka membiarkannya minum sebanyak yang dia inginkan dan Heng menghabiskan seluruhnya.

Bibi Da duduk kembali dan mengamati, sementara Wan membantu Heng berpakaian. Saat susu kocok mulai bereaksi, Heng menjadi lebih aktif.

“Ayo, Sayang, mari kita berpakaian dan turun ke bawah.”

Para wanita masing-masing meraih lengan dan membantu pria yang gemetar itu berdiri. Dia seperti sepeda dengan roda yang goyah. Ketika mereka membawanya menuju tangga, dia tersentak sedikit pada cahaya terang, tapi begitu juga dengan yang lain yang telah menghabiskan satu setengah hari di ruangan yang gelap. Den dan Din memperhatikan ayah mereka menuruni tangga seperti seorang dipsomaniak dibantu oleh bibi dan istrinya.

Mereka ngeri karena Ayahnya terlihat sangat lemah dan sangat berbeda. Heng dari dulu kurus, tapi sekarang lebih kurus lagi, seputih salju, dan dengan dua buah almond merah sebagai matanya. Mereka berdua berpindah tempat saat Heng berjongkok di atas meja untuk istirahat.

“Den, apa kau masih menyimpan kacamata hitam tua itu? Kurasa ayahmu membutuhkannya hari ini, karena matanya agak sensitif.

Apa kau bisa membawa Heng ke toilet sendirian, Wan, atau kau ingin Den membantumu?”

“Tidak, kurasa aku sendiri bisa membantunya.”

Wan membopong Heng ke toilet. Heng menggunakan tangannya yang bebas untuk melindungi matanya. Ketika mereka kembali berkumpul di meja lima belas menit kemudian, Heng tampak kelelahan.

“Din, naiklah ke atas dan ambilkan seprai dan beberapa bantal, oke? Biarkan ayahmu beristirahat di sini hari ini untuk menghirup udara segar dan sinar matahari. Dia tidak pernah menghabiskan begitu banyak waktu di dalam ruangan dalam hidupnya, jadi tubuhnya tidak terbiasa dengannya. Lihatlah keadaannya…”

Sementara itu, Heng melihat dari satu orang yang berbicara ke orang berikutnya yang berbicara, tetapi sepertinya dirinya tidak memahami percakapan tersebut. Mereka membuat Heng nyaman dengan tempat tidur darurat itu. Denlah yang memproduksi kacamata hitam dengan lensa cermin hitam legam yang sangat dia banggakan satu dekade lalu itu, di saat kaca mata hitam seperti itu sedang tren.

Hasilnya adalah Heng tampak seperti burung aneh yang disandarkan ke penyangga atap, memakai kacamata, dan terbungkus seprai putih.

“Baiklah, anak-anak, kupikir sebaiknya kalian pergi dan menyiapkan susu kocok lagi untuk ayahmu. Dia sepertinya sangat lapar hari ini dan itu pertanda baik. Itu menunjukkan bahwa kita melakukan sesuatu yang benar!”

“Paw merasa jauh lebih baik hari ini, bukan?”

Mereka semua menunggu reaksi Heng. Kemudian Heng mengangguk, terlihat sangat seperti burung hantu. Den dan Din pergi sambil terkikik, merasa sangat sulit untuk menyamakan makhluk di atas meja dengan ayah mereka dua puluh empat jam yang lalu.

“Apa menurutmu aku harus memasak sesuatu untuk Heng malam ini, Bibi Da?”

“Itu tidak akan membuatnya sakit jika dia memakannya, tapi itu tidak bisa menggantikan susu kocok.”

“Heng, kau mau makan bersama kami nanti?”

Heng memiringkan kepalanya ke samping kanan lalu ke samping kiri sambil menatap istrinya.

“Apa yang kau masak malam ini, Wan?” tanya Bibi Da.

“Ayam atau babi… apapun yang dia suka.”

Heng terus memandang dari satu pembicara ke pembicara lainnya seperti seseorang di negara di mana dia tidak bisa berbicara bahasanya.

“Mengapa tidak bertanya padanya? Dia tidak menjadi bodoh, atau setidaknya menurutku, dia tidak bodoh.”

“Apa yang ingin kau makan malam ini, Heng, babi atau ayam?”

Dia menatapnya selama beberapa detik dan kemudian berkata:

“Anak…”

“Hah? Anak apa? Omong-omong, Heng, kau tidak bisa memakan anak-anak … itu tidak benar.”

“Bukan anak-anak kita… Anak kambing… Kita punya atau tidak?” tanya Heng

“Ya, kita masih punya beberapa, tetapi kupikir kita akan membesarkannya untuk ditambahkan ke kawanan.”

“Hanya satu anak.”

“Ya, baiklah, Heng, karena kau sakit, aku akan memasakkan potongan daging anak kambing untukmu malam ini dan kita semua akan makan daging babi.”

“Aku ingin makananku setengah matang, dipanggang, bukan dimasak kari, Wan. Aku mendambakan daging, daging merah asli.”

Anak-anak sangat lega karena Ayah mereka belum berniat memakan tubuh mereka juga.

Di saat Heng sepertinya telah tertidur sembari menunggu makan malam, Den bertanya pada ibunya apakah menurutnya Ayahnya berniat memakannya suatu hari nanti.

“Oh, kurasa tidak, Den, jika kita memuaskan selera makannya, meski kita belum tahu apa itu.”

“Bibi Da, bagaimana menurutmu tentang kondisi Heng?”

“Menurutku, ini sangat menarik… memang sangat menarik. Kau akan melihat bahwa kemarin, Heng mengetuk Pintu Kematian, tetapi sekarang dia menjadi lebih aktif dari waktu ke waktu, meski dia tampak bukan seperti Heng yang sama yang kita semua kenal dan cintai dengan sangat baik.

Kita harus melihat seperti apa Heng yang baru ini atau mungkin Heng yang lama bisa kembali pada kita begitu dia terbiasa dengan pola makanan barunya dan pulih seiring berjalannya waktu tanpa darah sungguhan dalam dirinya.

Tebakanmu mungkin tidak sebaik milikku, tapi kuakui aku berada di wilayah baru di sini dan sedang memainkan peranku dengan beberapa saran dari Teman Rohku. Meski ada yang menyarankan lebih baik membunuhnya saja dan biarkan dia memulai hidup lagi.”

“Apa pendapatmu tentang saran itu, Wan?”

“Mmmm, sejujurnya, menurutku itu tindakan yang cukup drastis, bukan, Bibi Da?

“Ya, aku setuju, aku setuju denganmu soal ini, itulah sebabnya aku tidak menyarankannya. Namun, itu masih bisa menjadi pilihan, jika ada hal yang tidak terkendali.”

Sepanjang percakapan ini, Heng tampak tertidur, tetapi para wanita tidak memeriksanya.

“Bibi Da, apa menurutmu dia menderita?”

“Dia tampak cukup damai, bukan? Dia berbicara lagi sekarang dan tidak mengeluhkan sesuatu, jadi aku tidak terlalu khawatir tentang kondisi fisiknya jika aku jadi kau. Namun, kau mengenalnya lebih baik dari orang lain, jadi terserah padamu. Perhatikan kalau ada tanda-tanda apa pun, termasuk perubahan mental, lalu laporkan padaku agar kita bisa mendiskusikannya.”

“Baiklah, Bibi Da, aku akan melakukannya. Lihatlah, jika menurut Bibi Da ada hal lain yang harus dilakukan, jangan sungkan. Anak-anak luar biasa - mereka telah mengambil alih semua tugas kami, sehingga aku bisa duduk menemani Heng. Jika Bibi Da ingin tumpangan pulang, aku bisa mengantar Bibi. Kami semua sangat berterima kasih atas bantuan Bibi. Heng mungkin sudah mati bila tidak ada Bibi, dan kami semua sangat paham soal itu. Jika ada yang bisa kami lakukan untuk Bibi, katakan saja.”

“Ya, terima kasih, Wan. Mungkin aku akan pulang beberapa jam lagi, aku ingin melihat Heng menyantap anak kambing. Jadi, andai aku bisa makan malam daging babi bersama kalian malam ini, itu akan sempurna.”

“Untuk bayarannya, jangan khawatir soal itu saat ini. Heng adalah keponakan favoritku dan aku tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada keponakanku selagi aku bisa mencegahnya. Aku bisa berjalan pulang dan kembali ke sini dengan jalan kaki saja… Jam berapa kalian makan malam?”

“Sekitar jam tujuh sampai tujuh tiga puluh, seperti biasa. Kami senang Bibi Da bisa makan malam bersama kami.”

“Oke, aku pergi sekarang, sampai jumpa pukul tujuh. Selamat tinggal.”

“Sampai jumpa, Bibi Da, dan terima kasih sekali lagi atas semua bantuanmu.”

Saat Bibi Da sudah pergi, Wan merasa aneh bisa berduaan dengan suaminya. Ini adalah pertama kalinya sejak Heng menjadi ‘sakit’. Den yang menggembala kambing-kambing ke sungai dan Din yang merawat kebun sayur keluarga. Wan perlu menyuruh Den menyembelih salah satu anak kambing yang lari bersama induknya dalam kawanan, tetapi dia tidak berani meninggalkan Heng sendirian. Din, satu-satunya yang dia harapkan bisa pergi. Jadi, dia sangat berharap Din akan kembali untuk makan siang, tapi memang biasanya dia kembali. Jadi, Wan cukup yakin Heng akan mendapatkan keinginannya.

Wan mencoba berbicara pada Heng. Karena tidak ada orang di sekitar yang bisa mendengar mereka, Wan berbicara dengan nada mesra.

“Cintaku, Heng, apa kau sudah bangun, Sayang? Kita semua… Aku sangat mengkhawatirkanmu… tolong jawab jika kau bisa mendengarku.”

“Tentu aku bisa mendengarmu saat aku bangun, tapi aku sering tertidur, Mud.” katanya dengan suaranya yang baru, rendah, dan bergemuruh. “…Kurasa aku melewatkan beberapa hal. Secara umum, aku merasa jauh lebih baik, meski terasa sedikit aneh. Aku sangat menantikan makan malam. Pukul berapa sekarang?”

“Sebelas empat puluh lima, kita akan makan siang sebentar lagi, apa kau mau makan siang juga?”

“Makan apa?”

“Salad…”

“Cih, makanan kelinci!”

“Ta, tapi dulu kau sangat suka salad sayuran, Heng …”

“Benarkah? Aku tidak bisa membayangkannya dan aku tidak ingat aku menyukainya.”

“Bagaimana dengan telur dadar?”

“Ya, kedengarannya lebih baik. Apa kau bisa mencampurkannya dalam susu kocok?”

“Ya, tentu, Sayang, kenapa tidak. Aku punya sedikit, yang kusiapkan untuk makan malammu nanti.”

“Tunggu Din tiga puluh menit lagi, kita lihat apa dia akan kembali. Aku ingin dia memberi tahu Den untuk menyembelih salah satu anak kambing untukmu.”

Usai makan siang, Din membawakan beberapa pisau, kantong untuk daging, dan termos untuk darah pada kakaknya, agar bisa menjalankan tugas menyeramkan itu, lalu Din kembali ke kebun sayur.

“Kau sepertinya suka telur dadar itu, Heng, ya kan?”

“Ya, ini sangat megenyangkan, banyak daging, banyak protein.”

Wan berada di dekat Heng sepanjang sore, memotong sayuran, dan membuat saus cabai naam pik, tetapi Heng tidak berkata apa-apa. Dia rupanya sedang tidur siang atau mungkin tidur siang untuk pemulihan setelah makan padat pertamanya selama beberapa hari.

Din adalah yang pertama kembali di sore hari dengan sekeranjang penuh sayuran dan rempah-rempah untuk dua puluh empat jam berikutnya. Den datang beberapa saat kemudian dan menyerahkan sekantong daging yang disembelih dengan rapi dan satu botol darah dari bangkai kambing kepada ibunya.

“Aku akan pergi dan menggarami kulit ini, Mum, oke? Aku sudah mengulitinya seperti yang Ayah ajarkan padaku. Aku akan kembali dalam dua puluh menit.”

“Tidak perlu terburu-buru, kita punya banyak waktu. Pastikan kau mandi setelah menyembelih kambing sebelum naik ke balai-balai.”

“Ya, Bu…”

“Mmm, susu kocok, aku mencium aroma susu kocok yang enak …” gumam Heng bangun dari tidurnya.

“Ya, Heng, susu kocok… Aku membuatkanmu susu kocok untuk nanti, tapi pertama-tama kita akan makan malam saat bibimu tiba di sini.

Wan berbisik pada Din,

“Aku yakin Ayahmu bisa mencium bau darah kambing atau dagingnya. Lihat hidungnya bergerak-gerak seperti penyihir. Siapa yang akan percaya seminggu yang lalu kita akan hidup seperti ini?”

Wan memasukkan daging yang berlebih ke dalam lemari es lalu menjauhkan potongan daging untuk Heng agar bau darahnya tidak mengusik Heng, sehingga Wan bisa melanjutkan tugasnya. Heng kembali tidur seperti mainan jarum jam yang telah rusak.

Pada pukul enam empat puluh lima, Wan meniriskan potongan sayuran agar kering, membuat api terbuka di bawah periuk yang mereka gunakan untuk memasak di dalam tungku beton tua di atas balai-balai, lalu menambahkan beberapa bongkah arang lagi. Malam ini, mereka akan mengadakan makan malam favorit anak-anak - babi panggang.

Alat untuk memanggang itu sederhana tapi efektif, yaitu ‘piring’ logam yang menyerupai alat untuk membuat jus jeruk jaman dulu. Pancinya diisi air untuk merebus sayuran dan mie bihun, sedangkan di bagian atasnya dapat digunakan untuk memanggang daging. Oleh karena itu, semua orang memasak makanan mereka sendiri dan memanggang sendiri, sehingga tetap menjadi makanan yang umum.

Ketika Bibi Da tiba, tidak lebih awal, tetapi pada pukul tujuh sepuluh, Wan menyuruh Din untuk mengambil daging di lemari es di dalam rumah. Ketika daging itu berada dalam jarak sepuluh yard dari balai-balai, Heng menjadi ‘hidup’ lagi, hidungnya bergerak-gerak.

“Mmm, susu kocok!”

“Bukan, Heng, susu kocoknya nanti, sekarang kau makan potongan daging anak kambing.”

“Mmm, potongan anak, bagus, setengah matang…”

Bibi Da terpesona dan mengingat itu dalam benaknya.

Saat Wan meletakkan daging di panggangan barbekyu, Heng melepas kacamatanya agar bisa melihat dengan lebih baik dalam cahaya yang meredup dengan cepat. Matanya bersinar seperti suar merah menyala membuat anak-anak bergidik ketakutan dan tidak mengerti dengan situasi yang terjadi.

Semua orang di sana akan mengatakan bahwa sayuran yang direbus dan daging yang dimasak berbau harum, tetapi Heng yang berbicara lebih dulu.

“Anak ini baunya harum sekarang! Jangan membakar darahnya. Heng ingin dagingnya setengah matang … tanpa sayuran, baunya tidak enak.”

“Ya, Heng, aku tahu, setengah matang, tapi jangan mentah. Ini masih mentah, kita harus memanggangnya beberapa menit lagi.”

“Tidak, Mud, akan kumakan seperti ini. Baunya sangat harum sekarang, dan setiap menit baunya semakin berkurang. Aku ingin punyaku sekarang.”

“Baiklah, Heng, lakukan dengan caramu sendiri. Apa kau ingin daging dengan sayuran atau bihun?”

“Tidak, daging saja, aku ingin kelincinya, bukan makanan kelinci.”

Wan mengambil dua potongan daging dari api, meletakkan satu di piring untuk Heng, lalu menyerahkannya pada Heng.

“Ini, Paw. Tapi itu masih terlihat sangat berdarah bagiku. Dulu kau selalu makan daging matang seperti kami.”

“Heng mengambil piring itu, mendekatkan ke hidungnya, lalu mengendusnya, hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kelinci. Kemudian dia meletakkan piring di pangkuannya, mengambil potongan kecil di kedua tangannya, lalu mengangkatnya mendekati hidungnya lagi.

“Bagus,” katanya, “…sedikit kematangan, tapi sangat enak.”

Heng tidak menyadari bahwa semua orang memperhatikan setiap gerakannya saat menggigit sepotong kecil daging dan mengunyahnya dengan gigi depannya. Wan setidaknya mengharapkan Heng untuk mengambil seluruh potongan daging sekaligus. Kemudian Heng memegang potongan daging di satu tangannya lalu merobeknya dengan tangan lainnya. Ketika bagian dalam potongan daging yang masih berdarah itu terekspos sedikit, dia meletakkan bagian itu di bibirnya dan mengisapnya.

Keluarganya saling pandang dengan takjub, saat mata merah dan merah mudanya sedang mengamati daging bak elang.

“Apa ada masalah?” tanya Heng dengan memiringkan kepalanya cepat ke arah istrinya.

“Tidak, Heng, tidak masalah. Aku senang sekali melihatmu makan makanan padat lagi, itu saja. Kami hanya senang melihatmu, bukan begitu, semuanya?”

“Iya.” mereka menyetujuinya bersamaan, tetapi Bibi Da merasa was-was, walau dia tidak siap untuk menceritakannya pada saat yang tepat.

“Baik! Tidak apa-apa kalau begitu.” kata Heng lalu kembali menggigit makanannya dengan hati gembira.

Butuh waktu tiga puluh menit penuh untuk Heng menghabiskan daging seukuran telapak tangan manusia, kemudian mulai dari tulangnya, yang dia bersihkan dari daging-daging yang menempel, kemudian disedotnya sumsumnya sampai kering. Yang lain pun merasa hampir tidak mungkin untuk berkonsentrasi pada makanannya sendiri. Akibatnya, sayuran direbus hingga airnya mengering dan daging dipanggang hingga banyak yang gosong, sehingga sebagian besar makanan mereka rusak. Meski begitu, mereka tetap memakannya, karena tidak mau menyia-nyiakan makanan.

Ketika Heng selesai dengan potongan pertama, Heng menyeka mulut dengan punggung tangannya, menjilatinya, kemudian menyedotinya sampai bersih. Orang yang melihatnya mungkin menduga bahwa Heng baru saja dibebaskan setelah bertahun-tahun di sel isolasi di kamp asing dengan jatah hanya roti dan air. Tak satu pun dari mereka pernah melihat orang yang begitu menikmati makanannya.

“Mau yang satunya lagi sekarang, Paw?” tanya Din.

Heng memegang selimut yang ada di sekitar pundaknya lalu mengebaskannya untuk membuat dirinya lebih nyaman dan Den menyelamatkan piring yang hampir jatuh dari pangkuannya.

“Kita tunggu yang ini turun dulu.” kata Heng, “…baru kemudian makan lagi. Makanannya sangat enak. Heng sangat suka.”

Den menatap ibunya dan ibunya tahu apa yang dia maksud. Heng berbicara dengan gaya manja dan tidak ada yang pernah mendengarnya seburuk itu sebelumnya, meskipun bahasa Thailandnya memang tidak pernah sempurna karena dia keturunan Tionghoa.

Saat orang-orang mulai menyesuaikan diri dengan makanan mereka sendiri dan Heng menjadi terdiam lagi, muncullah suara tekanan yang teredam dari arah Heng. Semua orang tahu apa yang terjadi, tetapi mereka bersikap sopan dan berpura-pura tidak mendengarnya. Kemudian, satu lagi terhembus bau menyengat.

Hanya Wan dan Bibi Da yang berani menatap Heng yang tersenyum lebar di balik kacamata-gelapnya.

Den mulai gelisah. Awalnya secara diam-diam, tetapi dia tidak bisa menahannya, kemudian Din segera terinfeksi dan ikut tertawa.

“Shhhsssttt, anak-anak! Ayahmu tidak bisa menahannya. Dia sakit.” kata Wan. “…Makanan padat pasti langsung masuk ke tubuhnya.”

Namun, Den dan Din tidak bisa mengendalikan diri. Heng hanya duduk di sana dengan senyum puas di wajahnya. Beberapa menit kemudian, ketika baunya belum juga hilang,

“Bawa ayahmu ke toilet, ya, Den, supaya ayahmu bisa membersihkan diri. Jika butuh bantuan, teriak saja, ibu akan datang membantu.

Heng, taruh celana dalammu di keranjang cucian, aku akan mencucinya besok.”

Ketika mereka beranjak, Wan berkata,

“Ya ampun! Ya ampun, bagaimana itu, Bibi Da?”

“Aneh, bukan? Tetapi perilaku Heng mengingatkanku pada perilaku burung. Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi cara dia berjongkok di sana bak burung yang sedang bertengger. Cara dia makan dan kemudian buang air setelah makan … Burung juga seperti itu - kukira banyak hewan yang juga melakukannya. Perhatikanlah ayam di halaman rumahmu. Aku tidak bisa melupakan penampakan dia yang sedang bertengger di sana dengan selimut dan kacamatanya setelah makan daging.”

Jadi menurut bibi, Heng tidak mengompol? Aku jadi sedikit mencemaskan tempat tidur kami… kami baru membeli kasur baru beberapa minggu yang lalu… sayang sekali, bukan? Apa menurut bibi tidak apa-apa untuk menempatkannya di gudang sampai kita yakin?”

“Tidak, jangan khawatir! Bahkan burung pun tidak mengotori sarangnya sendiri. Kau mungkin ingin memakaikannya popok sampai kita lebih paham apa yang sedang terjadi… Atau celana inkontinensia jika ini terus berlanjut, tetapi kau harus pergi ke kota untuk mendapatkannya.”

Ketika Heng kembali dengan Den, dia tampak sedikit kecewa, bahkan sedikit malu.

“Kau baik-baik saja, Heng?” tanya istrinya.

“Ya, kecelakaan. Jangan khawatir. Tidak masalah. Tidak akan terjadi lagi hari ini. Pergilah tidur sekarang.”

“Ya, ide yang bagus. Bibi Da, bagaimana dengan susu kocoknya?”

“Aku sungguh berpikir, dia harus meminum banyak susu kocok sebelum tidur. Jangan khawatir soal kasur barumu. Dia tidak mengotorinya kemarin, jadi kurasa dia juga tidak akan mengotorinya malam ini. Namun, aku tak mau dia bangun tengah malam mencari-cari sesuatu untuk dimakan, jika aku tinggal serumah dengannya.”

“Tidak, Bibi mungkin benar. Den, dudukkan ayahmu di tepi balai-balai. Din, tolong ambilkan segelas susu kocok itu, yaa?”

Ketika Heng telah meminumnya dan tidak ada suara atau bau yang mencurigakan, Wan menyuruh anak-anak untuk membawa ayah mereka ke tempat tidur.

“Aku akan segera menyusul untuk melihat dia baik-baik saja, tapi menurut ibu, ayahmu ingin tidur sekarang.

Waduhh, waduhh Bibi Da, apa yang harus kulakukan? Sekarang kami punya manusia burung di rumah! Bagaimana ini Bibi Da?”

“Aku belum yakin, Wan, tapi leluconmu mungkin lebih benar dari yang kau tahu. Kita tunggu dan lihat saja. Mari kita lihat dulu apa dia ingin bermigrasi ke selatan di musim dingin.

Wan tidak yakin apakah Bibi Da sedang bercanda, jadi dia tersenyum hanya setengah dengan harapan tidak bisa dimengerti oleh Bibi Da. Sayangnya, Bibi Da adalah seorang shaman.

Wan merasa cemas. Tidak ada yang mau berada dalam situasi ini, bukan?





Конец ознакомительного фрагмента. Получить полную версию книги.


Текст предоставлен ООО «ЛитРес».

Прочитайте эту книгу целиком, купив полную легальную версию (https://www.litres.ru/pages/biblio_book/?art=66501226) на ЛитРес.

Безопасно оплатить книгу можно банковской картой Visa, MasterCard, Maestro, со счета мобильного телефона, с платежного терминала, в салоне МТС или Связной, через PayPal, WebMoney, Яндекс.Деньги, QIWI Кошелек, бонусными картами или другим удобным Вам способом.



Henglee mulai merasa aneh dengan tubuhnya tiba-tiba, jadi dia menghubungi syaman di daerahnya, yang kebetulan adalah bibinya sendiri. Syaman itu melakukan beberapa tes dan menyatakan bahwa Heng tidak punya darah. Lalu bagaimana dia akan memberitahu keluarganya, dan apa yang akan mereka lakukan?

Heng Lee adalah penggembala kambing di pegunungan terpencil di timur laut Chiang Rai di Thailand utara, sangat dekat dengan perbatasan Thailand dengan Laos. Hubungan antar masyarakat di daerah itu sangat erat, setiap orang saling kenal satu sama lain. Heng tiba-tiba sakit, tapi tidak terlalu parah sehingga masih cukup kuat untuk membawa keluar kambing-kambingnya. Sampai pada suatu hari, dia harus pergi menemui syaman setempat karena dia mulai pingsan. Tidak ada dokter medis di lingkungannya. Seorang syaman sudah cukup baik bagi kebanyakan orang di daerah itu selama berabad-abad. Syaman mengambil beberapa spesimen dan sampai pada kesimpulan bahwa ginjal Heng telah berhenti berfungsi sehingga Heng hanya memiliki sedikit waktu yang tersisa untuk hidup. Pertempuran sedang berlangsung untuk menyelamatkan nyawa Heng, tetapi ada kekuatan lain yang juga muncul. Apa yang akan terjadi dengan Heng, keluarganya, dan seluruh komunitas, bila dia mengikuti nasihat syaman?

Как скачать книгу - "Yang Terlarang" в fb2, ePub, txt и других форматах?

  1. Нажмите на кнопку "полная версия" справа от обложки книги на версии сайта для ПК или под обложкой на мобюильной версии сайта
    Полная версия книги
  2. Купите книгу на литресе по кнопке со скриншота
    Пример кнопки для покупки книги
    Если книга "Yang Terlarang" доступна в бесплатно то будет вот такая кнопка
    Пример кнопки, если книга бесплатная
  3. Выполните вход в личный кабинет на сайте ЛитРес с вашим логином и паролем.
  4. В правом верхнем углу сайта нажмите «Мои книги» и перейдите в подраздел «Мои».
  5. Нажмите на обложку книги -"Yang Terlarang", чтобы скачать книгу для телефона или на ПК.
    Аудиокнига - «Yang Terlarang»
  6. В разделе «Скачать в виде файла» нажмите на нужный вам формат файла:

    Для чтения на телефоне подойдут следующие форматы (при клике на формат вы можете сразу скачать бесплатно фрагмент книги "Yang Terlarang" для ознакомления):

    • FB2 - Для телефонов, планшетов на Android, электронных книг (кроме Kindle) и других программ
    • EPUB - подходит для устройств на ios (iPhone, iPad, Mac) и большинства приложений для чтения

    Для чтения на компьютере подходят форматы:

    • TXT - можно открыть на любом компьютере в текстовом редакторе
    • RTF - также можно открыть на любом ПК
    • A4 PDF - открывается в программе Adobe Reader

    Другие форматы:

    • MOBI - подходит для электронных книг Kindle и Android-приложений
    • IOS.EPUB - идеально подойдет для iPhone и iPad
    • A6 PDF - оптимизирован и подойдет для смартфонов
    • FB3 - более развитый формат FB2

  7. Сохраните файл на свой компьютер или телефоне.

Видео по теме - MAHKOTA - Rindu Yang Terlarang (Official Music Video)

Книги автора

Рекомендуем

Последние отзывы
Оставьте отзыв к любой книге и его увидят десятки тысяч людей!
  • константин александрович обрезанов:
    3★
    21.08.2023
  • константин александрович обрезанов:
    3.1★
    11.08.2023
  • Добавить комментарий

    Ваш e-mail не будет опубликован. Обязательные поля помечены *