Книга - Cinta

a
A

Cinta
Morgan Rice


Jurnal Vampir #2
Caitlin dan Caleb memulai bersama-sama pencarian mereka untuk menemukan satu benda yang dapat menghentikan segera terjadi perang vampir dan manusia: pedang yang hilang. Sebuah benda dongeng vampir, ada keraguan serius atas apakah itu bahkan ada. Jika ada harapan untuk menemukan itu, mereka pertama kali harus melacak nenek moyang Caitlin. Apakah ia benar-benar Yang Terpilih? Penelusuran mereka dimulai dengan mencari ayah Caitlin. Siapakah dia? Mengapa dia mengabaikan dirinya? Ketika pencarian diperluas, mereka terkejut dengan apa yang mereka temukan tentang siapa ia sebenarnya. Tapi mereka bukan satu-satunya mencari yang pedang legendaris. Coven Blacktide menginginkannya, juga, dan mereka mengikuti Caitlin dan Caleb. Lebih buruk lagi, adik Caitlin, Sam, tetap terobsesi untuk menemukan ayahnya. Tapi Sam segera menemukan dirinya dengan cara di atas kepalanya, memukul di bagian tengah perang vampir. Apakah dia membahayakan pencarian mereka? Perjalanan Caitlin dan Caleb membawa mereka pada lokasi angin puyuh bersejarah Hudson Valley, ke Salem, ke jantung bersejarah Boston - persis di tempat penyihir yang pernah tergantung di bukit Boston Common. Mengapa lokasi ini sangat penting bagi ras vampir? Dan apa yang harus mereka lakukan dengan keturunan Caitlin, dan dengan siapa ia akan menjadi? Tapi mereka mungkin tidak berhasil. Cinta Caitlin dan Caleb satu sama lain semakin berkembang. Dan kisah cinta terlarang mereka mungkin hanya menghancurkan segala sesuatu yang telah mereka tetetapkan untuk dicapai… Buku #3--#11 dalam BUKU HARIAN VAMPIR sekarang juga tersedia! CINTA, buku kedua serial Buku Harian Vampir, sama hebatnya dengan buku pertama, PENJELMAAN, dan dikemas dengan baik dengan aksi, romansa, perualangan, dan ketegangan. Buku ini adalah tambahan yang cantik pada serial ini dan akan membuat Anda menunggu lebih banyak lagi dari Morgan Rice. Jika Anda menyukai buku pertama, dapatkan tangan Anda pada yang satu ini dan jatuh cinta lagi dan lagi. Buku ini dapat dibaca sebagai sekuel, tapi Rice menulisnya dalam sebuah cara yang tidak Anda ketahui di buku pertama untuk membaca menakjubkan ini. Vampirebooksite. com Serial BUKU HARIAN VAMPIR memiliki alur yang hebat, dan CINTA khususnya adalah buku yang akan sulit Anda tinggalkan di malam hari. Akhirnya sangat menegangkan yang sangat spektauler sehingga Anda akan segera menginginkan buku selanjutnya, lihatlah apa yang terjadi. Seperti yang Anda lihat, buku ini adalah sebuah langkah besar dalam serial ini dan menerima nilai A penuh. -The Dallas ExaminerDalam CINTA, Morgan Rice membuktikan dirinya lagi untuk menjadi penulis kisah yang sangat bertalenta. Menarik dan menyenangkan, saya menemukan diri saya jauh lebih menikmati buku ini daripada yang pertama dan saya sangat menantikan yang berikutnya. The Romance Reviews







cinta



(buku #2 dalam Harian Vampir)



morgan rice


Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dan penulis terlaris USA Today dari serial fantasi epik CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tujuh belas buku; serial terlaris #1 HARIAN VAMPIR, yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); serial terlaris #1 THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN), sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan serial fantasi epik KINGS AND SORCERERS (PARA RAJA DAN PENYIHIR), yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah). Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, serta terjemahan yang tersedia dalam lebih dari 25 bahasa.

PENJELMAAN (Buku #1 dalam HARIAN VAMPIR), ARENA SATU (Buku #1 dari Trilogi Kesintasan) dan PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1 dalam Cincin Bertuah) dan KEBANGKITAN PARA NAGA (Raja dan Penyihir—Buku #1) yang masing-masing tersedia sebagai unduhan gratis!

Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu untuk mengunjungi www.morganricebooks.com (http://www.morganricebooks.com) untuk bergabung di daftar e-mail, menerima buku gratis, menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis, mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke Facebook dan Twitter, dan tetap terhubung!


Pujian Pilihan untuk Morgan Rice



"Sebuah buku rival dari TWILIGHT dan VAMPIRE DIARIES, dan satu-satunya yang akan membuat Anda ingin terus membacanya sampai halaman terakhir! Jika Anda menyukai petualangan, cinta, dan vampir, buku inilah yang tepat bagi Anda!"

--Vampirebooksite.com {berdasarkan Penjelmaan}



“Rice melakukan pekerjaan yang bagus mendorong Anda ke dalam kisah ini dari awal, memanfaatkan kualitas deskriptif yang hebat yang melampaui penggambaran setting semata… Ditulis dengan indah dan sangat cepat dibacanya.”

--Black Lagoon Reviews (berdasarkan Penjelmaan)



"Adalah suatu kisah yang ideal bagi para pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang bagus dengan memutarbalikkan lika-liku yang menarik...Menyegarkan dan unik. Serial yang berfokus di sekitar seorang anak perempuan… anak perempuan yang luar biasa!... PENJELMAAN mudah dibaca tapi bertempo cepat... Diberi peringkat PG."

--The Romance Reviews (berdasarkan Penjelmaan)



"Mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat lepas….Kisah ini merupakan sebuah petualangan menakjubkan yang bertempo cepat dan aksi yang dikemas sejak awal. Tidak ditemukan momen yang membosankan."

--Paranormal Romance Guild (berdasarkan Penjelmaan)



"Kesulitan yang dikemas dengan aksi, romansa, petualangan, dan ketegangan. Dapatkan buku yang satu ini dan jatuh cinta lagi dan lagi."

--vampirebooksite.com (berdasarkan Penjelmaan)



"Alur yang bagus, dan khususnya, ini adalah buku yang akan sulit Anda tinggalkan di malam hari. Bagian akhirnya sangat menegangkan yang begitu spektakuler sehingga Anda segera ingin membeli buku selanjutnya, hanya untuk melihat apa yang akan terjadi."

--The Dallas Examiner (berdasarkan Cinta)



"Morgan Rice membuktikan dirinya lagi dengan menjadi penulis kisah yang sangat bertalenta... Buku ini akan menarik berbagai macam audiens, termasuk para penggemar yang lebih muda dari genre vampir/fantasi. Buku ini diakhiri dengan ketegangan yang menyisakan keterkejutan bagi Anda."

--The Romance Reviews (berdasarkan Cinta)


Buku-buku oleh Morgan Rice



RAJA DAN PENYIHIR

KEBANGKITAN PARA NAGA (Buku #1)

KEBANGKITAN SANG PEMBERANI (Buku #2)



CINCIN BERTUAH

PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

TAKDIR NAGA (Buku #3)

PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

RITUAL PEDANG (Buku #7)

SENJATA PUSAKA (Buku #8)

LANGIT MANTRA (Buku #9)

LAUTAN PERISAI (Buku #10)

TANGAN BESI (Buku #11)

DARATAN API (Buku #12)

SANG RATU (Buku #13)

SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)

IMPIAN FANA (Buku #15)

PERTANDINGAN PARA KSATRIA (Buku #16)

HADIAH PERTEMPURAN (Buku #17)



TRILOGI KESINTASAN

ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA DUA (Buku #2)



HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

CINTA (Buku #2)

KHIANAT (Buku #3)

TAKDIR (Buku #4)

DIDAMBAKAN (Buku #5)

TUNANGAN (Buku #6)

SUMPAH (Buku #7)

DITEMUKAN (Buku #8)

BANGKIT (Buku #9)

RINDU (Buku #10)

NASIB (Buku #11)














DAFTAR ISI



SATU (#uf4fd30db-ca53-5a33-be51-719ae6298595)

DUA (#u637e1d43-9c41-58d6-80db-8880bbb24b35)

TIGA (#ud226571b-c48f-5e18-a1da-1714c1fd641b)

EMPAT (#u2f2126a7-a5b3-5288-a5de-0c263a811b12)

LIMA (#u9ffbcbd3-cb84-50c9-a6ce-6acea494ab08)

ENAM (#litres_trial_promo)

TUJUH (#litres_trial_promo)

DELAPAN (#litres_trial_promo)

SEMBILAN (#litres_trial_promo)

SEPULUH (#litres_trial_promo)

SEBELAS (#litres_trial_promo)

DUA BELAS (#litres_trial_promo)

TIGA BELAS (#litres_trial_promo)

EMPAT BELAS (#litres_trial_promo)

LIMA BELAS (#litres_trial_promo)

ENAM BELAS (#litres_trial_promo)

TUJUH BELAS (#litres_trial_promo)

DELAPAN BELAS (#litres_trial_promo)

SEMBILAN BELAS (#litres_trial_promo)

DUA PULUH (#litres_trial_promo)

DUA PULUH SATU (#litres_trial_promo)

DUA PULUH DUA (#litres_trial_promo)

DUA PULUH TIGA (#litres_trial_promo)

DUA PULUH EMPAT (#litres_trial_promo)

DUA PULUH LIMA (#litres_trial_promo)

DUA PULUH ENAM (#litres_trial_promo)

DUA PULUH TUJUH (#litres_trial_promo)

TWENTY EIGHT (#litres_trial_promo)

DUA PULUH SEMBILAN (#litres_trial_promo)


Hak cipta © 2011 oleh Morgan Rice



Semua hak cipta dilindungi Undang-Undang. Kecuali diizinkan menurut U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa direproduksi, didistribusikan, atau dipindahtangankan dalam bentuk apa pun atau dengan maksud apa pun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.



eBuku ini terlisensi untuk hiburan pribadi Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silakan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silakan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.



Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.


FAKTA:



Di Salem, pada tahun 1692, selusin remaja wanita, dikenal sebagai "the afflicted (yang tertindas)," mengalami penyakit misterius yang membuat mereka menjadi histeris dan masing-masing berteriak bahwa dukun setempat telah menyiksa mereka. Peristiwa ini menyebabkan serangkaian penelitian dukun Salem.



Penyakit misterius yang telah menggerogoti para remaja wanita ini tidak pernah, hingga saat ini, dapat dijelaskan.


"Malam ini, dia bermimpi melihat patungku,

Yang menyerupai sebuah air mancur dengan ratusan seringai,

Yang mengalirkan darah segar: dan banyak orang Roma yang bernafsu

Datang dengan tersenyum, dan membasuh tangan mereka di dalamnya:

Dan karena inilah dia menganggapnya sebagai peringatan, dan pertanda,

Dan kejahatan semakin mendekat..."

--William Shakespeare, Julius Caesar




SATU


Lembah Hudson, New York

(Masa Kini)



Untuk pertama kalinya dalam minggu ini, Caitlin Paine merasa tenang. Caitlin duduk dengan nyaman di lantai lumbung kecil, dia dia bersandar di atas jerami, dan menghela napas. Api kecil berkobar di perapian batu sekitar sepuluh kaki jauhnya; dia baru saja menambahkan sebatang kayu, dan merasa tenang oleh suara keretakan kayu. Bulan Maret masih belum berakhir, dan malam ini terasa paling dingin. Jendela yang ada jauh di dinding menampakkan sebuah pemandangan langit malam, dan dia bisa melihat salju masih berjatuhan.

lumbung itu tanpa pemanas, tapi dia duduk cukup dekat dengan perapian untuk menghangatkan dirinya. Dia merasa sangat nyaman, dan merasakan matanya semakin berat. Bau dari perapian menyelubungi lumbung itu, dan ketika dia semakin merebahkan badannya, dia bisa merasakan ketegangan mulai meninggalkan bahu dan kakinya.

Tentu saja, alasan sesungguhnya dari rasa damainya, yang dia sadari, bukanlah dari perapian, atau jerami, atau bahkan naungan lumbung itu. Itu adalah karena dia. Caleb. Ia duduk dan memandangi Caleb.

Dia berbaring di hadapannya, sekitar lima belas kaki jauhnya, masih begitu sempurna. Dia tertidur, dan ia mengambil kesempatan itu untuk mengamati wajahnya, sosok yang sempurna, kulitnya yang pucat dan seperti kaca. Ia tidak pernah melihat sosok yang terpahat begitu sempurna. Sosoknya nyata, seperti memandangi sebuah patung. Ia tidak bisa memahami bagaimana dia telah hidup selama 3.000 tahun. Caitlin, yang berusia 18 tahun, sudah nampak lebih tua darinya.

Tapi semua itu lebih dari sosoknya. Ada suatu suasananya dirinya, sebuah energi lembut yang dia pancarkan. Suatu suasana yang sangat damai. Ketika ia ada di dekatnya, ia tahu bahwa semua hal akan baik-baik saja.

Ia sangat gembira dia masih ada di sana, masih bersama dengan dirinya. Dan ia membiarkan dirinya sendiri berharap bahwa mereka akan tetap bersama. Namun ketika memikirkannya, ia memaki dirinya sendiri, mengetahui bahwa ia menempatkan dirinya dalam masalah. Laki-laki memang seperti itu, ia tahu, jangan menempel terus. Itu bukanlah seperti sifat mereka.

Caleb tidur dengan nyenyak, dia mengambil napas pendek, yang membuat Caitlin sulit menyimpulkan apakah dia benar-benar tertidur. Tadi dia harus pergi, untuk bersantap, katanya. Dia telah kembali dengan lebih tenang, membawa setumpuk kayu, dan dia menemukan sebuah cara untuk menutup pintu lumbung supaya salju tidak masuk. Dia telah menyalakan api, dan sekarang dia telah tertidur, sedangkan ia tetap terjaga.

Ia mengulurkan tangan dan meneguk segelas anggur merah, dan merasakan cairan hangat itu membuatnya tenang secara perlahan. Ia menemukan botol anggur itu dalam sebuah peti tersembunyi, di bawah tumpukan jerami; ia ingat ketika adiknya, Sam menyembunyikannya di sana, beberapa bulan yang lalu, dan untuk iseng saja. Ia tidak pernah minum, tapi ia tidak melihat ada bahaya dalam beberapa tegukan, khususnya setelah apa yang ia lalui.

Ia memegang buku hariannya di atas pangkuan, membuka-buka halaman, sebuah pena di satu tangan dan gelas di tangan lainnya. Ia telah memegangnya selama 20 menit. Ia tidak punya gagasan dari mana ia harus memulainya. Ia tidak penah mengalami kesulitan menulis buku harian sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Peristiwa-peristiwa pada beberapa hari terakhir ini berlangsung begitu dramatis, terlalu sulit untuk dipahami. Ini adalah pertama kalinya ia duduk tenang dan santai. Pertama kalinya ia merasa sangat aman.

Ia telah memutuskan bahwa yang terbaik adalah memulai dari awal. Apa saja yang telah terjadi. Mengapa ia berada di sini. Siapakah dirinya. Ia harus memahaminya. Ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa menjawab semua pertanyaan itu.

*

Sampai minggu kemarin, hidupnya normal. Aku sesungguhnya mulai menyukai Oakville. Kemudian suatu hari Ibu tiba-tiba mengumumkan kami akan pindah. Lagi. Hidup berubah total, seperti yang selalu terjadi dengannya.

Kali ini adalah yang terburuk. Itu bukanlah daerah pinggiran lainnya. Tempat itu adalah New York. Sebagaimana di perkotaan. Sekolah umum dan hidup di antara beton. Dan sebuah lingkungan yang berbahaya.

Sam juga merasa jengkel. Kami berbincang-bincang tentang tidak melanjutkan hal itu, tentang kepergian. Namun sesungguhnya adalah, kami tidak punya tempat lagi untuk pergi.

Jadi kami pergi bersama. Kami berdua bersumpah secara diam-diam bahwa jika kami tidak menyukainya, kami akan pergi. Mencari suatu tempat. Di mana saja. Mungkin bahkan mencoba mencari Ayah lagi, meski kami berdua tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi.

Dan kemudian semua hal itu terjadi. Begitu cepat. Tubuhku. Berubah. Menjelma. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, atau menjadi siapa aku ini. Tapi aku tahu, aku bukan orang yang sama lagi.

Aku ingat malam paling menentukan ketika semua hal ini berawal. Gedung Carnegie. Kencanku dengan Jonah. Dan kemudian...rehat. Santapan...ku? Membunuh seseorang? Aku masih tidak bisa mengingatnya. Aku hanya tahu dari apa yang telah mereka katakan kepadaku. Aku tahu bahwa aku telah melakukan sesuatu malam itu, tapi itu semua samar-samar. Apa pun yang telah aku lakukan, itu masih terasa seperti sebuah lubang dalam perutku. Aku tidak pernah mau menyakiti siapa pun.

Hari berikutnya, aku merasakan perubahan dalam diriku. Aku memang menjadi lebih kuat, lebih cepat, lebih sensitif terhadap cahaya. Aku juga mencium bau-bauan. Hewan-hewan bertingkah aneh di sekitarku, dan aku merasakan diriku bertingkah aneh di dekat hewan.

Dan kemudian ibu datang. Mengatakan kepadaku bahwa dia bukanlah ibuku yang sesungguhnya, dan kemudian terbunuh oleh vampir-vampir itu, vampir yang mengejarku. Aku tidak pernah menginginkan melihatnya disakiti seperti itu. Aku masih merasa bahwa itu semua adalah kesalahanku. Tapi juga dengan hal-hal lain, aku tidak bisa membiarkan diriku melakukannya. Aku harus fokus pada apa yang ada di hadapanku, apa yang bisa aku kendalikan.

Aku tadinya tertangkap. Oleh vampir-vampir mengerikan itu. Dan kemudian, pelarianku. Caleb. Tanpanya, aku yakin mereka sudah membunuhku. Atau bisa lebih buruk lagi.

Covennya Caleb. Orang-orangnya. Begitu berbeda. Tapi para vampir, semuanya sama saja. Teritorial. Cemburu. Curiga. Mereka mengusirku, dan mereka tidak memberinya pilihan.

Tapi dia telah memilih. Meskipun demikian, dia memilihku. Sekali lagi, dia telah menyelamatkan aku. Dia mempertaruhkan segalanya untukku. Aku mencintainya karena itu. Lebih dari yang dia ketahui.

Aku harus membantunya kembali. Dia merasa aku adalah yang terpilih, sesuatu semacam juru selamat vampir. Dia percaya aku akan membimbingnya ke semacam pedang yang hilang, yang akan menghentikan perang vampir dan menyelamatkan semua orang. Secara pribadi, aku tidak memercayainya. Orang-orangnya sendiri tidak memercayainya. Tapi aku tahu bahwa hanya itu yang dia miliki, dan itu berarti segalanya bagi dirinya. Dia mempertaruhkan segalanya untukku, dan setidaknya inilah yang bisa aku lakukan. Bagiku, ini bahkan bukan tentang pedang itu. Aku hanya tidak ingin melihatnya pergi.

Jadi aku akan melakukan apa pun yang aku bisa. Lagi pula, aku selalu ingin mencoba menemukan ayahku. Aku ingin tahu siapa dia sesungguhnya. Siapa sesungguhnya aku ini. Apakah aku benar-benar setengah vampir, atau setengah manusia, atau apa pun itu. Aku membutuhkan jawaban. Jika tidak ada hal lain, aku ingin tahu aku akan menjadi seperti apa...

*

“Caitlin?”

Ia bangun dengan terkejut. Ia mendongak untuk melihat Caleb berdiri di sampingnya, tangannya diletakkan dengan lembut di bahu Caitlin. Dia tersenyum.

"Aku rasa kau tertidur," ujarnya.

Ia memandang ke sekeliling, melihat buku hariannya terbuka di pangkuannya dan menutupnya dengan segera. Ia merasa pipinya merona, berharap dia tidak membacanya sama sekali. Khususnya, bagian tentang perasaan Caitlin kepadanya.

Ia duduk tegak dan mengusap matanya. Saat itu masih malam hari, dan api masih menyala, meskipun apinya semakin mengecil. Dia pasti baru saja terbangun. Ia bertanya-tanya berapa lama ia tertidur.

"Maaf," kata Caitlin. "Itu adalah pertama kalinya aku tidur selama beberapa hari ini."

Dia tersenyum lagi, dan melintasi ruangan menuju ke perapian. Dia melemparkan beberapa kayu lagi, dan kayu itu berkeretak dan mendesis, sebagaimana api menjadi lebih besar. Ia merasakan kehangatan mencapai kakinya.

Dia duduk di sana, memandangi api, dan senyumnya perlahan-lahan menghilang saat dia nampak tenggelam dalam pikirannya. Ketika dia memandangi api, wajahnya diterangi cahaya dengan kilau yang hangat, membuatnya terlihat semakin menarik, jika itu adalah hal memungkinkan. Matanya yang besar dan berwarna coklat terbuka lebar, dan saat Caitlin memandanginya, warnanya berubah menjadi hijau muda.

Caitlin duduk semakin tegak, dan melihat gelas anggur merahnya masih penuh. Ia meneguknya, dan anggur itu menghangatkan dirinya. Ia belum makan selama beberapa waktu, dan anggur itu langsung memengaruhi kepalanya. Ia melihat gelas plastik lain ada di sana, dan ia ingat sopan-santunnya.

"Bolehkan aku menuangkan untukmu?" tanyanya, dengan gugup, "itu, maksudku, aku tidak tahu apakah kau minum—"

Dia tertawa.

"Ya, vampir minum anggur juga," ujarnya dengan sebuah senyum, dan mendekat serta memegang gelas saat ia menuangkan anggur itu.

Ia terkejut. Bukan karena kata-katanya, tapi oleh tawanya. Tawanya lembut, elegan, dan sepertinya menghilang dengan perlahan dalam ruangan itu. Seperti segala sesuatu tentang dirinya, tawanya juga misterius.

Ia memandangi matanya ketika dia mengangkat gelas ke bibirnya, berharap bahwa dia akan balas menatapnya.

Dia melakukannya.

Lalu mereka berdua memalingkan muka pada saat yang sama. Ia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.

Caleb kembali berjalan ke tempatnya, duduk di atas jerami, bersandar, dan menatap Caitlin. Sekarang kelihatannya dia sedang mengamatinya. Ia merasa canggung.

Ia secara tidak sadar meraba-raba pakaiannya, dan berharap ia mengenakan pakaian yang lebih bagus. Benaknya berpacu saat ia mencoba mengingat apa yang ia kenakan. Di suatu tempat sepanjang perjalanan, ia tidak bisa ingat di mana, mereka berhenti sebentar di sebuah kota, dan ia pergi ke satu-satunya toko yang ada—Salvation Army—dan menemukan baju ganti.

Ia menunduk dengan cemas, dan bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Ia mengenakan jins pudar dan koyak, sepatu kets yang satu ukuran terlalu besar untuknya, dan sebuah sweater di atas kaus oblong. Di atas kaus oblong itu, ia mengenakan jaket pudar berwarna ungu kacang, satu kancing hilang, yang juga terlalu besar untuknya. Tapi pakaian itu hangat. Dan sekarang, itulah yang ia butuhkan.

Ia merasa canggung. Mengapa dia melihatnya seperti ini? Itu hanyalah keberuntungannya bahwa pertama kalinya ia menemukan seorang pria yang benar-benar ia sukai, ia bahkan tidak punya kesempatan untuk membuat dirinya terlihat cantik. Tidak ada kamar mandi dalam lumbung ini, dan bahkan jika ada, ia tidak membawa riasan. Ia memalingkan muka lagi, merasa malu.

"Apakah aku tidur dalam waktu yang lama?" tanyanya.

"Aku tidak yakin. Aku sendiri baru saja bangun." ujarnya, bersandar dan membelai tangan melalui rambutnya. "Aku bersantap lebih awal malam ini. Itu membuatku lelah."

Ia memandanginya.

"Jelaskan kepadaku," ujarnya.

Dia menatapnya.

"Minum darah," tambahnya. "Seperti, bagaimana cara kerjanya? Apakah kau...membunuh orang?"

"Tidak, tidak pernah," ujar Caleb.

Ruangan itu menjadi sunyi saat ia berusaha memikirkan sesuatu.

"Seperti semua hal dalam ras vampir, minum darah adalah hal yang rumit," ujarnya. "Itu tergantung pada jenis vampir apa, dan coven mana kau berasal. Jika aku, aku hanya meminum darah hewan. Biasanya, rusa. Toh, rusa kelebihan populasi, dan manusia juga memburunya—dan bahkan tidak untuk dimakan."

Ekspresinya berubah gelap.

"Tapi coven lain tidak sebegitu ramah. Mereka akan menyantap manusia. Biasanya, orang-orang yang tidak diinginkan."

"Orang-orang yang tidak diinginkan?"

"Tuna wisma, gelandangan, pelacur...mereka yang tidak akan diperhatikan. Itulah yang selama ini terjadi. Mereka tidak ingin menarik perhatian terhadap ras mereka.

"Itulah mengapa kami menganggap covenku, jenis vampirku, berdarah murni, dan jenis lain tidak murni. Apa yang kau santap...energinya merasukimu."

Caitlin duduk di sana, berpikir.

"Bagaimana denganku?" Tanyanya.

Dia menatapnya.

"Mengapa aku kadang-kadang ingin meminum darah, tapi tidak yang lainnya?"

Dia mengernyitkan alisnya.

"Aku tidak yakin. Kau berbeda. Kau setengah keturunan. Itu adalah suatu hal yang sangat langka...aku tidak tahu karena kau muncul sesuai usia. Sedangkan yang lain, mereka berubah, dalam semalam. Untukmu, ini adalah sebuah proses. Mungkin memerlukan waktu bagimu untuk berubah, untuk menjalani perubahan apa pun yang kau alami."

Caitlin kembali berpkir dan mengingat sengatan laparnya, bagaimana rasa itu melandanya secara tiba-tiba. Bagaimana rasa itu membuatnya tidak dapat berpikir apa pun selain menyantap. Mengerikan sekali. Ia takut hal itu terjadi lagi.

"Tapi bagaimana aku tahu kapan itu akan terjadi lagi?"

Dia menatapnya. "Kau tidak perlu tahu."

"Tapi aku tidak pernah menginginkan untuk membunuh manusia," ujarnya. "Sama sekali."

"Kau tidak perlu khawatir. Kau bisa minum darah hewan."

"Tapi bagaimanakah jika hal itu terjadi ketika aku terjebah di suatu tempat?"

"Kau harus belajar untuk mengendalikannya. Itu memerlukan latihan. Dan tekad. Itu tidak mudah. Tapi memungkinkan. Kau bisa mengendalikannya. Itu adalah apa yang dijalani setiap vampir."

Caitlin membayangkan tentang seperti apa rasanya terperangkap dan menyantap hewan hidup. Ia tahu ia sudah lebih cepat daripada sebelumnya, tapi ia tidak tahu apakah ia secepat itu. Dan ia tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan jika ia benar-benar menangkap seekor rusa.

Ia menatapnya.

"Maukah kau mengajariku?" tanyanya, penuh harap.

Dia bertatapan mata dengannya, dan ia bisa merasakan jantungnya berdegup.

"Minum darah adalah suatu hal yang suci dalam ras kami. Itu selalu dilakukan sendirian," ujarnya, lembut dan dengan nada meminta maaf. ":Kecuali..." Dia terdiam.

"Kecuali?" tanyanya.

"Dalam upacara pernikahan. Untuk mengikat suami dan istri.

Dia memalingkan muka, dan ia bisa melihatnya bergerak. Ia merasakan darah mengalir ke pipinya, dan tiba-tiba ruangan itu menjadi sangat hangat.

Ia memutuskan untuk melupakannya. Ia tidak mengalami sengatan rasa lapar sekarang, dan ia bisa menyeberangi jalan itu saat ia mengalaminya. Ia berharap dia akan ada di sisinya pada saat itu.

Selain itu, jauh di lubuk hatinya, ia tidak sungguh-sungguh peduli tentang meminum darah, atau vampir, atau pedang, atau apa pun itu. Yang sangat ingin ia ketahui adalah tentang dia. Atau, sesungguhnya, bagaimana perasaan Caleb terhadapnya. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepadanya. Mengapa kau mempertaruhkan itu semua untukku? Apakah hanya untuk menemukan pedang itu? Atau apakah ada hal lain? Setelah kau menemukan pedangmu, akankah kau masih ada di sampingku? Meskipun cinta dengan seorang manusia itu terlarang, akankah kau menyeberangi batas itu untukku?

Namun ia takut.

Jadi, sebaliknya, ia hanya berkata: "Aku harap kita menemukan pedangmu."

Pengecut, pikirnya. Itukah hal terbaik yang bisa kau lakukan? Tidak bisakah kau mendapatkan keberanian untuk mengatakan apa yang sedang kau pikirkan?

Tapi energinya terlalu besar, dan kapan pun ia ada di dekatnya, energi itu membuatnya sulit untuk berpikir jernih.

"Aku akan melakukannya," jawabnya. "Itu bukan senjata biasa. Pedang itu telah diincar oleh kaum kami selama berabad-abad. Kabarnya pedang itu menjadi contoh pedang Turki terbaik yang pernah dibuat, dibuat dari sebuah logam yang bisa membunuh semua vampir. Dengan pedang itu, kami akan menjadi tidak terkalahkan. Tanpa pedang itu..."

Dia terdiam, tiba-tiba takut menyuarakan akibatnya.

Caitlin berharap Sam ada di sana, berharap dia bisa membantu membimbing mereka kepada ayahnya. Ia mengamati lumbung itu lagi. Ia tidak melihat ada tanda-tanda baru dari Sam. Ia berharap, sekali lagi ia tidak menghilangkan ponselnya dalam perjalanan. Ponsel itu akan membuat hidupnya lebih mudah.

"Sam biasanya selalu pergi ke sini," kata Caitlin. "Aku yakin dia akan datang ke sini. Tapi aku tahu dia kembali kembali ke kota ini—aku yakin sekali. Dia tidak akan pergi ke tempat lain. Besok kita akan pergi ke sekolah, dan aku akan bicara dengan teman-temanku. Aku akan mencari tahu."

Caleb mengangguk. "Kau yakin dia tahu di mana ayahmu berada?" tanyanya.

"Aku...tidak tahu," jawabnya. "Tapi aku tahu bahwa dia mengetahui lebih banyak tentang ayah dibandingkan aku. Dia telah mencoba menemukan ayah dari dulu. Jika ada yang mengetahui apa pun tentang ayah, itu adalah Sam."

Caitlin kembali berpikir dan mengingat saat-saat yang telah ia lalui dengan Sam, dia selalu mencari, menunjukkan petunjuk-petunjuk baru kepadanya, yang selalu mengecewakan. Semua malam dia pergi ke kamarnya dan duduk di pinggir ranjangnya. Keinginannya untuk bertemu ayah mereka sangat luar biasa, seperti sebuah benda hidup di dalam dirinya. Ia juga merasakannya, tapi tidak sebesar Sam. Dalam beberapa hal, kekecewaannya semakin sulit untuk dilihat.

Caitlin memikirkan masa kanak-kanak mereka yang berantakan, dari semua yang telah mereka lewatkan, dan tiba-tiba merasa dilanda emosi. Air mata terbentuk di sudut matanya, dan, merasa malu, ia segera menyekanya, berharap Caleb tidak melihat.

Tapi dia sudah melihatnya. Dia mendongak dan menatapnya, ingin tahu.

Dia berdiri perlahan-lahan dan duduk di sebelahnya. Dia begitu dekat, ia bisa merasakan energinya. Sangat kuat. Jantungnya mulai berdegup.

Dia membelai rambutnya dengan lembut, membalikkan wajah Caitlin. Lalu jarinya membelai sudut matanya, dan kemudian turun ke pipinya.

Ia tetap menundukkan wajahnya, menatap lantai, takut untuk menatap matanya. Ia bisa merasakan mata Caleb mengamatinya.

"Jangan khawatir," katanya, suaranya yang dalam dan lembut membuatnya sangat tenang. "Kita akan menemukan ayahmu. Kita akan melakukannya bersama-sama."

Tapi itu bukanlah apa yang ia khawatirkan. Ia khawatir terhadap dirinya. Caleb. Khawatir saat Caleb akan meninggalkan dirinya.

Jika ia bertatap muka dengannya, ia bertanya-tanya apakah dia akan menciumnya dirinya. Ia sangat ingin merasakan sentuhan bibirnya.

Tapi dia takut untuk memalingkan kepalanya.

Saat itu terasa seperti berjam-jam lamanya sampai ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendongak.

Tapi dia telah berpaling. Dia bersandar dengan perlahan di atas rumput kering, matanya terpejam, tertidur, ada sebuah senyum lembut di wajahnya, diterangi oleh cahaya perapian.

Ia merosot lebih dekat dengannya dan berbaring, meletakkan kepalanya beberapa inchi dari bahunya. Mereka hampir bersentuhan.

Dan hampir cukup baginya.




DUA


Caitlin menarik pintu lumbung dan memicingkan mata pada dunia yang diselimuti salju. Cahaya matahari putih memantulkan semuanya. Ia mengangkat tangannya ke arah matanya, merasakan rasa sakit yang tidak pernah ia alami: matanya sangat terasa sakit.

Caleb melangkah keluar di sampingnya, saat dia telah selesai melapisi tangan dan lehernya dengan sebuah bahan tembus pandang yang tipis. Bahan itu hampir seperti pembungkus, tapi nampak menyatu dengan kulitnya ketika dia memakainya. Ia bahkan hampir tidak bisa melihatnya.

"Apa itu?"

"Pelapis kulit," ujarnya, menunduk saat ia membungkus tangan dan bahunya dengan hati-hati sebanyak beberapa kali. "Inilah yang memungkinkan kami pergi keluar dalam cahaya matahari. Jika tidak, kulit kami akan terbakar." Dia memandanginya. "Kau belum membutuhkannya."

"Bagaimana kau tahu?" tanya Caitlin.

"Percayalah kepadaku," ujarnya, menyeringai. "Kau akan tahu."

Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan tabung kecil obat tetes mata, menengadah dan meneteskan beberapa tetes pada tiap mata. Dia berpaling dan menatapnya.

Pasti terlihat jelas kalau matanya sakit, karena dia meletakkan tangannya dengan lembut di keningnya. "Tengadahkan kepalamu," ujarnya.

Ia menengadahkan kepalanya.

"Buka matamu," ujarnya.

Saat ia melakukannya, Caleb mengulurkan tangan dan memberikan satu tetesan di tiap mata.

Tetes mata itu sakitnya bukan main, dan ia menutup mata lalu menunduk.

"Aduh," katanya, menyeka matanya. "Kalau kau marah kepadaku, beritahu saja."

Dia tersenyum lebar. "Maaf. Itu terasa seperti terbakar kali pertama, tapi kau akan terbiasa. Kepekaanmu akan hilang dalam beberapa detik."

Ia mengerjap dan menggosok matanya. Akhirnya, ia mendongak, dan matanya terasa lebih baik. Dia benar: semua rasa sakit itu telah hilang.

"Sebagian besar dari kita tidak akan berusaha keluar selama ada sinar matahari bila kami tidak ada keperluan. Kami semua lebih lemah saat siang hari. Tapi kadang-kadang, kami harus melakukannya."

Dia menatap Caitlin.

"Sekolahnya itu," ujarnya. "Jauhkah?"

"Hanya jalan kaki sebentar," ujarnya, meraih lengannya dan menggiringnya melintasi rerumputan bersalju. "Oakville high. Itu adalah sekolahku juga, sampai beberapa minggu yang lalu. Salah satu temanku pasti tahu di mana Sam berada.”

*

Oakville High terlihat sama persis seperti yang Caitlin ingat. Terasa nyata kembali ke sini. Ia mengamati sekolahnya dan merasa seolah-olah ia hanya pergi liburan sebentar, dan sekarang telah kembali ke kehidupan normal. Ia bahkan membiarkan dirinya percaya, selama beberapa detik, bahwa semua peristiwa beberapa minggu yang lalu hanyalah sebuah mimpi yang aneh. Ia membiarkan dirinya berfantasi bahwa semuanya sudah normal lagi, sama seperti sebelumnya. Rasanya bagus juga.

Tapi saat ia berpaling dan melihat Caleb berdiri di sampingnya, ia tahu bahwa tidak satu pun yang normal. Jika ada hal apa pun yang lebih nyata dibandingkan kembali ke sini, itu adalah kembali dengan Caleb di sisinya. Ia akan memasuki sekolah lamanya dengan pria tampan di sisinya, setinggi lebih dari enam kaki, dengan bahu besar yang lebar, berpakaian hitam-hitam, mantel kulit hitam berkerah tinggi memeluk lehernya, menyelinap di bawah rambutnya yang agak panjang. Dia nampak seperti dia baru saja keluar dari sampul salah satu majalah remaja wanita yang populer.

Caitlin membayangkan seperti apa reaksi gadis-gadis lain ketika melihatnya bersama dengan Caleb. Ia tersenyum saat membayangkannya. Ia tidak pernah benar-benar populer, dan pasti tidak ada pria yang sangat memerhatikannya. Ia bukannya tidak populer—ia punya beberapa teman baik—tapi ia hampir ada di pusat kelompok paling populer. Ia menduga ada di suatu tempat di tengah. Meskipun begitu, ia ingat perasaan dicemooh oleh beberapa gadis yang lebih populer, yang nampaknya selalu bersama, berjalan di lorong dengan angkuh, mengabaikan siapa saja yang tidak mereka anggap sama sempurnanya dengan mereka. Sekarang, mungkin, mereka akan memerhatikannya.

Caitlin dan Caleb menaiki undakan dan melalui pintu ganda yang lebar menuju sekolah. Caitlin melirik jam besar itu: 8:30. Sempurna. Kelas pertama baru saja selesai, dan lorong-lorong akan penuh dengan remaja dalam sekejap. Itu akan membuat mereka tidak terlalu mencurigakan. Ia tidak perlu khawatir tentang keamanan, atau kartu pas lorong.

Sekejap kemudian, bel berdering, dan dalam beberapa detik, lorong-lorong mulai dipenuhi remaja.

Hal yang tentang Oakville yaitu tempat itu adalah sebuah dunia terpisah dari sekolah menengah New York yang mengerikan itu. Di sini, bahkan ketika lorong-lorong penuh sesak, masih ada ruang yang cukup untuk bergerak. Jendela kaca besar berjajar di dinding, membiarkan cahaya masuk dan pemandangan langit, dan kau bisa melihat pepohonan di mana pun kau berada. Itu hampir cukup membuatnya merindukan sekolah itu. Hampir.

Ia sudah muak dengan sekolah. Sesungguhnya, ia hanya memerlukan beberapa bulan lagi menuju kelulusan, namun ia merasa seolah-olah ia telah mempelajari lebih banyak dalam beberapa minggu terakhir ini dibandingkan ia duduk dalam kelas selama beberapa bulan lagi dan mendapatkan ijazah resmi. Ia suka belajar, tapi ia sama gembiranya untuk tidak pernah kembali sekolah lagi.

Ketika mereka menyusuri lorong, Caitlin mencari-cari wajah yang familiar. Mereka yang berlalu umumnya siswa kelas sepuluh dan para adik kelas, dan ia tidak menemukan siapa pun dari kelas seniornya. Tapi saat mereka melewati anak-anak lain, ia terkejut melihat reaksi yang nampak di semua wajah para gadis: setiap gadis benar-benar menatap Caleb. Tidak seorang gadis pun berusaha menyembunyikannya, atau bahkan memalingkan muka. Itu adalah hal yang menakjubkan. Seolah-olah ia menyusuri lorong bersama dengan Justin Beiber.

Caitlin berpaling dan melihat bahwa semua gadis berhenti berjalan, masih memandangi Caleb. Beberapa dari mereka saling berbisik.

Ia menatap Caleb, dan bertanya-tanya apakah dia menyadarinya. Jika dia menyadarinya, dia tidak menunjukkan tanda-tanda itu, dan dia pasti tidak peduli.

"Caitlin?" muncul sebuah suara yang mengejutkan.

Caitlin berpaling dan melihat Luisa berdiri di sana, salah satu gadis yang pernah berteman dengannya sebelum ia pindah.

"Ya Tuhan!" Tambah Luisa dengan riang, merentangkan lengannya lebar-lebar untuk memeluk. Sebelum Caitlin bisa bereaksi, Luisa sudah memeluknya. Caitlin balas memeluknya. Rasanya menyenangkan melihat wajah yang familiar.

"Apa yang terjadi denganmu?" Luisa bertanya, berbicara dengan cepat dan riang, seperti biasanya, sedikit aksen Latinnya mengalir keluar, seperti saat dia baru saja pindah ke sini dari Puerto Rico beberapa tahun sebelumnya. "Aku bingung sekali! Aku kira kau pindah!? Aku mengirim SMS dan IM kepadamu, tapi kau tidak pernah membalas –"

"Aku minta maaf," kata Caitlin. "Aku kehilangan ponselku, dan aku belum ada di dekat komputer sama sekali, dan–"

Luisa tidak mendengarkan. Dia baru saja menyadari Caleb, dan dia sedang menatapnya, terpesona. Mulutnya hampir-hampir menganga.

"Siapa temanmu itu?" akhirnya dia bertanya, hampir berbisik. Caitlin tersenyum: ia tidak pernah melihat temannya begitu salah tingkah sebelumnya.

"Luisa, ini Caleb," kata Caitlin.

"Senang berjumpa denganmu," ujar Caleb, balas tersenyum, mengulurkan tangannya.

Luisa hanya tetap menatapnya. Dia perlahan-lahan mengulurkan tangannya, dengan linglung, jelas-jelas terlalu terkejut untuk berbicara. Dia menatap Caitlin, tidak paham bagaimana Caitlin bisa membawa pria semacam itu. Dia menatap Caitlin dengan cara yang berbeda, hampir seolah-olah dia tidak pernah tahu siapa Caitlin sebelumnya.

"Mm..." Luisa memulai, matanya melebar, "...mm...begini...di mana...begini...bagaimana kalian bertemu?"

Untuk sedetik, Caitlin bingung bagaimana menjawabnya. Ia membayangkan menceritakan semuanya kepada Luisa, dan tersenyum atas gagasan itu. Itu tidak akan berhasil.

"Kami bertemu...setelah sebuah konser," kata Caitlin.

Setidaknya sebagiannya benar.

"OMG, konser apa? Di kota? Black Eyed Peas!?” dia bertanya dengan cepat, “Aku iri sekali! Aku sangat ingin bertemu mereka!"

Caitlin tersenyum karena membayangkan Caleb di sebuah konser rock. Entah kenapa, ia tidak merasa dia cocok di sana.

"Mm...tidak persis seperti itu," kata Caitlin. "Luisa, dengar, maaf karena tidak menjawabmu, tapi aku tidak punya banyak waktu. Aku harus tahu di mana Sam berada. Apakah kau melihatnya?"

"Tentu saja. Semua orang melihatnya. Dia kembali minggu kemarin. Dia kelihatan aneh. Aku bertanya padanya di mana kau berada dan apa urusannya, tapi dia tidak mau memberitahu aku. Dia mungkin tersingkir ke lumbung kosong yang dia sukai."

"Tidak," jawab Caitlin. "Kami baru saja ke sana."

"Sungguh? Maaf. Aku tidak tahu. Dia kelas sepuluh, kan? Kami jarang berselisih jalan. Sudahkah kau mencoba meng-IM dia? Dia selalu aktif di Facebook."

"Aku belum punya ponsel baru—" Caitlin memulai.

"Pakai punyaku," tukas Luisa, dan sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, dia menjejalkan ponselnya ke tangan Caitlin.

"Facebook-nya sudah terbuka. Masuk saja dan kirimi dia pesan."

Tentu saja, pikir Caitlin. Kenapa aku tidak terpikir ke sana?

Caitlin masuk ke akunnya, mengetikkan nama Sam di kotak pencarian, menampilkan profilnya, dan mengklik pesan. Ia bimbang, bertanya-tanya apa persisnya yang harus ia tuliskan. Lalu ia mengetikkan; "Sam. Ini aku. Aku ada lumbung. Datanglah untuk menemui aku. SEGERA."

Ia mengklik kirim dan mengembalikan ponsel itu kepada Luisa.

Caitlin mendengar keributan, dan berbalik.

Sekelompok gadis senior paling populer menuju ke lorong, tepat ke arah mereka. Mereka berbisik. Dan semuanya menatap langsung ke arah Caleb.

Untuk pertama kalinya, Caitlin merasakan sebuah emosi baru muncul dalam dirinya. Cemburu. Ia bisa melihat dalam mata mereka bahwa gadis-gadis ini, yang tidak pernah memerhatikan dirinya sebelumnya, akan dengan senang hati menarik Caleb diam-diam dalam sekejap. Gadis-gadis ini telah memikat semua laki-laki di sekolah, cowok mana pun yang mereka inginkan. Tidak peduli apakah mereka punya pacar atau tidak. Kau hanya berharap mereka tidak menatap cowokmu.

Dan sekarang mereka semua menatap Caleb.

Caitlin berharap dan berdoa, semoga Caleb kebal dengan kekuatan mereka. Karena dia mungkin masih menyukai Caitlin. Namun meskipun ia memikirkannya, ia tidak bisa memahami mengapa dia Caleb harus melakukannya. Ia gadis yang biasa-biasa saja. Mengapa dia mau tetap tinggal bersamanya ketika gadis-gadis seperti ini bersedia bersaing untuk mendapatkan dia?

Caitlin berdoa dalam hati bahwa gadis-gadis itu akan terus berjalan. Kali ini saja.

Namun, tentu saja, mereka berhenti. Jantungnya berdegup saat kelompok gadis itu berpaling dan berjalan tepat ke arah mereka.

"Hai Caitlin," salah satu gadis berkata kepadanya, dengan suara manis yang dibuat-buat.

Tiffany. Gadis tinggi dengan rambut pirang lurus, mata biru, dan sekurus tongkat. Mengenakan pakaian desainer dari kepala sampai kaki. "Siapa temanmu itu?"

Caitlin tidak tahu harus berkata apa. Tiffany, dan teman-temannya, tidak pernah menganggap Caitlin sama sekali. Mereka bahkan tidak pernah menoleh untuk melihatnya seperti saat ini. Ia terkejut karena mereka menyadari bahwa dirinya ada, dan mengetahui namanya. Dan sekarang mereka memulai percakapan. Tentu saja, Caitlin tahu itu tidak ada hubungannya dengan dirinya. Mereka menginginkan Caleb. Sangat menginginkannya sehingga bisa membuat mereka merendahkan diri mereka untuk berbicara kepadanya.

Ini bukan pertanda bagus.

Caleb pasti telah merasakan ketidaknyamanan Caitlin, karena dia mengambil satu langkah lebih dekat ke arahnya dan meletakkan satu tangannya merangkul bahunya.

Caitlin tidak pernah lebih bersyukur untuk setiap gerakan dalam hidupnya.

Dengan keyakinan barunya, Caitlin menemukan kekuatan untuk berbicara. "Caleb," jawabnya.

"Jadi, begini, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya gadis lainnya. Bunny. Dia adalah replika dari Tiffany, kecuali rambut coklatnya. "Aku kira kau, eh, pergi atau semacamnya."

"Yah, aku kembali," jawab Caitlin.

"Jadi, apakah kau...juga orang baru di sini?" Tiffany bertanya kepada Caleb. "Apakah kau seorang senior?"

Caleb tersenyum. "Ya, aku orang baru di sini," jawabnya penuh rahasia.

Mata Tiffany menyala, karena dia mengira itu berarti bahwa Caleb adalah siswa baru di sekolah mereka. "Bagus," ujarnya. "Ada semacam pesta malam ini, jika kau mau datang. Pestanya ada di rumahku. Hanya untuk beberapa teman dekat, tapi kami akan gembira jika kau datang. Dan...mm...sepertinya, kau juga," ujar Tiffany, menatap Caitlin.

Caitlin merasakan kemarahan semakin besar dalam dirinya.

"Aku menghargai undangannya, nona-nona," kata Caleb, "tapi maaf karena aku mengatakan bahwa Caitlin dan aku sudah punya janji penting malam ini."

Caitlin merasakan hatinya menggembung.

Aku menang.

Saat ia melihat runtuhnya ekspresi mereka, seperti deretan domino, ia belum pernah merasa begitu terbukti benar.

Gadis-gadis memalingkan hidung mereka dan menyelinap pergi.

Caitlin, Caleb, dan Luisa berdiri di sana, sendirian. Caitlin menghela napas.

"Ya Tuhan!" kata Luisa. "Cewek-cewek itu tidak pernah menganggap siapa pun sebelumnya. Apalagi ditambah dengan undangan."

"Aku tahu itu," kata Caitlin, masih terpana.

“Caitlin!” Luisa tiba-tiba berseru, mengulurkan tangan dan meraih lengannya, "Aku baru saja ingat. Susan. Dia mengatakan sesuatu tentang Sam. Minggu kemarin. Katanya, dia nongkrong dengan para Coleman. Aku minta maaf, hal itu baru saja terlintas dalam pikiranku. Mungkin itu bisa membantu."

Para Coleman. Tentu saja. Di sanalah dia seharusnya berada.

"Oh ya," Luisa meneruskan, dengan terburu-buru, "kami semua berkumpul malam ini di tempat Frank. Kau harus datang! Kami sangat merindukanmu. Dan tentu saja, bawa Caleb. Ini akan menjadi pesta yang menakjubkan. Setengah kelas akan datang. Kau harus datang.”

"Yah... Aku tidak tahu –"

Bel berbunyi.

"Aku harus pergi! Aku sangat senang kau kembali. Aku sayang padamu. Telepon aku. Dah!" ujar Luisa, melambai kepada Caleb, dan berbalik lalu berlari menyusuri lorong.

Caitlin membuat dirinya membayangkan ia kembali ke kehidupan normalnya. Pergi bersama dengan semua temannya, pergi ke pesta-pesta, ada di sekolah yang normal, dan lulus. Ia menyukai perasaan itu. Untuk beberapa saat, ia mencoba lebih keras untuk mendorong semua peristiwa minggu kemarin keluar dari pikirannya. Ia membayangkan bahwa tidak ada hal buruk yang telah terjadi.

Namun saat ia berpaling dan melihat Caleb, dan kenyataan mulai membanjir kembali. Hidupnya telah berubah. Secara permanen. Dan hidupnya tidak akan pernah berubah kembali. Ia hanya harus menerimanya.

Belum lagi ia telah membunuh seseorang, dan polisi sedang mencarinya. Atau bahwa hanya masalah waktu sampai mereka menangkapnya, di suatu tempat. Atau fakta bahwa seluruh ras vampir sedang mencari untuk membunuhnya. Atau bahwa pedang yang sedang ia cari bisa menyelamatkan banyak kehidupan manusia.

Hidup pasti bukan tentang bagaimana kehidupan itu rasanya, dan tidak akan pernah seperti itu. Dia harus hanya menerima kenyataan saat ini.

Caitlin meletakkan tangannya ke lengan Caleb, dan membimbingnya menuju pintu depan. Para Coleman. Ia tahu di mana mereka tinggal, dan yang bisa dipahami, Sam mampir ke sana. Jika dia tidak ada di sekolah, maka dia mungkin ada di sana sekarang. Itulah ke mana mereka harus pergi selanjutnya.

Saat mereka berjalan keluar pintu depan dan menuju ke udara segar, ia kagum pada seberapa baik rasanya untuk berjalan keluar dari sekolah ini lagi—dan kali ini untuk selamanya.

*

Caitlin dan Caleb berjalan melintasi rumah Coleman, salju di rerumputan berderak di bawah kakinya. Rumah itu sendiri tidak jauh – peternakan sederhana diatur di sisi jalan pedesaan. Namun di jalan belakangnya, di bagian belakang rumah, ada sebuah lumbung. Caitlin melihat semua truk pengangkut tua yang diparkir sembarangan di halaman, dan bisa melihat jejak-jejak kaki di es dan salju, dan ia tahu banyak lalu-lalang yang mengarah menuju lumbung.

Itulah yang anak-anak lakukan di Oakville – mereka nongkrong di lumbung masing-masing. Oakville adalah pedesaan yang sama seperti daerah pinggir kota, yang memberi mereka kesempatan untuk berkumpul dalam bangunan yang jauh dari rumah orang tuamu, sehingga mereka tidak tahu atau tidak peduli dengan apa yang kalian lakukan. Itu jauh lebih baik daripada nongkrong di ruang bawah tanah. Orang tua kalian tidak bisa mendengar apa pun. Dan kalian memiliki pintu masuk sendiri. Serta pintu keluar.

Caitlin menarik napas dalam-dalam saat ia berjalan menuju lumbung dan mendorong pintu kayu yang berat.

Hal pertama yang menerpanya adalah bau itu. Cerek. Uapnya menggantung di udara.

Uap itu, bercampur dengan bau bir yang apek. Sangat tidak tertahankan.

Kemudian yang melandanya—lebih dai apa pun—bau seekor hewan. Ia tidak pernah merasakan rasa setajam itu sebelumnya. Keterkejutan atas keberadaan hewan itu segera melanda inderanya, seolah-olah ia baru saja mencium amonia.

Ia melihat ke sebelah kanannya dan mengamatinya. Di sana, di pojokan, ada seekor Rottweiler besar. Anjing itu bangkit perlahan-lahan, menatapnya, dan menggeram. Anjing itu kemudian menggeram dengan suara parau pelan. Itu adalah Butch. Ia mengingatnya sekarang. Rottweiler menjijikkan milik keluarga Coleman. Seolah-olah keluarga Coleman memerlukan seekor hewan ganas untuk menambahkan gambaran penganiayaan mereka.

Keluarga Coleman selalu menjadi berita buruk. Tiga bersaudara—17, 15, dan 13—entah sejak kapan, Sam telah berteman dengan saudara tengah, Gabe. Masing-masing lebih buruk dibandingkan saudara selanjutnya. Ayah mereka telah meninggalkan mereka sejak lama, tidak ada yang tahu ke mana, dan ibu mereka tidak pernah ada. Pada dasarnya, mereka tumbuh sendirian. Kendati seusia itu, mereka senantiasa mabuk atau teler, dan bolos sekolah lebih banyak dibandingkan masuk sekolah.

Caitlin merasa jengkel karena Sam nongkrong dengan mereka. Itu tidak bisa mengarah ke hal yang bagus.

Musik terlantun di latar belakang. Pink Floyd. Wish You Were Here.

Figur, pikir Caitlin.

Ruangan itu gelap, khususnya dibandingkan hari cerah saat itu, dan membuat matanya memerlukan beberapa detik agar sepenuhnya terbiasa.

Di sanalah dia berada. Sam. Duduk di tengah sofa lusuh, dikelilingi oleh selusin remaja pria. Gabe di salah satu sisi dan Brock di sisi lainnya.

Sam mmebungkuk di depan sebuah bong. Dia baru saja selesai menyedot, lalu meletakkannya dan bersandar, menghirup udara dan menahannya agak lama. Dia akhirnya menghembuskannya.

Gabe menepuknya, dan Sam mendongak. Dengan tatapan membatu, dia menatap Caitlin. Matanya merah.

Cautlin merasakan rasa sakit mencabik perutnya. Ia amat kecewa. Ia merasa seolah-olah itu semua adalah kesalahannya. Ia mengingat kali terakhir mereka bertemu, di New York, saat pertengkaran mereka. Kata-kata kasarnya. “Pergi!” bentaknya. Mengapa ia harus menjadi begitu kasar? Mengapa ia tidak bisa mempunyai kesempatan untuk menariknya kembali?

Sekarang sudah terlambat. Jika ia memilih kata-kata yang berbeda, mungkin beberapa hal tidak akan menjadi berbeda sekarang.

Ia juga merasakan gelombang kemarahan. Marah kepada para Coleman, marah kepada semua laki-laki dalam lumbung ini yang duduk di sekitar sofa lusuh dan kursi, di atas tumpukan rumput kering, semua duduk berkeliling, minum, merokok, tidak berbuat apa-apa dengan kehidupan mereka. Mereka bebas untuk tidak melakukan apa-apa dengan kehidupan mereka. Namun mereka tidak bebas untuk menyeret Sam ke dalamnya. Dia lebih baik dari mereka. Dia hanya tidak pernah mendapatkan bimbingan. Tidak pernah memiliki sosok ayah, dan kebaikan dari ibu mereka. Dia adalah anak yang hebat, dan ia tahu bahwa dia bisa menjadi yang terbaik dari kelasnya saat ini seandainya dia mempunyai sebauh rumah yang semi-stabil. Namun dalam beberapa hal, itu sudah terlambat. Dia hanya berhenti peduli.

Ia mengambil beberapa langkah lebih dekat kepadanya. "Sam?" tanyanya.

Dia hanya balas menatap, tidak mengatakan sepatah kata pun.

Sangat sulit melihat apa yang ada dalam tatapan itu. Apakah itu obat-obatan? Apakah dia berpura-pura tidak peduli? Ataukah dia memang tidak peduli?

Tatapan apatisnya menyakiti Caitlin lebih dari apa pun. Ia telah mengantisipasi dia akan merasa gembira bertemu dengannya, berdiri dan memberinya sebuah pelukan. Bukan seperti ini. Dia sama sekali tidak terlihat peduli. Seolah-olah ia adalah orang asing. Apakah dia hanya bertingkah keren di depan teman-temannya? Ataukah ia benar-benar telah mengacaukan segalanya kali ini?

Beberapa detik telah berlalu, dan akhirnya, dia memalingkan muka, menyerahkan bong ke salah satu temannya. Dia tetap melihat teman-temannya, mengabaikan Caitin.

"Sam!" hardiknya, lebih keras, wajahnya merona dengan rasa marah. "Aku berbicara kepadamu!"

Ia mendengar suara terkekeh dari teman-teman pecundangnya, dan ia merasakan kemarahan naik dalam gelombang di dalam tubuhnya. Ia mulai merasakan suatu hal lain. Insting hewan. Kemarahan dalam dirinya memancar pada suatu titik di mana itu hampir melampaui kendalinya, dan ia takut bahwa rasa itu segera akan melewati batas. Rasa itu bukan lagi manusia. Rasa itu akan menjadi hewan.

Para laki-laki itu bertubuh besar, namun kekuatan yang naik dalam pembuluhnya memberitahu kepadanya bahwa ia bisa menangani yang mana pun dari mereka dalam sekejap. Ia sudah mengalami peristiwa sulit yang berisikan kemarahannya, dan ia berharap ia menjadi cukup kuat untuk melakukannya.

Pada saat yang sama, Rottweiler itu mengeluarkan geramannya, ketika anjing itu perlahan-lahan berjalan ke arahnya. Seolah-olah anjing itu merasakan sesuatu akan muncul.

Ia merasakan sebuah tangan lembut di bahunya. Caleb. Dia masih ada di sana. Dia pasti telah merasakan kemarahannya timbul, insting hewan di antara mereka. Dia mencoba menenangkan Caitlin, memberitahunya untuk mengendalikan dirinya, tidak membiarkan dirinya lepas kendali. Keberadaannya menenangkan Caitlin. Tapi tidak semudah itu.

Sam akhirnya berpaling dan menatapnya. Ada perbedaan dalam tatapannya. Dia masih marah. Jelas sekali.

"Apa maumu?" bentak Sam.

"Kenapa kau tidak ada di sekolah?" adalah hal pertama yang ia dengarkan dari dirinya sendiri yang berbicara. Ia tidak begitu yakin mengapa ia mengatakan hal itu, khususnya dengan semua hal yang ingin ia tanyakan kepada Sam. Namun insting keibuan dalam dirinya muncul. Dan itulah yang keluar.

Suara terkekeh lagi. Kemarahannya naik.

“Apa yang kau pedulikan?” ujarnya. "Kau mengatakan kepadaku untuk pergi."

"Maafkan aku," ujarnya. "Aku tidak bersungguh-sungguh."

Ia senang memiliki kesempatan untuk mengatakannya.

Tapi nampaknya kata-kata Caitlin tidak menggoyahkannya. Dia hanya menatapnya.

"Sam, aku harus berbicara kepadamu. Berdua saja," kata Caitlin.

Ia ingin mengeluarkannya dari lingkungan itu, menuju ke udara segar, berdua, di mana mereka benar-benar bisa berbicara. Caitlin tidak hanya ingin tahu tentang Ayah mereka; ia juga benar-benar ingin berbicara kepadanya, seperti biasanya. Dan untuk menceritakan kabar tentang Ibu mereka. Dengan hati-hati.

Namun itu tidak akan terjadi. Ia bisa melihatnya sekarang. Semua hal telah berputar-putar ke bawah. Ia merasakan bahwa energi dalam lumbung yang penuh sesak itu terlalu gelap. Terlalu kejam. Ia bisa merasakan dirinya kehilangan kendali. Meskipun ada tangan Caleb, ia tidak bisa menghentikan apa pun yang melandanya.

"Di sini saja," kata Sam.

Ia bisa mendengar suara terkekeh lainnya di antara teman-temannya.

"Kenapa kau tidak santai saja?" salah satu laki-laki berkata kepadanya. "Kau tegang sekali. Duduklah di sini. Hisaplah."

Dia menawarkan bong itu kepadanya.

Ia berpaling dan menatapnya.

"Kenapa kau tidak memasukkan bong itu ke bokongmu?" ia mendengar dirinya berkata, dengan mendesis.

Suara-suara mengejek datang dari kelompok remaja laki-laki itu. "Oh, SIALAN!" salah satu dari mereka berteriak.

Laki-laki yang menawarkan Caitlin untuk menghisap, seorang laki-laki besar dan berotot yang ia tahu telah dikeluarkan dari tim sepak bola, memerah karena marah.

"Apa yang sudah kau katakan padaku?" katanya, berdiri.

Ia mendongak. Dia sangat lebih tinggi dari yang ia ingat, setidaknya 6,6 inchi. Ia bisa merasakan genggaman Caleb di bahunya menjadi lebih keras. Ia tidak tahu apakah itu karena Caleb mendesaknya untuk tetap tenang, atau karena dia marah.

Ketegangan dalam ruangan itu meningkat secara dramatis.

Rottweiler itu merayap lebih dekat. Anjing itu sekarang hanya satu kaki jauhnya. Dan menggeram dengan ganas.

"Jimbo, tenang," ujar Sam kepada laki-laki besar itu.

Itulah Sam yang selalu protektif. Tidak peduli apa pun, Sam melindunginya. "Dia menyebalkan, tapi dia tidak bersungguh-sungguh. Dia masih kakakku. Tenanglah."

“Aku memang bersungguh-sungguh,” Caitlin berteriak, sangat marah. "Kalian kira kalian sangat keren? Membuat adikku teler? Kalian semua adalah sekelompok pecundang. Kalian tidak akan ke mana-mana. Kalian ingin mengacaukan hidup kalian sendiri, silakan, tapi jangan bawa Sam ke dalamnya!"

Jimbo kelihatan semakin marah, jika memungkinkan. Dia mengambil beberapa langkah mengancam ke arahnya.

"Wah, lihat siapa ini. Nona guru. Nona ibu. Ada di sini untuk memberitahu kita apa yang harus dilakukan!"

Serangkaian tawa.

"Kenapa kau dan pacar homomu datang ke sini untuk melawanku!"

Jimbo melangkah lebih dekat dan dengan tangan besarnya, mendorong bahu Caitlin.

Kesalahan besar.

Kemarahan meledak dalam diri Caitlin, melampaui apa pun yang bisa ia kendalikan. Kedua kalinya jari Jimbo menyentuhnya, Caitlin mengulurkan tangan secepat kilat, menyambar pergelangan tangannya, dan memelintirnya. Ada suara gemeretak keras saat pergelangan tangannya patah.

Ia mengangkat pergelangan tangannya tinggi-tinggi di belakang punggungnya, dan melemparkannya, dengan wajah lebih dulu, ke tanah.

Kurang dari sedetik, Jimbo ada di tanah, di atas wajahnya, tidak berdaya. Ia melangkah ke depan dan meletakkan kakinya di belakang lehernya, menahannya dengan kuat di lantai.

Jimbo berteriak kesakitan.

"Tuhan Yesus, pergelangan tanganku, pergelangan tanganku! Cewek sialan! Dia mematahkan pergelangan tanganku!"

Sam berdiri, begitu juga dengan yang lain, melihat dengan terkejut. Dia terlihat sangat terkejut. Bagaimana kakaknya yang bertubuh kecil menjatuhkan seorang laki-laki sebesar itu, dan sangat cepat, Sam punya gagasan.

"Maaf," hardik Caitlin kepada Jimbo. Ia terkejut dengan suaranya sendiri. Suaranya terdengar parau. Seperti seekor hewan.

"Aku minta maaf. Maaf, maaf!" Jim berteriak, merintih.

Caitlin hanya ingin melepaskannya, membiarkannya pergi, tapi sebuah bagian dari dirinya tidak bisa melakukannya. Kemurkaan telah menguasainya sangat tiba-tiba, begitu kuat. Ia tidak bisa membiarkannya pergi. Kemurkaannya masih terus bertambah, semakin meningkat. Ia ingin membunuh laki-laki ini. Itu sudah melampaui nalar, tapi ia memang melampaui nalar.

“Caitlin!?” Sam berteriak. Ia bisa mendengar ketakutan dalam suaranya. "Tolong!"

Namun Caitlin tidak bisa melepaskan dia. Ia benar-benar ingin membunuh laki-laki ini.

Pada saat itu, ia mendengar sebuah geraman, dan dari sudut matanya, ia melihat anjing itu. Anjing itu melompat, giginya mengarah tepat ke leher Caitlin.

Caitlin bereaksi dengan cepat. Ia melepaskan Jimbo dan dalam satu gerakan, menangkap anjing itu di udara. Ia berhasil berada di bawahnya, memegang perutnya, dan melemparkan anjing itu.

Anjing itu terbang melewati udara, sepuluh kaki, dua puluh kaki, dengan kekuatan sebesar itu, anjing itu melintasi ruangan dan menabrak dinding kayu lumbung. Dinding itu patah dengan suara retak, saat anjing itu mendengking dan melayang keluar lumbung.

Semua orang dalam ruangan itu menatap Caitlin. Mereka tidak bisa memahami apa yang baru saja mereka saksikan. Jelas sekali itu adalah perbuatan dengan kekuatan dan kecepatan manusia super, dan tidak ada penjelasan yang memungkinkan tentang itu. Mereka semua berdiri di sana, mulut ternganga, terbelalak.

Caitlin merasa dibanjiri dengan emosi. Marah. Sedih. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan, dan ia tidak memercayai dirinya sendiri lagi. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia harus keluar dari sana. Ia tahu Sam tidka akan datang. Sekarang, dia adalah orang yang berbeda.

Dan begitu juga dengannya.




TIGA


Caitlin dan Caleb berjalan perlahan-lahan di sepanjang tepian sungai. Sisi sungai Hudson ini terlantar, dipenuhi dengan pabrik-pabrik terbengkalai dan stasiun bahan bakar yang tidak lagi digunakan. Di sini sangat terpencil, tapi damai. Ketika ia mendongak, Caitlin melihat potongan es besar mengambang di sungai, perlahan-lahan terpecah di hari bulan Maret ini. Suaranya retakan yang tajam memenuhi udara. Mereka tampak dunia lain, yang mencerminkan cahaya dalam cara aneh, ketika kabut naik perlahan. Ia merasa seperti baru saja berjalan keluar ke salah satu lembaran besar es, duduk, dan membiarkannya membawanya ke mana pun ia pergi.

Mereka berjalan dalam diam, masing-masing dalam dunia mereka sendiri. Caitlin merasa malu karena ia telah menunjukkan kemarahan seperti itu di hadapan Caleb. Malu karena ia begitu kejam, bahwa ia tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi padanya.

Ia juga malu dengan adiknya, karena dia bertingkah seperti yang ia lakukan, bahwa ia bergaul dengan pecundang seperti itu. Ia belum pernah melihat dia bertingkah seperti itu sebelumnya. Ia malu karena telah melibatkan Caleb di dalamnya. Hampir tidak ada cara baginya untuk bertemu keluarganya. Dia menganggap dirinya paling buruk. Yang, lebih dari apa pun, sangat menyakitinya.

Yang paling terburuk, ia takut ke mana mereka akan pergi dari sini. Sam telah menjadi harapan terbaiknya dalam menemukan ayahnya. Ia tidak punya gagasan lain. Jika punya, ia pasti sudah menemukan ayahnya, sendirian, beberapa tahun yang lalu. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Caleb. Akankah ia pergi sekarang? Tentu saja dia akan pergi. Ia tidak berguna bagi Caleb, dan dia mempunyai pedang untuk ditemukan. Mengapa dia mau tinggal bersamanya?

Ketika mereka berjalan dalam diam, ia merasakan kegelisahan timbul, saat ia menerka bahwa Caleb hanya menunggu waktu yang tepat untuk memilih kata-katanya dengan hati-hati, untuk mengatakan kepadanya bahwa dia harus pergi. Seperti semua orang dalam hidupnya.

"Aku benar-benar minta maaf," ia akhirnya berkata, dengan lembut, "atas bagaimana tindakanku tadi. Aku menyesal aku kehilangan kendali."

"Jangan. Kau tidak melakukan hal yang salah. Kau sedang belajar. Dan kau sangat kuat."

"Aku juga minta maaf karena adikku bertingkah seperti itu."

Dia tersenyum. "Jika ada satu hal yang sudah aku pelajari selama berabad-abad, itu adalah kau tidak bisa mengendalikan keluargamu."

Mereka terus berjalan dalam diam. Caleb memandangi sungai.

"Jadi?" ia akhirnya bertanya. "Sekarang, apa?"

Dia berhenti dan menatap Caitlin.

"Apakah kau akan pergi?" ia bertanya dengan was-was.

Caleb tampak tenggelam dalam pikirannya.

"Bisakah kau memikirkan tempat lain di mana ayahmu mungkin berada? Siapa saja yang mengenalnya? Apa pun?"

Ia sudah mencobanya. Tidak ada apa pun. Sama sekali tidak ada. Caitlin menggelengkan kepalanya.

“Pasti ada sesuatu,” dia berkata dengan empatik. "Berpikirlah lebih keras. Ingatanmu. Tidakkah kau punya ingatan apa pun?"

Caitlin berpikir keras. Ia menutup matanya dan benar-benar menghendaki dirinya untuk ingat. Ia telah bertanya kepada dirinya pertanyaan yang sama, berulang kali. Ia pernah melihat ayahnya, berulang kali, dalam mimpi, yang tidak ia ketahui lagi apakah itu adalah mimpi atau apakah itu kenyataan. Ia bisa menceritakan satu per satu mimpi di mana ia telah berjumpa dengannya, selalu mimpi yang sama, ia berlarian di lapangan, ayahnya ada di kejauhan, kemudian dia semakin menjauh ketika dia mendekat. Tapi itu bukanlah ayahnya. Itu semua hanya mimpi.

Itu adalah kilatan masa lalu, ingatan ketika ia masih anak kecil, pergi ke suatu tempat dengan ayahnya. Entah di mana di saat musim panas, pikirnya. Ia ingat laut. Dan laut itu hangat, sangat hangat. Tapi sekali lagi, ia tidak yakin apakah itu kenyataan. Batasnya semakin lama semakin kabur. Dan Caitlin tidak bisa mengingat dengan baik di mana pantai itu berada.

"Aku sangat menyesal," kata Caitlin. "Aku harap aku punya sesuatu. Jika bukan untukmu, untuk diriku. Aku benar-benar tidak punya. Aku tidak gagasan di mana dia berada. Dan aku tidak punya gagasan bagaimana cara menemukannya."

Caleb berpaling dan menghadap sungai. Dia menghela napas dalam-dalam. Dia menatap es, dan matanya berubah warna sekali lagi, kali ini menjadi abu-abu laut.

Caitlin merasakan waktunya sudah datang. Setiap saat dia akan berpaling padanya dan menyampaikan berita tersebut. Dia akan pergi. Ia tidak lagi berguna baginya.

Ia hampir ingin mengarang sesuatu, suatu kebohongan tentang ayahnya, beberapa petunjuk, hanya supaya dia akan tinggal bersama dengannya. Namun ia tahu, ia tidak bisa melakukannya.

Ia merasa seperti akan menangis.

"Aku tidak mengerti," kata Caleb dengan lembut, masih memandangi sungai. “Aku yakin kau adalah yang terpilih.”

Dia menatap dalam diam. Itu terasa seperti berjam-jam lamanya, saat ia menunggu.

"Dan ada suatu hal lain yang tidak aku pahami," dia akhirnya berkata, dan berpaling lalu menatapnya. Matanya yang besar menghipnotis.

"Aku merasakan sesuatu ketika aku ada di dekatmu. Tidak jelas. Dengan vampir lain, aku selalu bisa melihat kehidupan yang kami alami bersama, semua waktu yang telah kami lalui, dalam jelmaan apa pun. Tapi denganmu... berkabut. Aku tidak melihat apa-apa. Itu tidak pernah terjadi padaku sebelumnya. Itu seolah-olah...aku dicegah untuk melihat sesuatu."

"Mungkin kita tidak pernah mengalami apa pun," jawab Caitlin.

Dia menggelengkan kepalanya.

"Aku akan bisa melihatnya. Denganmu, aku tidak melihat apa pun. Aku juga tidak bisa melihat masa depan kita bersama. Dan itu tidak pernah terjadi padaku. Tidak pernah—dalam 3.000 tahun. Aku merasa seperti...aku mengingatmu entah bagaimana. Aku merasa aku berada di ambang untuk melihat segalanya. Itu ada di ujung benakku. Tapi itu tidak bisa aku lihat. Dan itu membuatku putus asa."

"Yah lalu," Caitlin berkata, "mungkin memang tidak ada apa-apa. Mungkin itu hanya di sini, saat ini. Mungkin tidak pernah ada apa-apa lagi, dan mungkin tidak pernah ada apa pun."

Segera, ia menyesali kata-katanya. Ia melakukannya lagi, menyerocos, mengatakan hal-hal bodoh yang bahkan tidak ia inginkan. Mengapa ia harus berkata seperti itu? Itu adalah sama sekali berlawanan dengan apa yang sedang ia pikirkan, perasaannya. Ia ingin berkata: Ya. Aku merasakannya juga. Aku merasa aku telah bersama denganmu selamanya. Dan aku akan bersama denganmu selamanya. Namun sebaliknya, semua yang ia ucapkan salah. Itu karena ia gugup. Dan sekarang ia tidak bisa menariknya kembali.

Namun Caleb tidak tergoyahkan. Sebaliknya, dia melangkah lebih dekat, mengulurkan satu tangan, dan dengan perlahan meletakkannya di pipinya, menyibakkan rambutnya. Dia menatap lekat-lekat ke dalam matanya, dan melihat matanya berubah lagi, kali ini dari abu-abu menjadi biru. Mata itu menatapnya matanya dalam-dalam. Hubungan itu luar biasa.

Jantungnya berdegup saat ia merasakan panas yang luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia merasa seolah-olah ia sedang tersesat.

Apakah dia mencoba untuk mengingat? Apakah dia akan mengatakan selamat tinggal?

Ataukah dia akan menciumnya?




EMPAT


Jika ada apa pun yang sangat ia benci ketimbang manusia, itu adalah politisi. Ia tidak bisa tahan dengan sikap mereka, kemunafikan mereka, dan kebenaran mutlak mereka. Ia tidak bisa tahan dengan arogansi mereka. Dan tidak berdasarkan apa-apa. Sebagian besar dari mereka telah hidup hampir 100 tahun. Ia telah hidup lebih dari 5.000 tahun. Ketika mereka membicarakan tentang "pengalaman lampau" mereka, itu membuatnya menderita secara fisik.

Sudah menjadi takdir saat Kyle harus bersentuhan bahu dengan mereka, berjalan melewati politisi ini setiap malam, ketika ia bangun dari tidurnya dan keluar, melintasi pusat kegiatan mereka di Balai Kota. Coven Blacktide telah bercokol di tempat tinggal mereka jauh di bawah Balai Kota New York berabad-abad yang lalu, dan senantiasa ada dalam hubungan dekat dengan para politisi. Sesungguhnya, sebagian besar politisi yang seharusnya mengerumuni ruangan itu diam-diam merupakan anggota coven-nya, melaksanakan agenda mereka di seluruh kota, dan di seluruh negara bagian. Itu adalah kejahatan yang diperlukan, pergaulan ini, melakukan bisnis dengan manusia.

Namun cukup banyak dari politisi ini merupakan manusia sungguhan yang membuat kulit Kyle merinding. Dia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja berada dalam bangunan ini. Mereka sangat mengganggunya saat terlalu dekat dengannya. Ketika Kyle sedang berjalan, ia mencondongkan bahunya kepada salah satu dari mereka, menabraknya dengan keras. "Hei!" pria itu berteriak, tapi Kyle terus berjalan, menggertakkan rahangnya dan menuju ke pintu ganda lebar di ujung koridor.

Kyle akan membunuh mereka semua jika dia bisa. Namun dia tidak diperbolehkan. Coven-nya masih harus menjawab Dewan Tertinggi, dan atas alasan apa pun, mereka masih menahan diri. Menunggu waktu bagi mereka untuk menyingkirkan ras manusia selamanya. Kyle telah menunggu selama ribuan tahun hingga saat ini, dan dia tidak tahu berapa lama lagi ia harus menunggu. Ada sedikit momen indah dalam sejarah saat mereka telah semakin dekat, saat mereka menerima lampu hijau. Pada tahun 1350, di Eropa, saat mereka semua akhirnya mencapai kesepakatan, dan telah menyebarkan Wabah Hitam bersama-sama. Itu adalah saat yang menakjubkan. Kyle tersenyum mengingatnya.

Ada juga beberapa saat indah lainnya—seperti Zaman Kegelapan, saat mereka diperbolehkan untuk melancarkan perang di seluruh Eropa, membunuh dan memerkosa jutaan orang. Kyle tersenyum lebar. Saat-saat itu adalah beberapa abad terhebat dari hidupnya.

Namun dalam beberapa ratus tahun terakhir, Dewan tertinggi telah menjadi sangat lemah, begitu menyedihkan. Seolah-olah mereka takut terhadap manusia. Perang Dunia ke-2 adalah saat yang menyenangkan, tapi sangat terbatas, dan sangat sebentar. Dia mendambakan lebih banyak. Sudah tidak ada lagi wabah besar, tidak ada perang sungguhan. Itu nyaris seolah-olah ras vampir telah lumpuh, takut akan bertambahnya jumlah dan kekuatan ras manusia.

Sekarang, akhirnya, mereka siap. Saat Kyle berjalan dengan angkuh ke pintu depan, menuruni anak tangga, keluar dari Balai Kota, dia berjalan dengan sebuah lompatan dalam langkahnya. Ia menambah kecepatan langkahnya saat dia memandang ke depan untuk perjalanannya ke Dermaga South Street. Akan ada muatan kapal besar yang menunggunya. Sepuluh ribu peti kayu Wabah Pes sempurna yang dimodifikasi secara genetik. Mereka telah menyimpannya di Eropa selama ratusan tahun, disimpan dengan sempurna sejak penyebaran wabah terakhir. Dan sekarang mereka telah memodifikasinya agar sepenuhnya kebal terhadap antibiotik. Dan itu semua akan menjadi milik Kyle. Untuk digunakan sesuai keinginannya. Untuk melancarkan sebuah perang baru di benua Amerika. Di wilayahnya.

Dia akan diingat selama berabad-abad mendatang.

Gagasan itu membuat Kyle tertawa keras, meskipun dengan ekspresi wajahnya, tawanya lebih terlihat seperti sebuah geraman.

Dia harus melapor kepada Rexius, pimpinan covennya, tentu saja, tapi itu hanya secara teknis. Sesungguhnya, dia akan menjadi pemimpinnya. Ribuan vampir dalam covennya sendiri—dan pada semua coven tetangga—akan tunduk kepadanya. Dia akan menjadi lebih kuat dibandingkan sebelumnya.

Kyle telah mengetahui bagaimana ia akan melepaskan wabah itu: dia akan menyebarkan satu muatan kapal di Stasiun Penn, satu di Grand Central, dan satu lagi di Times Square. Semuanya pada saat yang sempurna, semuanya pada jam sibuk. Itu akan bergulir dengan cepat. Dalam beberapa hari, ia memperkirakan, setengah penduduk Manhattan akan terinfeksi, dan dalam minggu berikutnya, semuanya akan terinfeksi. Wabah ini menyebar dengan cepat, dan bagaimana mereka menyebarkannya, akan dilakukan melalui udara.

Manusia yang menyedihkan akan membarikade kota itu, pasti. Menutup jembatan dan terowongan. Menutup lalu lintas udara dan kapal. Dan memang itulah yang ia inginkan. Mereka akan mengunci diri mereka sendiri dalam teror yang akan terjadi. Terkunci, sekarat karena wabah, Kyle dan ribuan kaki tangannya akan melancarkan sebuah perang vampir yang tidak menyerupai apa pun yang pernah dilihat ras manusia. Dalam hitungan hari, mereka akan menyingkirkan semua warga New York.

Dan kemudian kota itu akan menjadi milik mereka. Tidak hanya di bawah tanah, tapi di permukaan tanah. Ini akan menjadi permulaan, tanda panggilan untuk semua coven di semua kota, di semua negara, untuk berbuat demikian pula. Dalam beberapa minggu, Amerika akan menjadi milik mereka, jika bukan seluruh dunia. Dan Kyle akan menjadi seseorang yang memulai itu semua. Dia akan menjadi satu-satunya yang dikenang. Satu-satunya yang menempatkan ras vampir di permukaan tanah untuk selamanya.

Tentu saja, mereka akan senantiasa menemukan kegunaan untuk manusia yang tersisa. Mereka bisa memperbudak mereka yang selamat, mengurung mereka dalam fasilitas pembibitan yang sangat besar. Kyle akan menikmatinya. Dia akan memastikan untuk membuat mereka semua montok dan gemuk, dan kemudian, kapan pun rasnya ingin minum darah, mereka akan mempunyai berbagai macam pilihan yang tak kunjung habis. Semuanya sempurna. Ya, manusia akan menjadi budak yang baik. Dan menjadi makanan yang sangat lezat, jika dikembang-biakkan dengan benar.

Terbit air liur Kyle saat membayangkannya. Masa yang hebat berada di depannya. Dan tidak ada yang akan menghalangi langkahnya.

Tidak ada, yaitu, kecuali coven Putih sialan itu, yang bercokol di bawah Biara. Ya, mereka akan menjadi duri dalam daging. Tapi bukan duri yang besar. Setelah ia menemukan gadis yang mengerikan, Caitlin, dan sang pengkhianat yang membangkang itu, Caleb, mereka akan menuntun dia menuju pedang itu. Dan kemudian, coven Putih tidak akan berdaya. Tidak akan ada lagi yang tersisa untuk menghalangi jalannya.

Kyle terbakar dengan kemarahan saat dia memikirkan bocah perempuan bodoh itu, yang kabur dari genggamannya. Dia telah memperdayanya.

Ia berbelok ke Wall Street, dan seorang pejalan kaki, seorang pria besar, mendapatkan kemalangan karena berjalan di jalannya. Ketika mereka berpapasan, Kyle menabrakkan bahunya kepada pria itu sekeras mungkin. Pria itu terhuyung ke belakang beberapa kaki, menabrak sebuah dinding.

Pria itu, berpakaian dalam setelan yang bagus, berteriak, "Hei sobat, apa masalahmu!?"

Namun membalas dengan seringai, dan ekspresi pria itu berubah. Dengan tinggi sekitar enam kaki, bahu yang besar, dan sosok yang sangat besar, Kyle bukanlah seseorang yang bisa ditandingi. Pria itu, kendati ukuran tubuhnya besar, segera berbalik dan terus berjalan. Dia tahu yang lebih baik.

Menabrak pria itu membuat dia merasa sedikit lebih baik, namun kegusaran Kyle masih menyala. Dia akan menangkap gadis itu. Dan membunuhnya dengan perlahan.

Tapi sekarang bukanlah saatnya. Ia harus menjernihkan kepalanya. Ia mempunyai hal yang lebih penting untuk dilakukan. Muatan kapal itu. Dermaga.

Ya, dia menarik napas dalam-dalam, dan dengan perlahan tersenyum lagi. Muatan kapal itu hanya beberapa blok lagi.

Ini akan menjadi hari Natalnya.




LIMA


Sam bangun dengan sakit kepala yang luar biasa. Ia membuka satu mata, dan menyadari dia telah pingsan di lantai lumbung, di atas jerami. Dingin. Tidak seorang pun dari temannya mau bersusah payah menyalakan perapian pada malam sebelumnya. Mereka semua sudah terlampau teler.

Yang lebih buruk, ruangan itu masih berputar-putar. Sam mengangkat kepalanya, menarik sepotong jerami dari mulutnya, dan merasakan rasa sakit yang luar biasa di pelipisnya. Dia telah tertidur dalam posisi yang aneh, dan lehernya sakit saat ia memutarnya. Ia menggosok matanya, mencoba untuk menyingkirkan jaring laba-laba itu, tapi jaring itu tidak mau lepas begitu saja. Ia merasa terlalu berlebihan semalam. Ia ingat bong itu. Kemudian bir, lalu Southern Comfort, kemudian bir lagi. Muntah. Lalu beberapa ganja lagi, untuk meredakan semuanya. Lalu pingsan, kurang lebih pada malam hari. Kapan atau di mana, ia tidak benar-benar bisa ingat.

Ia lapar tapi mual pada saat yang sama. Ia merasa seperti ia bisa memakan setumpuk pancake dan selusin telur, namun ia juga merasa ia akan muntah pada saat ia makan. Sesungguhnya, ia merasa seperti akan muntah lagi sekarang.

Ia mencoba mengumpulkan semua peristiwa dari hari sebelumnya. Ia ingat Caitlin. Yang itu, ia tidak lupa. Itulah yang sangat mengacaukan pikirannya. Kemunculannya di sini. Dia menjatuhkan Jimbo seperti itu. Anjing itu. Apa-apaan? Apakah itu semua benar-benar terjadi?

Ia menoleh dan melihat lubang di sisi dinding, di mana anjing itu tadinya terlempar keluar. Ia merasakan udara dingin masuk, dan tahu bahwa peristiwa itu memang terjadi. Ia tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Dan siapakah pria yang bersama dengan Caitlin? Pria itu terlihat seperti gelandang NFl, tapi luar biasa pucat. Dia tampak seolah-olah baru saja keluar dari the Matrix. Sam bahkan tidak bisa menerka berapa usianya. Hal yang aneh adalah, Sam agak merasa seperti ia mengenalnya entah di mana.

Sam memandang berkeliling dan melihat semua temannya, pingsan dalam berbagai posisi, sebagian besar dari mereka mengorok. Ia meraih jam tangannya di lantai, melihat bahwa sekarang pukul 11 siang. Mereka masih akan tidur sebentar lagi.

Sam melintasi lumbung dan menyambar sebotol air. Ia baru saja akan minum, ketika ia menunduk dan melihat botol itu dipenuhi dengan puntung rokok. Dengan jijik, ia menaruhnya, dan mencari botol yang lain. Di sudut matanya, ia melihat setengah teko air di lantai. Ia meraihnya dan minum, dan tidak berhenti minum sampai menghabiskan hampir setengahnya.

Itu terasa lebih baik. Kerongkongannya terasa begitu kering. Ia menarik napas dalam-dalam, dan meletakkan satu tangan di pelipisnya. Ruangan itu masih berputar-putar. Bau sekali di sini. Ia harus keluar.

Sam melintasi ruangan itu dan mendorong pintu lumbung supaya terbuka. Udara pagi yang dingin terasa enak. Syukurlah, hari ini mendung. Meski masih nampak terang sekali, dan ia menyipitkan mata. Namun hampir tidak seburuk seperti biasanya. Dan salju masih turun lagi. Bagus. Salju lagi.

Sam selalu menyukai salju. Khususnya di hari-hari bersalju, ketika ia bisa tinggal di rumah dan tidak masuk sekolah. Ia ingat pergi bersama Caitlin ke atas bukit dan naik kereta luncur setengah hari itu.

Tapi sekarang dia lebih sering membolos sekolah, jadi itu tidak benar-benar terasa perbedaannya. Sekarang, sekolah hanyalah hal yang memuakkan.

Sam merogoh sakunya dan mengeluarkan sekotak rokok yang penyok. Ia meletakkan sebatang rokok di bibirnya dan menyalakannya.

Ia tahu ia tidak seharusnya merokok. Tapi semua teman-temannya merokok, dan mereka terus mendorongnya kepadanya. Pada akhirnya, dia berkata kenapa tidak? Jadi ia mulai merokok beberapa minggu yang lalu. Sekarang, dia agak menyukainya. Ia batuk lebih banyak lagi, dan dadanya sudah menyakitinya, namun dia bertanya-tanya, apa-apaan? Ia tahu itu akan membunuhnya. Namun ia tidak benar-benar melihat dirinya hidup sepanjang itu. Dia tidak akan berumur panjang. Entah di mana, di lubuk hatinya, dia tidak pernah benar-benar percaya ia akan mencapai umur 20 tahun.

Sekarang karena kepalanya mulai jernih, ia memikirkan tentang perihal kemarin lagi. Caitlin. Ia merasa bersalah tentang itu. Sangat bersalah. Ia menyayanginya. Ia sangat menyayanginya. Ia telah datang jauh-jauh ke sini untuk bertemu dengannya. Mengapa ia bertanya kepadanya tentang Ayah? Apakah ia hanya berkhayal?

Ia tidak percaya bahwa dia juga ada di sana. Ia bertanya-tanya apakah ibu mereka panik karena dia pergi. Dia pasti panik. Ia bertaruh ibu mereka panik saat ini. Mungkin mencoba mencari mereka. Tapi, mungkin ibu tidak panik. Siapa yang peduli? Ibu sudah terlalu sering berpindah-pindah.

Tapi Caitlin. Itu adalah hal berbeda. Ia tidak seharusnya memperlakukannya seperti itu. Ia seharusnya bertingkah lebih baik. Ia hanya terlampau teler pada saat itu. Tetap saja, ia merasa bersalah. Ia mengira ada sebagian dari diriya yang menginginkan semuanya kembali normal, apa pun itu. Dan dia adalah hal yang paling dekat yang ia miliki supaya menjadi normal.

Mengapa dia kembali? Apakah dia pindah kembali ke Oakville? Kalau iya, keren sekali. Mungkin mereka bisa menemukan tempat untuk ditinggali bersama-sama. Yah, semakin Sam memikirkannya, semakin ia menyukai gagasan itu. Ia ingin berbicara kepadanya.

Sam menyeka ponselnya dan melihat lampu merah berkedip. Ia menekan ikon itu dan melihat bahwa ia mempunyai satu pesan baru di Facebook. Dari Caitlin. Dia ada di lumbung tua.

Sempurna. Itulah ke mana ia akan pergi.

*

Sam memarkir kendaraan, dan berjalan melintasi properti itu, menuju ke lumbung tua. "Lumbung tua" sebutan bagi mereka. Mereka berdua tahu apa itu maksudnya. Itu adalah tempat di mana mereka selalu pergi ketika mereka tinggal di Oakville. Lumbung itu ada di belakang sebuah properti dengan sebuah rumah kosong yang sudah dijual selama bertahun-tahun. Rumah itu hanya berdiri di sana, kosong, terlalu berlebihan. Tidak seorang pun mau datang untuk melihatnya, sejauh yang mereka ketahui.

Dan di bagian belakang rumah itu, di jalan belakang, ada lumbung yang sangat keren ini, lumbung itu hanya berdiri di sana, kosong melompong. Sam telah menemukan lumbung itu pada suatu hari, dan menunjukkannya kepada Caitlin. Tidak seorang pun dari mereka yang melihat ada bahaya untuk nongkrong di dalamnya. Mereka berdua membenci trailer kecil mereka, terperangkap di sana dengan ibu mereka. Pada suatu melam mereka tetap terjaga sampai malam di dalam lumbung itu, mengobrol, membakar marshmallow di perapiannya yang sangat keren, dan mereka berdua tertidur. Setelah itu, mereka pergi ke sana lagi dan lagi, khususnya ketika semuanya menjadi terlalu kacau di rumah. Setidaknya, mereka menggunakannya. Setelah beberapa bulan, mereka mulai merasa seolah-olah itu adalah tempat mereka.

Sam berjalan melintasi rumah itu, melompat dalam langkahnya, saat ia berharap untuk berjumpa Caitlin. Kepalanya benar-benar jernih sekarang, khususnya setelah kopi Dunkin' Donuts besar yang ia teguk di mobil dalam perjalanan. Ia tahu, pada usia 15 tahun, ia tidak seharusnya menyetir. Namun ia masih beberapa tahun lamanya untuk mendapatkan SIMnya, dan ia tidak ingin menunggu. Ia belum pernah menabrak. Dan ia tahu cara menyetir. Jadi kenapa harus menunggu? Teman-temannya mengizinkannya untuk meminjam kendaraan pengangkut mereka, dan kendaraan itu sudah cukup baginya.

Setelah Sam mendekati lumbung, ia tiba-tiba bertanya-tanya apakah pria besar itu akan ada bersamanya. Ada sesuatu tentang pria itu... ia tidak bisa benar-benar mengingatnya. Ia tidak bisa menerka apa yang dia lakukan dengan Caitlin. Apakah mereka pacaran? Caitlin biasanya selalu memberitahu dirinya segalanya. Bagaimana bisa ia tidak pernah mendengar apa-apa tentang dia sebelumnya?

Dan mengapa Caitlin tiba-tiba bertanya tentang Ayah? Sam jengkel kepada dirinya sendiri, karena sesungguhnya ada kabar yang ingin sampaikan kepadanya. Tentang hari sebelumnya. Ia akhirnya mendapatkan sebuah jawaban di salah satu permintaan Facebooknya. Itu adalah Ayah mereka. Itu benar-benar dia. Dia berkata dia merindukan mereka, dan ingin bertemu mereka. Akhirnya. Setelah bertahun-tahun lamanya. Sam sudah membalasnya. Mereka mulai berbicara lagi. Dan Ayah ingin menemuinya. Bertemu mereka berdua. Mengapa Sam belum memberitahunya? Yah, setidaknya ia bisa mengatakan kepada dirinya sekarang.





Конец ознакомительного фрагмента. Получить полную версию книги.


Текст предоставлен ООО «ЛитРес».

Прочитайте эту книгу целиком, купив полную легальную версию (https://www.litres.ru/pages/biblio_book/?art=43691863) на ЛитРес.

Безопасно оплатить книгу можно банковской картой Visa, MasterCard, Maestro, со счета мобильного телефона, с платежного терминала, в салоне МТС или Связной, через PayPal, WebMoney, Яндекс.Деньги, QIWI Кошелек, бонусными картами или другим удобным Вам способом.



Caitlin dan Caleb memulai bersama-sama pencarian mereka untuk menemukan satu benda yang dapat menghentikan segera terjadi perang vampir dan manusia: pedang yang hilang. Sebuah benda dongeng vampir, ada keraguan serius atas apakah itu bahkan ada. Jika ada harapan untuk menemukan itu, mereka pertama kali harus melacak nenek moyang Caitlin. Apakah ia benar-benar Yang Terpilih? Penelusuran mereka dimulai dengan mencari ayah Caitlin. Siapakah dia? Mengapa dia mengabaikan dirinya? Ketika pencarian diperluas, mereka terkejut dengan apa yang mereka temukan tentang siapa ia sebenarnya. Tapi mereka bukan satu-satunya mencari yang pedang legendaris. Coven Blacktide menginginkannya, juga, dan mereka mengikuti Caitlin dan Caleb. Lebih buruk lagi, adik Caitlin, Sam, tetap terobsesi untuk menemukan ayahnya. Tapi Sam segera menemukan dirinya dengan cara di atas kepalanya, memukul di bagian tengah perang vampir. Apakah dia membahayakan pencarian mereka? Perjalanan Caitlin dan Caleb membawa mereka pada lokasi angin puyuh bersejarah Hudson Valley, ke Salem, ke jantung bersejarah Boston – persis di tempat penyihir yang pernah tergantung di bukit Boston Common. Mengapa lokasi ini sangat penting bagi ras vampir? Dan apa yang harus mereka lakukan dengan keturunan Caitlin, dan dengan siapa ia akan menjadi? Tapi mereka mungkin tidak berhasil. Cinta Caitlin dan Caleb satu sama lain semakin berkembang. Dan kisah cinta terlarang mereka mungkin hanya menghancurkan segala sesuatu yang telah mereka tetetapkan untuk dicapai… Buku #3–#11 dalam BUKU HARIAN VAMPIR sekarang juga tersedia! CINTA, buku kedua serial Buku Harian Vampir, sama hebatnya dengan buku pertama, PENJELMAAN, dan dikemas dengan baik dengan aksi, romansa, perualangan, dan ketegangan. Buku ini adalah tambahan yang cantik pada serial ini dan akan membuat Anda menunggu lebih banyak lagi dari Morgan Rice. Jika Anda menyukai buku pertama, dapatkan tangan Anda pada yang satu ini dan jatuh cinta lagi dan lagi. Buku ini dapat dibaca sebagai sekuel, tapi Rice menulisnya dalam sebuah cara yang tidak Anda ketahui di buku pertama untuk membaca menakjubkan ini. Vampirebooksite. com Serial BUKU HARIAN VAMPIR memiliki alur yang hebat, dan CINTA khususnya adalah buku yang akan sulit Anda tinggalkan di malam hari. Akhirnya sangat menegangkan yang sangat spektauler sehingga Anda akan segera menginginkan buku selanjutnya, lihatlah apa yang terjadi. Seperti yang Anda lihat, buku ini adalah sebuah langkah besar dalam serial ini dan menerima nilai A penuh. -The Dallas ExaminerDalam CINTA, Morgan Rice membuktikan dirinya lagi untuk menjadi penulis kisah yang sangat bertalenta. Menarik dan menyenangkan, saya menemukan diri saya jauh lebih menikmati buku ini daripada yang pertama dan saya sangat menantikan yang berikutnya. The Romance Reviews

Как скачать книгу - "Cinta" в fb2, ePub, txt и других форматах?

  1. Нажмите на кнопку "полная версия" справа от обложки книги на версии сайта для ПК или под обложкой на мобюильной версии сайта
    Полная версия книги
  2. Купите книгу на литресе по кнопке со скриншота
    Пример кнопки для покупки книги
    Если книга "Cinta" доступна в бесплатно то будет вот такая кнопка
    Пример кнопки, если книга бесплатная
  3. Выполните вход в личный кабинет на сайте ЛитРес с вашим логином и паролем.
  4. В правом верхнем углу сайта нажмите «Мои книги» и перейдите в подраздел «Мои».
  5. Нажмите на обложку книги -"Cinta", чтобы скачать книгу для телефона или на ПК.
    Аудиокнига - «Cinta»
  6. В разделе «Скачать в виде файла» нажмите на нужный вам формат файла:

    Для чтения на телефоне подойдут следующие форматы (при клике на формат вы можете сразу скачать бесплатно фрагмент книги "Cinta" для ознакомления):

    • FB2 - Для телефонов, планшетов на Android, электронных книг (кроме Kindle) и других программ
    • EPUB - подходит для устройств на ios (iPhone, iPad, Mac) и большинства приложений для чтения

    Для чтения на компьютере подходят форматы:

    • TXT - можно открыть на любом компьютере в текстовом редакторе
    • RTF - также можно открыть на любом ПК
    • A4 PDF - открывается в программе Adobe Reader

    Другие форматы:

    • MOBI - подходит для электронных книг Kindle и Android-приложений
    • IOS.EPUB - идеально подойдет для iPhone и iPad
    • A6 PDF - оптимизирован и подойдет для смартфонов
    • FB3 - более развитый формат FB2

  7. Сохраните файл на свой компьютер или телефоне.

Видео по теме - Marsha Milan - Cinta (OST Masih Ada Rindu)

Книги серии

Книги автора

Аудиокниги автора

Рекомендуем

Последние отзывы
Оставьте отзыв к любой книге и его увидят десятки тысяч людей!
  • константин александрович обрезанов:
    3★
    21.08.2023
  • константин александрович обрезанов:
    3.1★
    11.08.2023
  • Добавить комментарий

    Ваш e-mail не будет опубликован. Обязательные поля помечены *