Книга - Pekik Kemuliaan

a
A

Pekik Kemuliaan
Morgan Rice


Cincin Bertuah #4
CINCIN BERTUAH mempunyai semua resep kesuksesan: plot, plot titik balik, misteri, para ksatria pemberani dan hubungan antar tokoh yang diwarnai patah hati, tipu muslihat dan pengkhianatan. Anda akan terhibur selama berjam-jam, dan sesuai untuk semua usia. Direkomendasikan sebagai koleksi pustaka semua pecinta kisah fantasi. Books and Movie Reviews, Roberto Mattos Dalam PEKIK KEMUALIAAN (Buku #4 dalam Cincin Bertuah), Thor telah kembali dari Misi Seratus Hari sebagai prajurit yang tangguh, dan sekarang ia harus mempelajari apa maknanya untuk bertempur bagi tanah airnya, untuk bertempur antara hidup dan mati. Para McCloud telah menyerbu jauh ke dalam wilayah MacGil – lebih dalam ketimbang sebelumnya dalam sejarah Kerajaan Cincin – dan saat Thor berkuda untuk sebuah penyergapan, akan menjadi keputusannya untuk menyerang dan menyelamatkan Istana Raja. Godfrey telah diracun oleh kakaknya menggunakan racun yang sangat langka dan ampuh, dan nasibnya terletak di tangan Gwendolyn, sebagaimana dia melakukan apapun yang dia bisa untuk menyelamatkan kakaknya dari kematian. Gareth telah terjatuh lebih dalam menjadi keadaan paranoid dan tidak puas, merekrut sendiri suku biadab sebagai pasukan pribadi dan memberi mereka Aula Perak – mengusir Kesatuan Perak dan menyebabkan perselisihan dalam Istana Raja yang terancam meledak menjadi sebuah perang saudara. Ia juga merencanakan untuk membuat Nevaruns yang ganas agar membawa Gwendolyn, menjualnya dalam pernikahan tanpa persetujuannya. Persahabatan Thor semakin erat, saat mereka melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru, menghadapi monster-monster tak terduga dan bertempur berdampingan dalam pertempuran yang tidak terbayangkan. Perjalanan Thor menuju kampong halamannya dan, dalam konfrontasi epik dengan ayahnya, ia mempelajari rahasia besar dari masa lalunya, siapakah dia, siapakah ibunya – dan tentang takdirnya. Dengan pelatihan paling canggih yang pernah ia terima dari Argon, ia mulai membuka kekuatan yang tidak ia tahu bahwa ia memilikinya, menjadi lebih kuat tiap harinya. Sebagaimana hubungannya dengan Gwen semakin dalam, ia kembali ke Istana Raja dengan harapan untuk melamarnya – namun mungkin itu sudah terlalu terlambat. Andronicus, dipersenjatai oleh seorang informan, memimpin sejuta pasukan Kekaisarannya untuk sekali lagi berusaha menerobos Ngarai dan menghancurkan Kerajaan Cincin. Dan saat hal-hal nampak seperti akan bertambah lebih buruk lagi di Istana Raja, kisah ini berakhir dengan lika-liku yang mengejutkan. Akankah Godfrey selamat? Akankah Garetj terusir? Akankah Istana Raja terbelah menjadi dua? Akankah Kekaisaran menyerang? Akankah Gwendolyn berakhir bersama Thor? Dan akankah Thor akhirnya mempelajari rahasia takdirnya? Dengan susunan dan karakterisasi kelas dunia yang rumit, PEKIK KEMULUAAN adalah sebuah kisah epik tentang sahabat dan kekasih, tentang pesaing dan peminang, tentang ksatria dan naga, tentang intrik dan mekanisme politik, tentang abad yang akan datang, tentang patah hati, tentang muslihat, ambisi dan pengkhianatan. Ini adalah sebuah kisah tentang kemuliaan dan keberanian, tentang nasib dan takdir, tentang sihir. Ini adalah sebuah fantasi yang membawa kita menuju sebuah dunia yang tidak akan pernah kita lupakan, dan akan menarik bagi semua usia dan jenis kelamin. Berisi 85. 000 kata. Masalah yang dikemas dengan aksi, roman, petualangan, dan ketegangan. Miliki buku ini dan jatuh cintalah lagi. vampirebooksite. com (berdasarkan Penjelmaan)







PEKIK KEMULIAAN



(BUKU #4 DALAM CINCIN BERTUAH)



Morgan Rice


Tentang Morgan Rice



Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dan penulis terlaris USA Today dari serial fantasi epik CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tujuh belas buku; serial terlaris #1 HARIAN VAMPIR, yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); serial terlaris #1 THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN), sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan serial fantasi epik KINGS AND SORCERERS (PARA RAJA DAN PENYIHIR), yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah). Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, serta terjemahan yang tersedia dalam lebih dari 25 bahasa.

Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu untuk mengunjungi www.morganricebooks.com untuk bergabung di daftar surel, menerima buku gratis, menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis, mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke Facebook dan Twitter, dan tetap terhubung!


Pujian Pilihan untuk Morgan Rice



“Jika Anda merasa bahwa tidak ada lagi alasan tersisa untuk kehidupan setelah bagian akhir daro serial CINCN BERTUAH, Anda salah. Dalam RISE OF THE DRAGONS (KEBANGKITAN PARA NAGA), Morgan Rice muncul kembali dengan janji untuk membuat serial brilian lain, menenggelamkan kita dalam sebuah kisah fantasi dari para troll dan naga, tentang keberanian, kemuliaan, keteguhan hati, sihir, dan keyakinan dalam takdir. Morgan lagi-lagi berhasil membuat sekumpulan karakter kuat yang membuat kita bersorak untuk mereka di setiap halaman....Direkomendasikan untuk koleksi pustaka bagi semua pembaca yang menyukai kisah fantasi yang ditulis dengan baik.”

--Books and Movie Reviews

Roberto Mattos



“RISE OF THE DRAGONS (KEBANGKITAN PARA NAGA) sukses – sejak awal.... Sebuah kisah fantasi luar biasa.... Dimulai, sebagaimana mestinya, dengan perjuangan seorang protagonis dan bergerak rapi menuju lingkaran yang lebih luas yang terdiri dari para ksatria, naga, sihir, dan monster, serta takdir... Semua ornamen fantasi tingkat tinggi ada di sini, mulai dari prajurit dan pertempuran hingga konfrontasi dengan diri sendiri....Sebuah jawara yang direkomendasikan bagi siapa saja yang menyukai tulisan fantasi epik yang ditulis dengan baik dan dilengkapi oleh tokoh protagonis muda yang kuat dan terpercaya.”

--Midwest Book Review

D. Donovan, eBook Reviewer



“[RISE OF THE DRAGONS/KEBANGKITAN PARA NAGA] adalah novel yang digerakkan oleh plot, mudah dibaca di akhir pekan...Suatu awal yang bagus untuk serial yang menjanjikan.”

--San Francisco Book Review



“Aksi yang dikemas fantasi tentu akan menyenangkan para penggemar novel-novel Morgan Rice yang sebelumnya, beserta dengan karya penggemar seperti THE INHERITANCE CYCLE oleh Christopher Paolini…. Para Penggemar Fiksi Remaja akan mengganyang karya terbaru dari Rice ini dan meminta lebih banyak lagi.”

--The Wanderer, A Literary Journal (berdasarkan Rise of the Dragons/Kebangkitan Para Naga)



“Sebuah fantasi penuh semangat yang membelokkan unsur-unsur misteri dan intrik menjadi sebuah alur cerita. Perjuangan Para Pahlawan intinya adalah tentang membangkitkan keberanian dan tentang menyadari sebuah tujuan kehidupan yang mengarah pada pertumbuhan, kedewasaan, dan kesempurnaan...Bagi mereka yang mencari petualangan fantasi, tokoh-tokoh protagonis, peranti, dan aksi penuh makna yang memberikan serangkaian pertempuran hebat yang akan berfokus pada evolusi Thor mulai dari bocah pemimpi menjadi seorang remaja yang menghadapi peristiwa-peristiwa ganjil yang mustahil bisa bertahan hidup...Ini hanyalah awal dari janji untuk menjadi serial epik untuk remaja.”

--Midwest Book Review (D. Donovan, eBook Reviewer)



“CINCIN BERTUAH mempunyai semua resep kesuksesan: plot, plot titik balik, misteri, para ksatria pemberani dan hubungan antar tokoh yang diwarnai patah hati, tipu muslihat dan pengkhianatan. Anda akan terus terhibur selama berjam-jam, dan sesuai untuk semua usia. Direkomendasikan sebagai koleksi pustaka semua pecinta kisah.”

--Books and Movie Reviews, Roberto Mattos



“Fantasi epik menghibur dari Rice [CINCIN BERTUAH] meliputi ciri-ciri klasik dari genre itu—nuansa kuat yang sangat terinspirasi oleh Skotlandia kuno dan sejarahnya, dan sensasi intrik istina yang bagus.”

—Kirkus Reviews



“Saya menyukai bagaimana Morgan Rice membentuk karakter Thor dan dunia tempat tinggalnya. Lanskap dan makhluk-makhluk yang berkeliaran di sana digambarkan dengan sangat baik...Saya menikmati [plot]-nya. Plotnya pendek dan segar...Hanya ada karakter minor dengan jumlah yang tepat, jadi saya tidak kebingungan. Ada momen-momen petualangan dan mengerikan, namun aksi yang digambarkan tidak terlalu aneh. Buku ini akan sempurna bagi pembaca remaja...Awal dari sesuatu yang luar biasa ada di sana…”

--San Francisco Book Review



“Pada buku pertama yang dikemas aksi ini dalam serial fantasi epik Cincin Bertuah (yang saat ini terdiri dari 14 buku), Rice memperkenalkan kepada para pembaca, Thorgrin “Thor” McLeod yang berusia 14 tahun, yang bercita-cita untuk bergabung dengan Kesatuan Perak, ksatria elit yang mengabdi kepada raja...Tulisan Rice ini solid dan premisnya menggelitik.”

--Publishers Weekly



“[PETUALANGAN PARA PAHLAWAN] ringkas dan mudah dibaca. Bagian akhir babnya dibuat sehingga Anda harus membaca apa yang akan terjadi selanjutnya dan Anda tidak ingin meletakkannya. Ada beberapa kesalahan ketik pada buku itu dan beberapa nama kacau, namun itu tidak mengganggu keselutuhan kisah. Akhir dari buku ini membuat saya ingin mendapatkan buku selanjutnya segera dan itulah yang saya lakukan. Kesembilan buku dari serial Cincin Bertuah saat ini bisa dibeli di toko Kindle dan Perjuangan Para Pahlawan saat ini gratis sebagaii permulaan untuk Anda! Jika Anda mencari bacaan yang beralur cepat dan menyenangkan untuk dibaca saat sedang liburan, buku ini akan memberikannya dengan baik.”

--FantasyOnline.net


Buku-buku oleh Morgan Rice



RAJA DAN PENYIHIR

KEBANGKITAN PARA NAGA (Buku #1)

KEBANGKITAN SANG PEMBERANI (Buku #2)



CINCIN BERTUAH

PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

TAKDIR NAGA (Buku #3)

PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

RITUAL PEDANG (Buku #7)

SENJATA PUSAKA (Buku #8)

LANGIT MANTRA (Buku #9)

LAUTAN PERISAI (Buku #10)

TANGAN BESI (Buku #11)

DARATAN API (Buku #12)

SANG RATU (Buku #13)

SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)

IMPIAN FANA (Buku #15)

PERTANDINGAN PARA KSATRIA (Buku #16)

HADIAH PERTEMPURAN (Buku #17)



TRILOGI KESINTASAN

ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA DUA (Buku #2)



HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

CINTA (Buku #2)

KHIANAT (Buku #3)

TAKDIR (Buku #4)

DIDAMBAKAN (Buku #5)

TUNANGAN (Buku #6)

SUMPAH (Buku #7)

DITEMUKAN (Buku #8)

BANGKIT (Buku #9)

RINDU (Buku #10)

NASIB (Buku #11)








Mau buku gratis?



Berlangganan daftar surel Morgan Rice dan terimalah 4 buku gratis, 2 peta gratis, 1 aplikasi gratis, dan hadiah eksklusif! Untuk berlangganan, kunjungi: www.morganricebooks.com







Dengarkan serial CINCIN BERTUAH dalam format buku audio!


Hak Cipta © 2013 olah Morgan Rice

Semua hak dilindungi undang-undang. Kecuali diizinkan di bawah U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa direproduksi, didistribusikan atau dipindahtangankan dalam bentuk apapun atau dengan maksud apapun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.

eBuku ini terlisensi untuk hiburan personal Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silahkan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silahkan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.

Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.

Hak cipta gambar sampul oleh RazoomGame, digunakan di bawah lisensi dari Shutterstock.com.


DAFTAR ISI



BAB SATU (#u847d201b-ebb7-5fef-91ba-39fb23434257)

BAB DUA (#u9b4db384-4eac-581b-ae3a-cbd066ff3363)

BAB TIGA (#uf291ed32-9e49-54b3-9413-9ac1e151ef84)

BAB EMPAT (#ude28e830-8876-5618-a5e2-0ba44d26637e)

BAB LIMA (#u3ca4491f-a5c2-5b7b-9a6b-d905b401d603)

BAB ENAM (#u63981a52-ed10-5795-a744-155f0d21e07e)

BAB TUJUH (#u02d2a93f-c38d-580e-82a2-2adc394dc6b1)

BAB DELAPAN (#u5d3d3205-0ba3-5f06-83ce-77653f554bba)

BAB SEMBILAN (#ub216327c-295e-53ff-b3c5-785eccf1569f)

BAB SEPULUH (#u0093b7e8-7f04-5ea9-96b2-4b1ff29e4563)

BAB SEBELAS (#ua5f51fdb-4f7b-575f-bb91-c4f5035426ed)

BAB DUA BELAS (#uba5ca5f7-fd23-57b8-a500-d89215647a8b)

BAB TIGA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB EMPAT BELAS (#litres_trial_promo)

BAB LIMA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB ENAM BELAS (#litres_trial_promo)

BAB TUJUH BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DELAPAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB SEMBILAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH SATU (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DUA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TIGA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH EMPAT (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH LIMA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH ENAM (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TUJUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DELAPAN (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH SEMBILAN (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH SATU (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH DUA (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH TIGA (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH EMPAT (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH LIMA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH ENAM (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH TUJUH (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH DELAPAN (#litres_trial_promo)

BAB TIGA PULUH SEMBILAN (#litres_trial_promo)


“Janganlah takut pada orang-orang hebat:

beberapa sudah hebat sejak lahir,

beberapa mendapatkannya dengan perjuangan,

dan beberapa memiliki dorongan untuk menjadi hebat di dalam dirinya.”



—William Shakespeare

Malam ke-12




BAB SATU


Luanda bergegas menyeberangi medan pertempuran, menghindari kuda yang meringkik ketika ia hampir mencapai rumah kecil tempat di mana Raja Mc Cloud tinggal. Ia mencengkeram pasak besi dingin di tangannya, gemetar, saat ia menyeberangi halaman berdebu kota yang pernah dikenalnya, kota milik rakyatnya. Ia telah dipaksa selama berbulan-bulan untuk menyaksikan mereka dibantai – dan ia merasa muak. Ada sesuatu menghujam dalam dirinya. Ia tak peduli seandainya ia harus melawan seluruh prajurit McCloud- ia akan melakukan apapun untuk menghentikan pembantaian itu.

Luanda tahu bahwa apa yang akan dilakukannya adalah sesuatu hal yang gila, bahwa ia sedang mempertaruhkan nyawanya dan bahwa McCloud pasti akan membunuhnya. Namun ia menyingkirkan segala pemikiran itu seketika ia berlari. Waktunya telah tiba untuk melakukan sesuatu yang benar- apapun risikonya.

Di seberang medan pertempuran yang riuh, di tengah-tengah para prajurit, ia melihat McCloud di kejauhan, menyeret seorang gadis malang yang menjerit ke sebuah rumah bobrok-rumah kecil beratap jerami. Ia membanting pintu di belakangnya, membuat debu beterbangan.

“Luanda!” teriak sebuah suara.

Ia berbalik dan melihat Bronson, sekitar beberapa ratus yard di belakangnya, mengejarnya. Langkahnya terganggu oleh barisan kuda dan prajurit, memaksanya berhenti beberapa kali.

Sekaranglah kesempatannya. Jika Bronson berhasil mendekatinya, ia akan mencegahnya melakukan hal itu.

Luanda mempercepat langkahnya, terus menggenggam pasak dan mencoba untuk tak berpikir betapa gilanya hal yang akan ia lakukan, betapa tipisnya kesempatannya. Jika seluruh prajurit tak bisa menghalangi McCloud, jika para jendralnya, anaknya sendiri takluk kepadanya, adakah kesempatan baginya melakukan hal itu seorang diri?

Terlebih lagi, Luanda tak pernah membunuh seorang pun sebelumnya, apalagi pria dengan perawakan tinggi seperti McCloud. Apakah ia akan terpaku ketika saatnya tiba? Dapatkah ia mengendap-endap ke arahnya? Apakah benar ia seseorang yang tak dapat dikalahkan, sebagaimana dikatakan Bronson?

Ia merasa miris dengan tumpahnya darah para prajurit, pada kekacauan di negerinya. Ia menyesal telah menikah dengan seorang McCloud, meski ia mencintai Bronson. Sepanjang pengetahuannya, orang-orang McCloud adalah kaum yang ganas, tanpa belas kasihan. Orang-orang McGil beruntung karena Pegunungan memisahkan mereka, Luanda menyadarinya sekarang, dan mereka tinggal di tempat mereka di sisi lain Cincin. Ia telah naïf, telah sangat bodoh berasumsi bahwa McCloud tak seburuk apa yang pernah dikatakan kepadanya. Ia pikir ia bisa mengubah mereka, bahwa dengan berkesempatan menjadi seorang putri McCloud-dan ratu suatu hari nanti-bagaimanapun juga akan setimpal, apapun risikonya.

Tapi sekarang ia tahu bahwa ia salah. Ia akan menyerahkan segalanya-menyerahkan gelarnya, kekayaannya, kegemilangannya, semuanya-untuk tak pernah bertemu lagi dengan orang-orang McCloud, untuk pulang dengan selamat pada keluarganya di sisi lain Cincin. Ia marah pada ayahnya karena telah mengatur pernikahan ini, ia masih muda dan naïf, tapi seharusnya ayahnya tahu lebih banyak. Apakah politik sangat penting baginya hingga musti mengorbankan putrinya? Ia juga marah kepadanya karena ayahnya telah meninggal, meninggalkannya sendirian dengan semua ini.

Luanda telah belajar banyak beberapa bulan belakangan ini untuk hanya bergantung pada dirinya sendiri. Dan sekarang adalah kesempatannya untuk meluruskan banyak hal.

Tubuhnya gemetar begitu ia sampaidi rumah jerami kecil, yang gelap, berpintu kayu oak dan pintu tertutup. Ia berbalik dan menoleh ke kanan-kiri, berjaga-jaga jika ada anak buah McCloud yang datang menghalanginya. Namun ia lega karena mereka semua terlalu sibuk dengan malapetaka yang mereka buat sendiri.

Ia menggapai dengan pasak di satu tangan dan meraih gagang pintu, memutarnya perlahan sebisanya, berdoa semoga kehadirannya tak diketahui McCloud.

Luanda melangkah masuk. Ruangan itu gelap dan matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan dari sinar matahari yang terang kota putih. Udara di sini dingin, ia melangkah melewati ambang pintu rumah kecil itu. Hal pertama yang didengarnya adalah jeritan dan tangisan si gadis. Saat matanya telah terbiasa ia melihat ke dalam rumah dan di sana ada McCloud, tanpa busana dari pinggang ke bawah. Ia ada di lantai, gadis itu telanjang, meronta-ronta di bawahnya. Gadis itu menangis dan menjerit, matanya terbelalak, sementara McCloud mencengkeram dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya yang gemuk.

Luanda sulit percaya bahwa semua itu nyata, bahwa ia akan mengakhiri semua ini. Ia melangkah maju dengan ragu, tangannya gemetaran, lututnya terasa lemah dan ia berdoa agar memiliki kekuatan untuk melaluinya. Ia menggenggam pasak seolah-olah itulah takdirnya.

Tuhan, tolong biarkan aku membunuh pria ini.

Ia mendengar McCloud menggeram seperti binatang buas, karena telah terpuaskan. Ia kejam. Jeritan si gadis seakan malah memperkuat setiap gerakannya.

Luanda melangkah lagi, dan lagi, dan begitu dekat. Ia melihat McCloud di bawah, menatap tubuhnya, mencoba memutuskan tempat terbaik untuk menyerang. Untungnya ia telah melepaskan baju zirahnya dan hanya memakai selembar pakaian tipis yang basah oleh keringat. Luanda dapat mencium baunya dan ia takut. Melepaskan senjatanya adalah langkah ceroboh bagi McCloud dan itu, bagi Luanda, adalah kesalahan terakhirnya. Luanda akan mengangkat pasak tinggi-tinggi dengan kedua tangannya dan menusukkannya ke punggung McCloud.

Ketika geraman McCloud mencapai puncaknya, Luanda mengangkat pasaknya tinggi-tinggi. Ia berpikir tentang bagaimana hidupnya akan berubah sesudah ini, bahwa dalam beberapa detik semuanya tak akan sama lagi. Kerajaan McCloud akan terbebas dari raja tiran ini; rakyatnya akan terhindar dari kehancuran. Suaminya akan dinobatkan dan menggantikan posisinya, dan akhirnya, semua akan menjadi baik.

Luanda terpaku di sana, membeku karena takut. Ia menggigil. Jika ia tak bertindak sekarang, kapan lagi.

Ia menahan nafasnya, mengambil satu langkah terakhir, menggenggam pasak dengan kedua tangannya dan meluncur turun ke bawah, berusaha menusukkan pasak ke bawah dengan segala kekuatannya, bersiap-siap mengarahkannya ke punggung pria itu.

Namun terjadi sesuatu yang tak diharapkannya, dan semuanya terjadi begitu samar, terlalu cepat baginya untuk bertindak: pada detik terakhir McCloud berguling ke samping. Bagi seorang pria tambun, ia terlalu cepat daripada perkiraan Luanda. Ia menghindar, meninggalkan gadis di bawahnya. Luanda terlambat menghentikannya.

Pasak besi itu meluncur turun, dan Luanda yang dicekam ketakutan menusukkannya ke dada gadis itu.

Gadis itu terduduk, memekik dan dan Luanda merasa bersalah ketika pasaknya menusuk daging gadis itu dalam-dalam, sampai ke jantungnya. Darah mengalir dari mulutnya dan ia melihat ke arah Luanda, ketakutan, terkhianati.

Akhirnya ia terhempas, tewas.

Luanda jatuh berlutut di sana, merasa trauma, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Sebelum ia bisa melakukannya, sebelum ia menyadari bahwa McCloud selamat, ia merasakan sisi wajahnya seperti tersengat, dan ia merasa dirinya hancur lebur.

Ketika dunianya menjadi gelap, ia tak sadar bahwa McCloud telah memukulnya, sebuah ledakan kuat yang melontarkannya. McCloud telah mengetahui setiap langkahnya sejak ia masuk ke ruangan. Ia sengaja membiarkannya. Ia menunggu saatnya, ia menunggu saat yang tepat untuk tak hanya menghindar dari serangan Luanda. Tapi juga untuk mengelabuinya hingga membunuh gadis malang itu pada saat yang sama, untuk meletakkan rasa bersalah itu di kepalanya.

Sebelum dunianya menjadi gelap, Luanda menangkap seberkas wajah McCloud. Ia menyeringai ke arahnya dengan mulut terbuka, nafas memburu seperti binatang. Hal terakhir yang ia dengar, sebelum botnya terangkat dan mengenai wajahnya, adalah suaranya yang kejam, terlontar seperti hewan:

“Kau telah membantuku,” katanya. “Lagipula aku sudah selesai dengan gadis itu.”




BAB DUA


Gwendolyn berlari kalut di tepi jalan di tempat terburuk Istana Raja, air mata mengalir di pipinya ketika ia berlari meninggalkan kastil, mencoba berlari sejauh mungkin dari Gareth sebisanya. Hatinya masih membara karena pertengkaran mereka, karena melihat Firth tergantung, karena ia mendengar ancaman Gareth. Ia dengan putus asa mencoba mencari kebenaran dari kebohongannya. Tapi dalam pikiran Gareth yang tak wraas, kebenaran dan kebohongan bercampur baur, dan sulit memahami mana yang benar. Apakah ia mencoba menakutinya? Atau apakah ia mengatakan yang sejujurnya?

Gwendolyn telah melihat tubuh Firth yang terjuntai dengan mata kepalanya sendiri, dan itu mengatakan padanya bahwa mungkin saat ini semua yang dikatakan Gareth memang benar. Mungkin Godfrey memang telah diracun; mungkin ia memang telah dijodohkan untuk menikah dengan Nevaruns; dan mungkin kini Thor sedang disergap. Pemikiran tentang semua itu membuatnya merasa ngeri.

Ia merasa putus asa saat ia berlari. Ia harus membenahi semuanya. Ia tak dapat menemui Thor, tapi ia dapat menemui Godfrey untuk memastikan apakah iamemang telah diracun-dan apakah ia masih hidup.

Gwendolyn mempercepat langkahnya menuju bagian kota yang lusuh, keheranan menemukan dirinya kembali ke tempat ini lagi, dua kali dalam beberapa hari ke bagian paling menjijikkan di Kerajaan, di mana ia sudah bersumpah untuk tak mendatanginya lagi. Jika Godfrey memang telah diracun, ia tahu bahwa itu akan terjadi di kedai minum. Di mana lagi? Ia marah padaGodfrey karena kembali ke tempat itu, karena menurunkan kewaspadaannya, karena menjadi ceroboh. Tapi lebih dari segalanya, Gwen mengkhawatirkan dirinya. Ia menyadari betapa ia sangat menyayangi kakaknya itu beberapa hari terakhir ini. Bayangan akan kehilangannya, apalagi sesudah meninggalnya ayahnya, menyisakan sebuah lubang dalam hatinya. Ia, bagaimanapun, merasa harus bertanggung jawab.

Ia merasakan ketakutan yang nyata ketika ia berlari di sepanjang jalan, dan bukan karena para pemabuk dan bandit di sekitarnya; namun rasa takut pada kakaknya, Gareth. Ia terlihat seperti iblis pada pertemuan terakhir mereka, dan ia tidak dapat melepaskan bayangan akan wajahnya, akan matanya, dari pikirannya-begitu gelap, begitu keji. Ia tampak dikuasai sesuatu. Bahwa ia telah duduk di singgasana ayahnya, membuat segalanya tampak lebih dari nyata. Ia takut pada hukuman dari kakaknya. Mungkin ia memang telah berencana menikahkan dirinya, sesuatu yang tak pernah ia inginkan. Atau mungkin Gareth ingin mengurungnya, dan ia mungkin berencana membunuhnya. Gwen melihat sekeliling, dan saat ia berlari, semua wajah tampak memusuhinya, tampak asing. Semua orang tampak seperti ancaman untuknya, yang dikirim Gareth untuk menghabisinya. Ia menjadi paranoid.

Gwen berbelok dan bahunya bertubrukan dengan seorang pemabuk tua-yang membuatnya kehilangan keseimbangan. Gwen melompat dan berseru marah. Ia sangat tegang. Beberapa saat baru Gwen menyadari bahwa orang itu hanya seorang pejalan yang ceroboh, dan bukan anak buah Gareth. Ia berbalik dan melihatnya menjauh, tidak berbalik ke arahnya untuk meinta maaf. Kebusukan bagian kota ini lebih dari memuakkan baginya. Jika bukan karena Godfrey ia tak akan mendekatinya, dan ia membenci Godfrey karena membuatnya terpaksa melakukan ini. Mengapa ia tidak menjauh saja dari kedai minum?

Gwen kembali berbelok dan itulah dia: kedai minumnya Godfrey, masih berdiri, bobrok, pintu ternganga dan para pemabuk keluar dari sana, seperti biasanya. Gwen tak membuang waktu. dan ia segera bergegas menuju pintu yang terbuka.

Matanya butuh beberapa saat untuk menyesuaikan diri dengan bar yang remang-remang, yang dipenuhi bau bir dan bau keringat. Ruangan itu menjadi senyap saat ia masuk. Dua lusin atau lebih pria di dalamnya berpaling dan melihat ke arahnya, tertegun. Di sanalah Gwen, anggota keluarga kerajaan, dengan gaun berkilauan, bergegas masuk ke ruangan yang mungkin tak pernah dibersihkan selama bertahun-tahun.

Ia berderap menuju seorang pria tinggi dengan perut besar yang dikenalnya sebagai Akorth, salah satu teman minum Godfrey.

“Di mana kakakku? “ tanya Gwen.

Akorth yang biasanya berapi-api, biasanya siap melontarkan gurauan konyol yang terlalu memuaskannya, di luar dugaan Gwen: ia menggelengkan kepalanya.

“Tidak terlalu baik, nona,” katanya, muram.

“Apa maksudmu?” bentaknya, jantungnya berdetak keras.

“Ia minum bir yang buruk,” kata seorang pria tinggi dan bungkuk yang dikenalnya sebagai Fulton, teman minum Godfrey yang lainnya. “Ia jatuh pingsan tengah malam tadi. Belum sadar.”

“Apakah ia masih hidup?” tanya Gwen histeris, mencengkeram pergelangan tangan Akorth.

“Mungkin tidak,” jawabnya, menunduk. “Ia mengalami sesuatu. Ia berhenti bicara sejak satu jam yang lalu.”

“Di mana dia?” bentaknya.

“Di belakang, tuanku,” kata penjaga bar, sambil membungkuk di bar dan menyeka sebuah tangki bir, nampak murung. “Dan sebaiknya kau punya rencana untuknya. Aku tak mau ada mayat di tempat usahaku.”

Gwen, tampak kesal, mendadak mencabut sebuah belati kecil, mencondongkan tubuhnya dan mengarahkan pisaunya ke arah leher si penjaga bar.

Penjaga bar itu tercekat, melihat ke arah Gwen dengan terkejut, tempat itu mendadak menjadi senyap.

“Pertama-tama,” katanya, “tempat ini bukan tempat usaha – ini hanya sebuah saluran got dan akan kuperintahkan pengawal kerajaan untuk meratakannya dengan tanah kalau kau berbicara seperti itu lagi padaku. Kau boleh memanggilku dengan sebutan tuanku.”

Gwen merasa dirinya tidak ada di sana, dan terpana karena ada sebuah kekuatan menggerakkannya; dan ia tak tahu dari mana datangnya.

Penjaga bar menelan ludahnya.

“Tuanku,” suaranya bergema.

Gwen menahan belatinya dengan waspada.

“Kedua, kakakku tidak boleh mati – tidak di tempat ini. Jenazahnya akan memberikan kehormatan pada tempat usahamu lebih daripada jiwa hidup manapun yang mati di sini. Dan jika memang ia telah mati, itu adalah kesalahanmu.”

“Tapi saya tidak melakukan apapun, tuanku!” protesnya. “Ia minum bir yang sama dengan yang lainnya!”

“Seseorang pasti telah meracunnya,” tambah Akorth.

“Siapapun bisa melakukannya,” kata Fulton.

Gwen menurunkan belatinya perlahan.

“Bawa aku kepadanya. Sekarang!” perintah Gwen.

Penjaga bar menundukkan kepalanya dengan malu kali ini, berbali dan bergegas masuk ke sebuah pintu di belakang bar. Gwen mengikutinya. Akorth dan Fulton bergabung bersamanya.

Gwen masuk ke sebuah kamar kecil di belakang kedai dan ia berseru saat melihat kakaknya, Godfrey, terkapar di lantai, terlentang. Ia tampak lebih pucat daripada biasanya. Ia tampak tengah sekarat. Semua itu ternyata benar.

Gwen berjalan ke arah Godfrey, meraih kepalanya yang terasa dingin dan lembab. Ia tidak bereaksi, kepalanya terkulai di lantai, tak bercukur, rambutnya yang acak-acakan terjuntai di dahinya. Tapi Gwen merasakan nadinya, meski lemah tapi ia masih hidup. Gwen melihat dada Godfrey terangkat dan bernafas lemah. Ia masih hidup.

Gwen merasa dirinya dipenuhi dengan amarah.

“Bagaimana bisa kau meninggalkan dia di sini seperti ini?” teriaknya, memarahi penjaga bar. “Kakakku, anggota keluarga kerajaan, dibiarkan terkapar di sini seperti anjing saat ia sedang sekarat?”

Penjaga bar itu menelan ludahnya, tampak gugup.

“Dan apa yang bisa kulakukan, tuanku?” tanyanya, terdengar tidak yakin. “Tempat ini bukan rumah sakit. Semua orang mengatakan ia pasti akan mati dan –“

“Ia tidak mati!” teriaknya. “Dan kalian berdua,” katanya, berpaling pada Akorth dan Fulton. “teman macam apa kalian? Apakah ia akan meninggalkan kalian seperti ini?”

Akorth dan Fulton saling berpandangan dengan tatapan menurut.

“Maafkan aku,” kata Akorth. “Dokter datang tadi malam dan ia melihatnya dan ia bilang Godfrey sekarat-dan tinggal menunggu ajalnya tiba. Aku kira tak ada apapun yang bisa dilakukan.”

“Kami menjaganya sepanjang malam, tuanku,” tambah Fulton,”di sisinya. Kami hanya rehat sebentar, minum untuk melupakan duka cita kami, lalu kau datang dan –“

Gwen meraih dan dengan murka merebut botol bir dari tangan mereka berdua dan melemparkannya ke lantai. Cairan itu berceceran di lantai. Mereka berdua memandang ke arah Gwen, terkejut.

“Kalian berdua, bawa dia,” perintahnya dingin, lalu berdiri, merasa ada kekuatan baru bangkit dalam dirinya. “Kalian akan membawanya pergi dari tempat ini. Kalian akan mengikutiku melewati Istana Raja sampai kita sampai di Tabib Kerajaan. Kakakku akan mendapatkan pengobatan yang sesungguhnya, dan tak akan dibiarkan mati hanya karena asumsi seorang dokter yang tidak jelas.

“Dan kau,” tambahnya, berbalik ke arah penjaga bar. “Kalau kakakku selamat, dan jika ia kembali ke tempat ini dan kau memberi dia minum, aku pastikan bahwa kau akan dikirim ke penjara bawah tanah dan tak akan pernah keluar lagi.”

Penjaga bar terpaku di tempatnya dan semakin menundukkan kepalanya.

“Sekarang, jalan!” teriaknya.

Akorth dan Fulton tersentak, dan segera bertindak. Gwen bergegas meninggalkan kamar, kedua orang itu ada di belakangnya, membopong kakaknya, mengikutinya pergi dari bar dan menuju terik matahari.

Mereka berjalan terburu-buru di tengah padatnya jalanan Istana Raja, pergi mencari tabib, dan Gwen berdoa semoga ia tidak terlambat.




BAB TIGA


Thor berkuda menyeberangi tanah lapang berdebu di sisi terluar Istana Raja, Reece, O’Connor, Elden dan si kembar ada di sisinya, Krohn berlari di sampingnya, Kendrick, Kolk, Brom dan seluruh Legiun dan Kesatuan Perak berkuda bersama mereka. Pasukan terhebat sedang berkuda untuk melawan anak buah McCloud. Mereka berkuda sebagai satu kesatuan, bersiap membebaskan kota, dan suara derap kuda memekakkan telinga, bergemuruh seperti badai. Mereka telah berkuda seharian, dan matahari kedua telah bersinar cukup lama di langit. Thor hampir tak percaya ia sedang berkuda bersama para prajurit hebat pada misi militer pertamanya. Ia merasa mereka telah menerimanya sebagai bagian dari mereka. Dan memang, seluruh anggota Legiun telah ditugaskan sebagai cadangan, dan semua teman satu timnya berkuda bersamanya. Para anggota Legiun merasa lebih kecil dibandingkan ribuan anggota tentara raja. DanThor, untuk pertama kali dalam hidupnya, merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih hebat daripada dirinya sendiri.

Thor merasakan adanya sebuah tujuan. Ia merasa dirinya dibutuhkan. Sesama rakyatnya sedang dalam tekanan McCloud, dan hanya para prajurit ini yang bisa membebaskan mereka untuk menyelamatkan rakyatnya dari nasib yang mengerikan. Pentingnya tugas yang akan mereka lakukan membuatnya merasa penting – membuatnya merasa hidup.

Thor merasa aman dengan kehadiran para prajurit, namun ia juga merasa khawatir juga. Para pria ini adalah prajurit sungguhan, yang artinya mereka akan berhadapan dengan prajurit sungguhan juga. Pendekar-pendekar tangguh dan sulit dikalahkan. Hidup dan mati kali ini, batasannya lebih jelas daripada situasi lain yang pernah ia alami. Saat ia berkuda, ia meraba ke bawah secara naluriah dan memastikan keberadaan ketapel andalan dan pedang barunya. Ia berpikir apakah di akhir hari pedang itu akan berlumur darah. Atau ia sendirilah yang akan terluka.

Pasukan mereka mendadak menyerukan suara keras, lebih keras dari derap sepatu kuda. Saat itu mereka berbaris melingkar dan di cakrawala terlihatlah untuk pertama kalinya kota yang telah dijatuhkan. Asap hitam mengepul bergulung-gulung dari kota itu, dan pasukan McGil menendang kuda-kuda mereka, menambah kecepatan. Thor juga menendang kudanya lebih keras, mencoba menjaga jarak dengan yang lainnya saat mereka mulai menghunus pedang, mengangkat senjata mereka dan mendekati kota dengan nafsu membunuh.

Pasukan besar itu memisahkan diri menjadi beberapa kelompok kecil, dan di kelompok Thor ada sepuluh prajurit, para anggota Legiun, teman-temannya dan beberapa yang tidak dikenalnya. Mereka mengikuti perintah seorang komandan senior dalam pasukan Raja, seorang prajurit yang dipanggil Forg oleh yang lainnya, seorang pria tinggi, kurus, kuat, kulit berbintik, rambut cepak, kelabu dan mata yang gelap cekung. Pasukan yang terbagi dalam beberapa kelompok kemudian menyelinap ke segala penjuru.

“Kelompok ini, ikuti aku!” perintahnya, memberi isyarat dengan tongkatnya pada Thor dan yang lainnya untuk memisahkan diri dan mengikuti perintahnya.

Kelompok Thor mengikuti perintahnya dan berjalan di belakang Forg, berpisah lebih jauh dari kelompok besar. Thor melihat ke belakang dan mengetahui bahwa kelompoknya telah terpisah jauh dari yang lainnya, pasukan tampak jauh, dan saat Thor bertanya-tanya kemana mereka akan pergi, Forg berseru:

“Kita akan mengambil posisi di dekat pasukan sayap McCloud!”

Thor dan yang lainnya saling bertukar pandangan, gugup sekaligus bersemangat, terus maju sampai pasukan besar tak lagi terlihat.

Begitu mereka sampai di sebuah tanah lapang lainnya, dan kota itu menghilang dari pandangan. Thor berjaga-jaga, tapi tak ada tanda-tanda pasukan McCloud di manapun.

Akhirnya, Forg menghentikan kudanya di dekat sebuah bukit kecil, dalam kerimbunan pepohonan. Yang lainnya berhenti di belakangnya.

Thor dan yang lainnya memandang ke arah Forg, heran mengapa mereka berhenti.

“Di sana itu adalah misi kami,” ujarForg. “Kalian masih prajurit muda, jadi kami ingin memisahkan kalian dari ganasnya pertempuran. Kalian akan berada di sini sampai para prajurit kami menyisir kota dan menaklukkan prajurit McCloud. Tampaknya para prajurit McCloud tak akan sampai kesini, dan kalian akan aman di sini. Ambil posisi di sekitar sini, dan tinggalah sampai kami perintahkan kalian pergi. Sekarang, jalan!”

Forg menendang kudanya dan berkuda menuju ke atas bukit; Thor dan yang lainnya melakukan hal yang sama mengikutinya. Kelompok kecil berkuda menyeberangi tanah lapang berdebu, menggumpal membentuk awan, dan tak seorang pun tampak sejauh Thor memandang. Ia merasa kecewa karena disingkirkan dari aksi sesungguhnya; mengapa mereka semua harus dilidungi?

Saat mereka berkuda, Thor merasakan sesuatu. Ia tak dapat menjelaskannya, namun indra keenamnya mengatakan ada sesuatu yang salah.

Ketika mereka mendekati puncak bukit, di atasnya ada sebuah menara tinggi, tua dan tampak tak terurus-sesuatu dalam diri Thor mengatakan padanya untuk melihat ke belakang. Ia melakukannya, dan ia melihat Forg. Thor tertegun karena Forg secara perlahan tertinggal di belakang kelompok itu, tampak semakin jauh, dan saat Thor melihatnya, Forg berputar ke belakang, menendang kudanya, dan tanpa berkata apapun berkuda ke arah lain.

Thor tak mengerti apa yang sedang terjadi. Mengapa Forg mendadak meninggalkan mereka?

Di sampingnya, Krohn mendengking.

Sebelum Thor dapat memahami apa yang terjadi, mereka telah sampai di puncak bukit, mencapai menara tua, tak berharap apapun selain melihat reruntuhan.

Namun kelompok kecil itu mendadak menghentikan kuda mereka. Mereka duduk di atas kuda, semuanya, membeku pada pemandangan di depan mereka.

Di sana, menghadap ke arah mereka, telah menunggu seluruh pasukan McCloud.

Mereka telah dijebak.




BAB EMPAT


Gwendolyn bergegas di sepanjang jalan Istana Raja yang padat, Akorth dan Fulton membopong Godfrey di belakang mereka, mengikutinya memotong jalan orang-orang di sekelilingnya. Ia merasa harus segera menemui tabib secepatnya. Godfrey tak boleh mati, tidak setelah semua yang telah mereka alami, dan jelas tidak dengan cara ini. Ia hampir dapat melihat senyum kepuasan Gareth ketika mendengar kabar kematian Godfrey-dan Gwen bermaksud mengubahnya. Ia menyesal tidak segera menemukan Godfrey.

Saat Gwen menukik ke sebuah kelokan dan berderap menuju pusat kota, semakin banyak orang yang berkerumun, dan ia memandang ke atas dan melihat Firth, masih tergantung di atas balok, tali mengikat erat di lehernya, memaksa semua orang untuk melihatnya. Gwen berpaling. Itu adalah pemadangan yang mengerikan, sebuah pengingat akan kekejaman kakaknya. Ia merasa ia tak dapat lari ke manapun ia menghindar. Sangat miris karena sehari sebelumnya ia baru saja berbicara dengan Firth –dan sekarang ia tergantung di sana. Ia tak dapat menghindar dari aroma kematian di sekelilingnya – dan sekarang sedang mengejarnya juga.

Gwen sangat ingin menghindar, memilih jalur lain. Ia tahu bahwa berjalan melalui alun-alun adalah jalan tercepat, dan ia berusaha memberanikan diri; ia terpaksa menyeret kakinya berjalan melewati tiang itu, tepat di sebelah tubuh yang tergantung itu. Saat ia melakukannya, ia terkejut karena algojo kerajaan, mengenakan jubah hitam, menghalangi jalannya.

Awalnya Gwen mengira algojo itu akan membunuhnya juga – sampai ia membungkuk.

“Tuanku,” katanya dengan ramah, menundukkan kepalanya dengan hormat. “Kerajaan belum memerintahkan apapun untuk menangani mayat ini. Saya belum menerima perintah untuk menguburkannya secara layak atau melemparkannya di kuburan massal.”

Gwen berhenti, merasa kesal karena harus menangani masalah itu; Akorth dan Fulton berhenti di sebelahnya. Ia mendongak, menutupi matanya yang silau terkena sinar matahari, melihat ke arah mayat yang tergantung tak jauh darinya. Dan saat ia hendak mengacuhkan algojo itu, sesuatu mengubah pikirannya. Ia ingin keadilan untuk ayahnya.

“Kubur ia di kuburan massal,” katanya. “Tanpa nisan. Jangan adakan ritual khusus atau upacara pemakaman. Aku ingin namanya terhapus selamanya dari sejarah.”

Algojo itu mengangguk tanda mengerti, dan Gwen merasakan pertahanan dirinya sedikit pulih. Lagipula, pria ini adalah orang yang sebenarnya telah membunuh ayahnya. Meski ia membenci kekerasan, ia tak bersedih untuk Firth. Ia dapat merasakan roh ayahnya dalam dirinya sekarang, lebih kuat dari sebelumnya, dan merasakan kedamaian ayahnya yang telah meninggal.

“Dan satu lagi,” tambahnya, menghentikan si algojo. “Turunkan mayat itu sekarang.”

“Sekarang, tuanku?” tanya si algojo. “Tapi raja memerintahkan untuk membiarkan mayat itu di sana.”

Gwen menggelengkan kepalanya.

“Sekarang,” ulangnya. “Ini adalah perintahnya yang baru,” ia berbohong.

Algojo itu bergegas dan segera menurunkan mayat itu.

Gwen merasakan sebuah kekuatan lain. Ia tak ragu bahwa Gareth sedang mengamati mayat Firth dari jendelanya sepanjang hari – menurunkannya akan membuatnya kesal. Tapi akan membuatnya tahu bahwa tak semua rencananya berjalan mulus.

Gwen baru akan beranjak pergi ketika ia mendengar sebuah suara; ia berhenti dan berbalik, di atas sana, bertengger di atas tiang, ia melihat burung elang Estopheles. Ia mengangkat tangan untuk melindungi matanya dari matahari, mencoba memastikan bahwa matanya tak sedang menipu dirinya. Estopheles memekik lagi dan mengembangkan sayapnya, mendekati mereka.

Gwen dapat merasakan burung itu menyembunyikan arwah ayahnya. Jiwanya tidak tenang, dan sebentar lagi akan menemukan kedamaian.

Gwen mendadak memikirkan sesuatu; ia bersiul dan mengulurkan sebelah lengannya, dan Estopheles menukik ke arahnya dan bertengger di lengan Gwen. Burung itu berat, dan cakarnya mencengkeram kulit Gwen.

“Carilah Thor, “ bisiknya pada burung itu. “Cari dia di medan pertempuran. Lindungi dia. PERGILAH!” serunya, sambil mengangkat lengannya.

Ia memandang Estopheles mengepakkan sayapnya dan membumbung tinggi, semakin tinggi ke langit. Gwen berdoa itu berhasil. Ada sesuatu yang misterius dengan beurung itu, terutama hubungannya dengan Thor, dan Gwen tahu apapun mungkin terjadi.

Gwen melanjutkan langkahnya, bergegas di sepanjang jalan terjal menuju pondok tabib. Mereka melintasi beberapa gerbang melengkung di luar kota, dan ia berjalan secepat ia bisa, berdoa agar Godfrey bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan.

Matahari kedua tampak rendah di langit saat mereka mendaki sebuah bukit kecil di batas luar Istana Raja dan tampaklah pondok tabib di kejauhan. Pondok itu sederhana, hanya ada satu ruangan, tembok putihnya terbuat dari tanah liat, dengan satu jendela kecil di tiap sisinya, pintu oak melengkung di depannya. Dari atapnya tergantunglah aneka tanaman dengan berbagai warna dan jenis, mengelilingi pondok itu – yang juga dikelilingi hamparan tanaman obat, bunga berbagai warna dan bentuk membuat pondok itu seolah baru saja dijatuhkan di tengah rumah kaca.

Gwen berlari menuju pintu dan menggedor pintu itu beberapa kali. Pintu terbuka, dan di depannya munculah seraut wajah si tabib.

Illepra. Ia telah menjadi tabib kerajaan sepanjang hidupnya, dan telah dikenal Gwen sejak ia masih belajar berjalan. Kulitnya tampak bersinar, membungkus mata hijaunya yang tampak ramah dan sulit dipercaya usianya sudah lebih dari 18 tahun. Gwen tahu kalau Illepra lebih tua dari itu, tahu bahwa penampilannya bisa mengecohkan, dan ia juga tahu bahwa Illepra adalah salah satu orang terpandai dan berbakat yangpernah ditemuinya.

Roman wajah Illepra berubah saat ia melihat Godfrey. Matanya terbelalak dengan penuh rasa prihatin, menyadari kegawatan situasinya. Ia menyeruak melewati Gwen dan bergegas menuju ke arah Godrey, meletakkan telapak tangannya di keningnya, keningnya berkerut.

“Bawa ia masuk,” perintahnya pada kedua pria yang membawa Godrefy, “cepatlah.”

Illepra kembali ke dalam, membuka pintunya lebih lebar, dan mereka mengikuti langkahnya ke dalam pondok. Gwen mengikuti mereka, menundukkan kepalanya saat melewati pintu yang rendah dan menutup pintu di belakang mereka.”

Di dalam sedikit gelap, dan ia mengejapkan matanya untuk menyesuaikannya dengan kegelapan. Saat yang lain sedang sibuk, ia melihat pondok itu masih sama seperti yang pernah ia lihat semasa kanak-kanak: kecil, sederhana, bersih dan dipenuhi berbagai jenis tanaman, obat-obatan, dan racun.

“Baringkan ia di sana,” perintah Illepra, lebih serius daripada yang pernah didengar Gwen. “Di tempat tidur di pojokan. Lepaskan pakaian dan sepatunya. Lalu tinggalkan kami.”

Akorth dan Fulton melakukan apa yang diperintahkan pada mereka. Saat mereka hendak pergi, Gwen mencengkeram lengan Akorth.

“Berjagalah di depan pintu,”perintahnya. “Siapapun yang meracuni Godfrey mungkin masih ingin melukainya. Atau aku.”

Akorth mengangguk dan ia dan Fulton keluar, menutup pintu.

“Sudah berapa lama ia seperti ini?” tanya Illepra, ia tidak menatap Gwen karena sedang berlutut memeriksa pergelangan tangannya, perutnya, tenggorokannya.

“Sejak tadi malam,” jawab Gwen.

“Tadi malam!” seru Illepra, kepalanya menggeleng, prihatin. Ia memeriksa Godfrey untuk beberapa lama tanpa suara, wajahnya murung.

“Ini tidak baik,” ujarnya.

Ia meletakkan telapak tangannya di kening Godfrey lagi dan kali ini ia menutup matanya , bernafas untuk beberapa lama. Suatu kesunyian yang sangat memenuhi ruangan itu, dan Gwen tak tahu untuk berapa lama.

“Racun,” bisik Illepra, matanya masih tertutup, seolah sedang memeriksa kondisinya secara bawah sadar.

Gwen selalu takjub atas kemampuan Illepra; ia tak pernah salah, tak sekalipun sepanjang hidupnya. Dan ia telah menyelamatkan banyak nyawa lebih dari satu pasukan kerajaan. Ia bertanya-tanya apakah kemampuan itu dipelajarinya atau diwariskan; ibu Illepra juga seorang tabib, dan ibu dari ibunya juga. Di saat yang sama, Illepra telah menghabiskan hidupnya mempelajari tentang racun dan seni penyembuhan.

“Sebuah racun yang sangat kuat,” tambah Illepra, lebih yakin. “Sangat jarang aku menemukannya. Racun yang sangat mahal. Siapapun yang mencoba membunuhnya sudah merencanakannya. Menakjubkan karena kakakmu tidak mati karenanya. Racun ini pasti lebih kuat daripada dugaan kita.”

“Ia mewarisinya dari ayah kami,” kata Gwen. “Ia sekuat kerbau. Semua raja keturunan McGil juga.”

Illepra bangkit dan mencampur beberapa dedaunan di balok kayu, memotong dan menghaluskannya dan menambahkan cairan. Hasilnya adalah semacam salep berwarna hijau dan ia membawanya kembali ke arah Godfrey. Digosokkannya salep itu ke lehernya, di bawah lengannya, di kenignya. Saat ia selesai, ia mengambil sebuah gelas dan meneteskan beberapa cairan, satu berwarna merah, satu coklat dan satu ungu. Saat mereka tercampur, cairan itu mendesis dan berbusa. Ia mengaduknya dengan sendok kayu panjang, kembali ke Godfrey dan meneteskannya di bibirnya.

Godfrey tak bergerak; Illepra mengangkat kepalanya dan memasukkan cairan itu ke dalam mulutnya. Sebagian cairan mengalir keluar di pipinya, namun sebagian masuk ke tenggorokannya.

Illepra menyeka sisa cairn dari mulut dan rahangnya, lalu bersandar dan mendesah.

“Apakah ia akan hidup?” tanya Gwen, khawatir.

“Mungkin,” katanya, muram. “Aku sudah berikan semua yang aku punya, tapi itu tidak akan cukup. Hidupnya sekarang tergantung takdir.”

“Apa yang bisa kulakukan?” tanya Gwen.

Illepra berpaling dan menatap Gwen.

“Berdoalah. Ini akan jadi malam yang panjang.”




BAB LIMA


Kendrick tak pernah tahu seperti apa kebebasan itu – kebebasan sesungguhnya- sampai hari ini. Waktu yang telah ia habiskan saat terkurung di penjara bawah tanah telah mengubah pandangannya terhadap kehidupan. Kini ia menghargai hal-hal kecil – hangatnya matahari, angin yang meniup rambutnya, bebas di luar. Menunggang kuda, merasakan bumi melaju di bawahnya, kembali bergabung dengan pasukan, memegang senjata dan berkuda bersama rekan-rekan sepasukan membuatnya merasa bagaikan meriam yang sedang melucur. Membuatnya merasakan keliaran yang tak pernah ia alami sebelumnya.

Kendrick melaju, membungkuk menuju angin, sahabatnya Atme ada di dekatnya, berterima kasih atas kesempatan untuk bertempur dengan saudara-saudaranya, untuk tidak melewatkan pertempuran ini, dan ingin membebaskan kotanya dari pasukan McCloud – dan membuat mereka membayar karena telah menyerang. Ia berkuda dengan nafsu membunuh, meski saat itu ia tahu bahwa sasaran kemurkaannya bukanlah pasukan McCloud tapi adiknya, Gareth. Ia tak akan pernah memaafkan Gareth karena telah memenjarakannya, telah menuduhnya sebagai pembunuh ayahnya, karena menggiringnya di depan anak buahnya – dan berusaha menghukum mati dirinya. Kendrick ingin membalas dendam pada Gareth – namun karena ia tak bisa melakukannya sekarang, ia akan melampiaskannya pada pasukan McCloud.

Saat ia nanti kembali ke Istana Raja, ia akan membenahi segalanya. Ia akan melakukan apapun untuk menyingkirkan adiknya dan menempatkan adiknya Gwendolyn sebagai penguasa baru.

Mereka mendekati kota yang kacau balau, asap tebal hitam menyerbu ke arah mereka, membuat Kendrick sesak nafas. Ia merasa sedih melihat kota McGil seperti ini. Jika ayahnya masih hidup, ini tak akan terjadi; jika Gareth tak memenjarakannya, ini juga tak akan pernah terjadi. Sungguh memalukan, sebuah noda bagi kehormatan keluarga McGil dan Kesatuan Perak. Kendrick berdoa mereka tidak terlambat menyelamatkan orang-orang ini, bahwa McCloud belum lama di sini dan belum terlalu banyak orang yang terluka atau terbunuh.

Ia menendang kudanya lebih kuat, mendahului yang lainnya, saat mereka berkuda seperti sekumpulan lebah menuju gerbang kota. Mereka sedang mendidih, Kendrick menghunus pedangnya, bersiap menghadapi musuh saat mereka masuk ke kota. Ia berseru, begitu juga semua orang di sekelilingnya, untuk memperkuat dirinya.

Namun ketika ia melintasi gerbang dan menuju alun-alun kota yang berdebu, ia tercekat dengan apa yang dilihatnya: tak ada apapun. Semuanya adalah sisa-sisa penyerbuan – kehancuran, kebakaran, rumah-rumah hancur, tumpukan mayat, para wanita merayap. Hewan-hewan ternak terbunuh, darah melumuri dinding. Ini pembantaian. Pasukan McCloud telah menyiksa penduduk yang tak berdosa. Kendrick merasa mual saat memikirkannya. Pasukan McCloud penakut.

Tetapi yang membuat Kendrick heran adalah tak ada seorang McCloud pun di sana. Ia tak mengerti. Seolah-olah pasukan musuh telah meninggalkan kota karena telah mengetahui kedatangan mereka. Api masih menyala, dan sudah jelas mereka menyalakannya untuk suatu alasan.

Hari menjelang senja saat Kendrick mengetahui bahwa semua ini tipuan. Bahwa pasukan McCloud ingin menarik perhatian pasukan McGil ke tempat ini.

Tapi mengapa?

Kendrick tiba-tiba berbalik, melihat ke sekeliling, dengan putus asa mencari apakah ada anak buahnya yang hilang, apakah ada kelompok yang terpisah jauh di tempat lain. Pikirannya dibanjiri oleh pemahaman baru, bahwa semua ini telah diatur untuk memecah anak buahnya, untuk mengacaukan mereka. Ia memandang ke segala penjuru, mencari siapa yang tidak ada di sana.

Dadanya terasa sesak. Satu orang telah hilang. Pengawalnya.

Thor.




BAB ENAM


Thor duduk di atas kudanya. Di puncak bukit, kelompok Legiun dan Krohn di sisinya, mereka memandang pemandangan menegangkan di depannya: sejauh mata memandang hanya ada pasukan McCloud duduk di punggung kuda, sejumlah besar prajurit sedang bersiaga menunggu mereka. Mereka telah dijebak. Forg pasti telah meninggalkan mereka di sini untuk sebuah alasan, telah mengkhianati mereka. Tapi mengapa?

Thor menelan ludahnya, memandang ke arah apa yang dipastikan akan menjadi sebab kematian mereka.

Sebuah seruan untuk bertempur membahana ketika prajurit McCloud mendekati mereka. Mereka hanya beberapa yard saja jauhnya, dan mendekat dengan cepat. Thor memandang ke belakang, namun tak ada bantuan yang dilihatnya di kejauhan. Mereka benar-benar sendirian.

Thor tahu mereka tak punya pilihan lain selain melawan di sini, di bukit kecil ini, di tengah kesunyian ini. Jumlah mereka lebih sedikit, dan tak ada cara untuk menang. Tapi jika ia kalah, ia akan melakukannya dengan berani dan menghadapi mereka semua sebagai seorang pria. Legiun telah mengajarkannya banyak hal. Melarikan diri bukanlah pilihan; Thor bersiap menyongsong kematiannya.

Thor berbalik dan memandang wajah teman-temannya. Dan ia dapat melihat mereka juga pucat karena takut, ia melihat kematian di mata mereka. Tapi hebatnya, mereka tetap berani. Tak seorang pun dari mereka kabur, meski kuda mereka melompat-lompat, atau memutar kuda mereka dan lari. Legiun masih satu sampai saat ini. Mereka lebih dari sekedar teman: Misi Seratus Hari telah membentuk mereka menjadi satu kelompok persaudaraan. Tak seorang pun akan meninggalkan yang lainnya. Mereka semua telah mengambil sumpah, dan kemuliaan mereka sedang dipertaruhkan. Dan bagi Legiun, kemuliaan lebih berharga daripada darah.

“Saudara-saudara, aku yakin kita punya pertempuran di depan kita,” kata Reece perlahan, saat ia meraih dan menghunus pedangnya.

Thor menggapai dan meraih ketapelnya, ingin menjatuhkan musuh sebanyak mungkin sebelum musuh bisa mendekati mereka. O’Connor menghunus tombak pendeknya, sementara Elden mengacungkan lembingnya; Conval mengangkat martil, dan Convel sebuah kapak berpisau. Anak-anak lelaki lain yang datang bersama mereka dari Legiun, yang tidak dikenal Thor, menghunus pedang dan meraih perisai mereka. Thor dapat merasakan ketakutan di udara, dan ia juga merasakannya ketika pasukan berkuda semakin dekat, saat suara teriakan prajurit McCloud menggema, terdengar seperti gemuruh topan yang hendak menghantam mereka. Thor tahu mereka butuh strategi – tapi ia tidak tahu strategi apa.

Di dekat Thor, Krohn menggeram. Thor mendapat inspirasi dari keberanian Krohn: ia tak pernah mendengking atau menengok ke belakang sekali pun. Bahkan, bulu-bulu di belakangnya berdiri dan perlahan ia maju ke depan, seolah hendak melawan pasukan itu sendirian. Thor tahu bahwa Krohn adalah teman dalam pertempuran yang sejati.

“Apakah kau pikir yang lainnya akan membantu kita?” tanya O’Connor.

“Mereka akan terlambat,” jawab Elden. “Kita telah dijebak oleh Forg.”

“Tapi mengapa?” tanya Reece.

“Aku tak tahu,” jawab Thor, melangkah ke depan di atas kudanya. “tapi aku merasa ini ada hubungannya denganku. Kupikir ada yang ingin aku mati.”

Thor merasa yang lainnya berbalik dan memandang ke arahnya.

“Mengapa?” tanya Reece.

Thor mengangkat bahunya. Ia tak tahu, tapi ia punya firasat itu ada hubungannya dengan kekacauan di Istana Raja, sesuatu tentang pembunuhan Raja MacGil. Kelihatannya itu Gareth. Mungkin ia menganggap Thor sebagai ancaman untuknya.

Thor merasa tak enak karena telah membahayakan nyawa rekan-rekan setimnya, tapi tak ada sesuatu pun yang bisa dilakukannya saat itu. Semua yang bisa ia lakukan adalah mencoba memperjuangkan nyawa mereka.

Thor merasa saatnya tiba. Ia berseru dan menendang kudanya, dan melaju kencang di atasnya, di depan teman-temannya. Ia tak akan menunggu di sini untuk menemui musuhnya, bertemu dengan ajalnya. Ia akan melakukan serangan pertama, mungkin untuk mengalihkan perhatian dari rekan-rekan setimnya, dan memberi mereka kesempatan untuk melarikan diri. Jika ini adalah akhir hidupnya, ia akan menjemputnya dengan keberanian, dengan kemuliaan.

Hati Thor menggigil namun ia tak ingin menampakkannya. Thor berkuda menjauhi yang lainnya, melaju ke atas bukit mendekati pasukan. Di sampingnya, Krohn berlari kencang, tak ketinggalan.

Thor mendengar teriakan di belakangnya, kawan-kawan Legiunnya berlomba mengejarnya. Mereka berjarak sekitar dua puluh yard darinya, dan mereka berkuda di belakangnya, menyerukan seruan pertempuran. Thor tetap berada di depan, dan merasa lega mendapat dukungan kawan-kawannya.

Sebelum kelompok ksatria Thor menusuk ke dalam pasukan McCloud, di depan Thor tampaklah sekitar lima puluh orang. Mereka berada ratusan yard di depannya dan mendekat dengan cepat. Thor menarik ketapelnya, meletakkan sebuah batu, membidik sasaran dan menembakkannya. Ia membidik pemimpin mereka, seorang pria besar dengan pelindung dada berwarna perak, dan bidikannya sempurna. Ia menembak pria itu di bawah kerongkongannya, di antara lempengan baju zirah, dan pria itu terjatuh dari kudanya, mendarat di tanah di depan yang lainnya.

Saat ia terjatuh, kudanya pun tersungkur bersamanya. Demikian juga lusinan kuda di belakangnya, membuat para prajurit di atasnya terlempar ke tanah dan mendarat dengan wajah menghadap ke tanah.

Sebelum mereka membalas, Thor menempatkan batu lain, menarik dan menembakkannya. Sekali lagi, bidikannya tepat dan ia mengenai pemimpin pasukan lainnya, tepat di titik wajahnya yang tak terlindung baju zirah. Ia terjatuh di sisi kudanya, menimpa beberapa prajurit lainnya, menjatuhkan mereka seperti domino.

Saat Thor melaju, sebuah lembing terlontar di atas kepalanya, sebuah tombak, martil dan kapak berpisau. Ia tahu teman-teman setimnya di Legiun mendukungnya. Bidikan mereka juga tepat dan senjata mereka berhasil menjatuhkan beberapa prajurit McCloud dengan perkiraan yang mematikan. Beberapa dari mereka terjatuh dari kuda dan menghantam prajurit lain yang terjatuh bersama mereka.

Thor sangat gembira melihat mereka berhasil mengalahkan lusinan prajurit McCloud, beberapa karena tembakan langsung. Ada juga yang terkapar akibat terjebak di antara kuda-kuda yang tersungkur. Lima puluh prajurit McCloud sekarang tersungkur di tanah, terkapar di tengah kepulan debu.

Namun pasukan McCloud ternyata sangat kuat, dan kini giliran mereka untuk membalas. Dari jarak tiga puluh yard beberapa dari pasukan McCloud melemparkan senjatanya. Sebuah martil mengarah tepat ke wajahnya, dan Thor membungkukkan tubuhnya. Martil itu mendesis di telinganya, hampir saja mengenainya. Sebuah tombak terbang ke arahnya, segera ia membungkukkan badan ke arah berlawanan. Ujungnya menggores baju zirah Thor, namun tidak mengenainya. Sebuah kapak berpisau menuju ke arahnya, dan Thor mengangkat perisai dan menghalaunya. Pisau itu menancap di perisai, dan Thor mengambil dan melemparkannya ke arah penyerangnya. Bidikan Thor tepat, kapak itu bersarang di dada pria itu, menusuk baju zirahnya. Sambil berteriak kesakitan pria itu terjatuh dari kudanya, mati.

Thor terus melaju. Ia melaju tepat ke jantung pasukan itu, menuju ke lautan prajurit, bersiap menyongsong kematiannya. Ia berteriak dan mengangkat pedangnya, menyerukan teriakan pertempuran; begitu juga teman-temannya.

Benturan keras itu mengakibatkan kemarahan. Seorang ksatria tinggi besar berkuda ke arahnya, menghunus kapak di kedua tangannya, dan melemparkannya ke arah kepala Thor. Thor menunduk, senjata itu melewati kepalanya dan membelah perut prajurit lain di belakang Thor; pria itu menjerit dan terhempas dari kudanya. Ksatria besar melemparkan kapaknya yang lain, dan kapak itu mengenai seekor kuda prajurit McCloud, yang kemudian mendengkik dan melonjak, melemparkan penunggangnya ke arah prjurit lain.

Thor terus melaju ke arah pasukan McCloud yang jumlahnya ratusan. Ia memotong jalur di tengah mereka, dan mereka mengayunkan pedang, kapak, gada ke arahnya. Ia menghalaunya dengan perisai atau menghindar, balik menusuk, membungkuk dan menghindar, sambil terus melaju. Ia terlalu cepat, terlalu lincah untuk mereka, dan mereka tidak menduganya. Jumlah mereka terlalu banyak dan manuver mereka terlalu lambat untuk menghentikan Thor.

Terdengar riuhnya dentingan logam di sekelilingnya, yang berusaha menusuknya dari segala arah. Ia menghalau semuanya dengan perisai dan pedangnya. Tapi ia tak bisa menghentikan semuanya. Sebilah pedang berhasil melukai bahunya, dan ia menjerit kesakitan bersamaan dengan darahnya yang bercucuran. Untungnya luka itu tidak parah, dan itu tidak menghentikannya untuk terus melawan.

Thor bertempur dengan kedua tangannya, dikelilingi prajurit McCloud yang siap menerkam, dan yang lainnya mulai berdatangan. Suara dentingan logam semakin keras saat pasukan McCloud berusaha menaklukkan anak-anak Legiun, pedang menghantam perisai, tombak menusuk kuda, lembing dilontarkan menuju baju zirah, semua bertempur sejauh mata memandang. Jeritan terdengar dari kedua belah pihak.

Legiun diuntungkan karena jumlah mereka sedikit dan gesit, sepuluh orang dari mereka berada di tengah-tengah pasukan yang bergerak lamban. Mereka saling menghalangi dan tak semua prajurit McCloud dapat menyerang mereka bersama-sama. Thor mendapati dirinya bertempur melawan dua atau tiga prajurit sekaligus, tapi tidak lagi. Dan rekan-rekannya di belakang melindunginya agar tak diserang dari belakang.

Seorang prajurit tahu Thor sedang lengah dan mengayunkan cambuk ke arah kepala Thor, Krohn menggeram dan menyambarnya. Ia melompat tinggi ke udara dan menerkam pergelangan tangannya. Prajurit itu terluka, darah bercucuran di mana-mana. Ia terpaksa mengubah arah cambuk tepat sebelum cambuk itu mengenai kepalaThor.

Semua terasa samar ketikaThor bertempur, menusuk dan menerjang ke segala arah, menggunakan setiap ons dari kemampuannya untuk bertahan, untuk menyerang, untuk menjaga teman-temannya dan untuk menjaga dirinya sendiri. Ia secara intuitif mengingat kembali hari-hari latihan yang tanpa akhir, ketika diserang dari segala penjuru di segala situasi. Seolah-olah semua terasa biasa saja baginya. Mereka telah melatihnya dengan baik, dan ia merasa mampu mengatasi semua ini dengan baik. Rasa takutnya masih ada, tapi ia merasa mampu untuk mengontrolnya.

Saat Thor melawan, lengannya terasa berat dan bahunya terasa lelah, kata-kata Kolk bergema di telinganya:

Musuhmu tak akan bertempur menurut caramu. Dia akan bertempur sesuai cara mereka. Perangmu adalah perangnya juga.

Thor melihat seorang ksatria pendek dan gemuk mengangkat rantai berpaku dengan kedua tangannya dan mengayunkan rantai itu ke arah belakang kepala Reece. Reece tidak melihatnya, dan dalam sekejap ia akan mati.

Thor melompat dari kudanya, melompat ke atas dan menendang si ksatria sebelum ia membidik rantainya. Mereka berdua terlempar dari kuda dan terhempas ke tanah di tengah gumpalan debu. Thor berguling, dan terjatuh akibat kuda-kuda yang mendadak tersungkur di sekelilingnya. Ia bergulung melawan ksatria itu di tanah dan pria itu mengacungkan ibu jarinya untuk memukul mata Thor. Tiba-tiba Thor mendengar suara memekik – dan ia melihat Estopheles menukik dan mencakar mata pria itu sebelum ia bisa melukai Thor. Pria itu menjerit, mencengkeram matanya.Thor menyikut pria itu dan meninjunya hingga terjatuh.

Sebelum Thor dapat merayakan kemenangannya, sebuah tendangan keras mengenai perutnya, membuatnya terjatuh. Ia mendongak dan melihat seorang prajurit mengangkat dua buah martil dan hendak menghantam dadanya.

Thor berguling, dan martil itu tak mengenainya, terbenam kedalam tanah hingga pangkalnya. Thor sadar martil itu bisa saja membuat nyawanya melayang.

Krohn melompat ke arah pria itu, meluncur dan mencengkeram sikut pria itu. Prajurit itu menggapai dan berusaha memukul Krohn.Namun Krohn tak melepaskan cengkeramannya, menggeram, sampai ia melukai lengan pria itu. Pria itu memekik dan terjatuh.

Seorang prajurit maju dan menghujamkan pedangnya ke arah Krohn, Thor menuju ke arahnya dan menghalau pedang itu dengan perisainya. Seluruh tubuhnya bergetar akibat tumbukan logam demi menyelamatkan nyawa Krohn. Namun saat itu ia tak terlindung, prajurit lain menuju ke arahnya dengan berkuda, menjejaknya, menjatuhkan Thor ke tanah. Sepatu kuda itu terasa meremukkan seluruh tulangnya.

Beberapa prajurit McCloud melompat dan mengelilingi Thor, mengepungnya.

Thor tahu ia sedang berada di situasi yang buruk, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan kudanya kembali. Saat ia terkapar di tanah, kepalanya berdengung oleh rasa sakit, dengan kerlingan matanya ia melihat para anggota Legiun bertempur dan terkapar. Salah satu anak Legiun yang tak dikenalnya menjerit kesakitan saat sebilah pedang menusuk dadanya. Ia terhempas ke tanah, mati.

Seorang anak Legiun lain yang juga tak dikenal Thor datang menolongnya, membunuh penyerang Thor dengan tusukan tombaknya – namun di saat yang sama seorang prajurit McCloud menyerangnya dari belakang, menghujamkan belati ke lehernya. Anak itu menjerit dan jatuh dari kudanya, mati.

Thor berbalik dan melihat lusinan serdadu McCloud mendekatinya. Satu serdadu mengangkat pedang dan mengarahkannya ke wajahnya. Thor menghalaunya dengan perisai, suara dentingan logam memenuhi kepalanya. Tapi seorang serdadu lain mengangkat botnya dan menendang perisai Thor dari tangannya.

Penyerang ketiga menendang pergelangan tangan Thor dan menahannya di tanah.

Penyerang keempat maju ke depan dan mengacungkan tombak, bersiap menusuk dada Thor.

Thor mendengar geraman, dan Krohn melompat ke arah serdadu, menjatuhkannya dan menahannya. Namun seorang serdadu lain maju membawa gada dan mengayunkannya ke arah Krohn, memukulnya dengan telak sehingga Krohn tersungkur ke tanah, memekik dan terkapar lemah.

Seorang serdadu lain maju, berdiri di atas Thor, dan mengacungkan sebuah trisula. Ia menghujamkannya, dan kali ini tak ada yang akan menghentikannya. Ia bersiap untuk menusuk Thor, tepat di wajahnya. Thor terkapar di sana, putus asa. Ia merasa inilah saat terakhirnya.




BAB TUJUH


Gwen berlutut di sisi Godfrey dalam pondok yang sempit. Illepra di sisinya, dan ia merasa tak tahan lagi. Ia mendengar kakaknya merintih berjam-jam, melihat wajah Illepra semakin gelap dengan kedukaan, seolah yakin bahwa kakaknya akan mati. Ia merasa putus asa, hanya terduduk di sana. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Apapun itu.

Tak hanya karena ia dipenuhi rasa bersalah dan khawatir terhadap Godfrey – namun juga kepada Thor. Ia tak dapat menyingkirkan bayangan Thor yang bertempur di medan perang – dijebak masuk perangkap Gareth, hampir tewas. Ia merasa harus menolong Thor dengan berbagai cara. Ia merasa hampir gila jika hanya duduk di sana.

Gwen mendadak berdiri dan bergegas menyeberangi ruangan.

“Mau ke mana kau?” tanya Illepra, suaranya meluncur dari gumaman doa-doa.

Gwen melihat ke arahnya.

“Aku akan kembali,” katanya. “Aku harus mencoba melakukan sesuatu.”

Ia membuka pintu dan berlari keluar, menuju udara senja dan matanya menjadi silau: langit dihiasi warna merah dan ungu, matahari kedua terbenam bagai bola kehijauan di cakrawala. Akorth dan Fulton, untungnya, masih berdiri di sana, waspada. Mereka tercengang dan memandang kepadanya dengan rasa prihatin.

“Apakah dia akan hidup?” tanya Akorth.

“Aku tak tahu,” jawab Gwen. “Tetap di sini. Waspadalah.”

“Dan kau mau ke mana?” tanya Fulton.

Sebuah gagasan muncul saat ia memandang langit merah darah, merasakan aroma mistis di udara. Ada satu orang yang mungkin bisa menolongnya.

Argon.

Jika ada satu orang yang bisa Gwen percayai, satu orang yang menyayangi Thor dan tetap setia pada ayahnya, seseorang yang punya kekuatan untuk menolongnya dengan cara apapun, itu pastilah dia.

“Aku perlu menemui seseorang yang spesial,” katanya.

Ia berbalik dan bergegas, menyeberangi tanah lapang, menyentakkan kaki, berlari, menelusuri kembali jalan menuju pondok Argon.

Ia sudah tak pernah ke sana lagi selama bertahun-tahun, bahkan sejak ia masih kecil. Tapi Gwen ingat Argon tinggal di sebuah tanah lapang terpencil dan berbatu. Ia terus berlari, hampir kehabisan nafas saat tanah lapang makin gersang, makin berangin, rerumputan berubah menjadi kerikil, lalu bebatuan. Angin bertiup kencang, dan saat ia melangkah pemandangan semakin menyeramkan, ia merasa sedang berjalan di permukaan sebuah bintang.

Akhirnya ia sampai di pondok Argon, kehabisan nafas dan mengetuk pintu. Tak ada gagang pintu di sana, tapi Gwen tahu inilah tempatnya.

“Argon!”serunya. “Ini aku! Putri MacGil! Biarkan aku masuk! Aku memberi perintah padamu!”

Ia terus mengetuk, tapi satu-satunya jawaban adalah hembusan angin.

Akhirnya ia menangis, tak berdaya. Langit merah darah berubah menjadi senjakala. Gwen berbalik dan berjalan menuruni bukit. Ia menghapus air mata dari wajahnya sambil berjalan, putus asa ke mana ia harus pergi selanjutnya.

“Tolong ayah,” serunya sambil memejamkan mata.”Berikan aku tanda. Tunjukkan padaku ke mana aku harus pergi. Tunjukkan apa yang harus kulakukan. Tolong jangan biarkan putramu mati hari ini. Dan tolong jangan biarkan Thor mati. Kalau kau sayang padaku, jawablah aku.”

Gwen berjalan membisu, mendengarkan angin. Tiba-tiba sebuah inspirasi melintas di benaknya.

Danau. Danau Kesedihan.

Tentu saja. Danau itu adalah tempat siapapun berdoa untuk seseorang yang sedang sekarat. Itu adalah danau kecil berair jernih di tengah Hutan Merah, dikelilingi pepohonan tinggi yang menjulang ke langit. Tempat itu suci.

Terima kasih ayah karena telah menolongku, pikir Gwen.

Ia merasa ayahnya ada bersama dengannya, lebih dari sebelumnya. Ia melesat cepat, berlari menuju Hutan Merah, menuju danau yang akan mendengarkan kesedihannya.



*



Gwen berlutut di tepi Hutan Merah, lututnya menimpa pinus lembut berwarna merah yang mengelilingi air seperti cincin. Ia memandang ke air yang tenang, air paling tenang yang pernah dilihatnya, memantulkan bulan yang baru terbit. Itu adalah bulan utuh, purnama, lebih bulat daripada yang pernah dilihatnya. Sementara matahari kedua sedang terbenam, bulan telah terbit, menempatkan keduanya di langit Cincin. Matahari dan bulan terpantul bersamaan, saling berhadapan di dalam danau. Dan Gwen merasakan kesakralan saat itu. Itu adalah jendela antara akhir dan awal hari. Di sini di saat dan tempat yang sakral ini, apapun menjadi mungkin.

Gwen berlutut di sana, menangis, berdoa untuk semua yang dicintainya. Semua peristiwa beberapa hari terakhir terlalu membebaninya, dan ia mengungkapkan semuanya. Ia berdoa untuk kakaknya, juga untuk Thor. Ia tak bisa melepaskan bayangan akan kehilangan mereka berdua malam ini, tentang tak memiliki siapapun kecuali Gareth. Ia tak tahan memikirkan bahwa dirinya akan berlayar untuk dinikahkan dengan orang barbar. Ia merasa hidupnya runtuh, dan ia butuh jawaban. Lebih dari itu, ia butuh harapan.

Ada banyak orang di kerajaannya yang berdoa pada Dewa Danau, Dewa Hutan, Dewa Gunung, atau Dewa Angin – tapi Gwen tak pernah mempercayai semuanya. Ia, seperti Thor, adalah beberapa yang melawan kepercayaan umum di kerajaannya dan mengikuti jalur radikal dengan mempercayai satu Tuhan, satu zat yang menguasai seluruh jagat. Kepada Tuhan inilah Gwen berdoa.

Kumohon Tuhan, doa Gwen. Kembalikan Thor padaku. Jaga agar ia selamat dalam pertempuran. Biarkan ia bebas dari kesulitan. Tolong biarkan Godfrey hidup. Dan tolong lindungilah aku – jangan biarkan aku dibawa pergi dari sini, dinikahkan dengan orang liar itu. Akan kulakukan apapun. Berilah aku tanda. Tunjukkan apa yang Kau inginkan dariku.

Gwen berlutut di sana untuk beberapa saat, tak mendengar apapun kecuali suara angin bertiup melalui tingginya pohon pinus tak berujung di Hutan Merah. Ia mendengar deritan ranting yang berayun di kepalanya, ujung-ujungnya menyentuh danau.

“Berhati-hatilah dengan apa yang kau minta,” ujar sebuah suara.

Ia berputar, tersentak dan terkejut melihat seseorang berdiri di sana, tak jauh darinya. Awalnya ia ketakutan, namun ia segera mengenali suara itu. Sebuah suara yang sangat tua, lebih tua dari pepohonan, lebih tua dari bumi dan hatinya merasa tenang saat ia menyadari siapa pemilik suara itu.

Ia berbalik dan melihat orang itu berdiri, mengenakan jubah dan tudung putih, mata berkilauan, menyala menatapnya seakan hendak menjelajahi jiwa Gwen. Ia memegang tongkatnya, mengangkatnya ke arah matahari dan bulan.

Argon.

Gwen berdiri dan memandangnya.

“Aku mencarimu,”katanya. “Aku datang ke pondokmu. Apa kau tak mendengarku mengetuk pintu?”

“Aku mendengar segalanya,” jawabnya misterius.

Gwen terdiam, heran. Wajah Argon tampak datar.

“Katakan padaku apa yang harus aku lakukan,” katanya. “Aku akan lakukan apapun. Tolong, jangan biarkan Thor mati. Kau tak bisa membiarkan dia mati!”

Gwen melangkah ke muka dan meraih pergelangan tangan Argon, memohon. Tapi saat Gwen menyentuhnya, ia dikejutkan oleh panas yang membara, menjalar melalui pergelangan tangan hingga ke tangannya. Gwen mundur, tak mampu melawan energi itu.

Argon mendesah, berpaling darinya dan melangkah mendekati danau. Ia berdiri di sana menatap ke air, cahaya terpantul di matanya.

Gwen berjalan ke sisinya dan berdiri terdiam di sana beberapa saat lamanya, menunggu sampai Argon siap untuk bicara.

“Tak mungkin mengubah takdir,” katanya.”Harganya akan sangat mahal bagi orang yang memintanya. Kau ingin menyelamatkan nyawa. Itu perbuatan mulia. Tapi kau tak bisa menyelamatkan dua nyawa. Kau harus memilih.”

Ia berbalik dan menatap Gwen.

“Siapa yang kau selamatkan, Thor atau kakakmu? Salah satu dari mereka harus mati. Itu sudah digariskan.”

Gwen merasa terkejut mendengarnya.

“Pilihan macam apa itu?” tanyanya. “Dengan menyelamatkan satu orang, aku mengorbankan lainnya.”

“Tidak,” kata Argon. “Mereka berdua ditakdirkan untuk mati. Maafkan aku. Tapi inilah takdir mereka.”

Gwen merasa seolah sebuah belati menusuk perutnya. Mereka berdua harus mati? Itu sangat buruk untuk dibayangkan. Mungkinkah takdir bisa begitu kejam?

“Aku tak bisa memilih salah satu,” katanya, lemah. “Cintaku untuk Thor lebih kuat, tentu saja. Tapi Godfrey adalah daging dan darahku. Aku tak memahami gagasan satu mati demi yang lainnya. Dan ku pikir tak seorang pun dari mereka yang menginginkannya.”

“Jadi mereka berdua harus mati,” jawab Argon.

Gwen merasa dirinya dipenuhi luapan kepanikan.

“Tunggu!” serunya, saat Argon mulai berbalik meninggalkannya.

Ia berbalik dan menatap ke arah Gwen.

“Bagaimana denganku?” tanyanya. “Bagaimana seandainya aku menggantikan mereka? Mungkinkah itu? Dapatkah mereka berdua hidup, dan aku yang akan mati?”

Argon menatap Gwen sangat lama, seperti hendak meraih kedalamannya.

“Hatimu suci,” katanya. “Kau adalah yang paling baik hati di antara keturunan MacGil. Ayahmu telah bijaksana memilihmu. Dia benar...”

Suara Argon meluncur saat ia terus menatap mata Gwen. Gwen merasa tak enak. Ia tak berani membalas tatapannya.

“Karena pilihanmu, karena pengorbanan yang kau buat malam ini,” kata Argon, “takdir telah mendengarmu. Thor akan selamat malam ini. Juga kakakmu. Kau juga akan hidup. Tapi ada bagian kecil dari hidupmu yang harus diambil. Ingat, selalu ada harga. Kau akan menjalani setengah kematian sebagai ganti atas nyawa mereka berdua.”

“Apa maksudnya?” tanyanya dicekam terror.

“Semuanya selalu ada harganya,” jawabnya. “Kau punya pilihan. Apakah kau tidak ingin melakukannya?”

Gwen mematung.

“Akan kulakukan apapun untuk Thor,” katanya. “Dan untuk keluargaku.”

Argon menatapnya.

“Thor memiliki nasib yang baik,” kata Argon. “Tapi takdir dapat berubah. Itu tertulis dalam bintang kita. Tapi takdir diatur oleh Tuhan. Tuhan dapat mengubah takdir. Thor ditakdirkan mati malam ini. Ia akan hidup hanya karenamu. Kau yang akan membayar harga atas nyawanya. Dan itu sangat mahal.”

Gwen ingin tahu lebih banyak, dan ia bergegas menuju ke arah Argon. Tapi saat ia mendekatinya mendadak sebuah cahaya menyambar dan Argon menghilang.

Gwen berputar, mencari Argon ke segala arah, namun ia tak ada di mana pun.

Ia akhirnya berbalik dan menatap ke arah danau. Sangat sunyi, seperti tak ada apapun yang pernah terjadi. Ia memandangi pantulan bayangannya di sana, dan ia memandangnya lama. Ia merasa dirinya dipenuhi rasa syukur, dan akhirnya, sebersit rasa damai. Tapi ia juga tak dapat menghindar dari rasa cemas tentang masa depannya. Ia berusaha menghapusnya dari pikirannya, tapi yang timbul adalah sebuah pertanyaan: apa harga yang harus ia bayar untuk nyawa Thor?




BAB DELAPAN


Thor terbaring di tanah di tengah pertempuran, diserang oleh para prajurit McCloud, putus asa, medengar denting peperangan, ringkikan kuda-kuda, rintihan orang sekarat di sekelilingnya. Matahari yang terbenam dan bulan yang terbit – bulan purnama, lebih penuh daripada yang pernah dilihatnya – tiba-tiba dihalangi oleh seorang prajurit besar, yang melangkah maju dan mengacungkan trisulanya dan bersiap untuk menusukkannya. Thor tahu ajalnya telah tiba.

Thor menutup matanya, bersiap untuk mati. Ia tidak merasa takut. Hanya penyesalan. Ia ingin punya lebih banyak waktu untuk hidup; ia ingin tahu siapa dirinya, apa takdirnya, dan terlebih lagi, ia ingin lebih lama lagi bersama Gwen.

Thor merasa tak adil karena harus mati seperti ini. Tidak di sini. Tidak dengan cara ini. Bukan hari ini. Ajalnya belum tiba. Thor bisa merasakannya. Ia belum siap.

Thor mendadak merasa sesuatu bangkit di dalam dirinya: sebuah keganasan, kekuatan yang belum pernah diketahuinya. Sekujur tubuhnya bergetar dan menjadi panas saat ia merasakan sebuah sensasi baru meluncur melalui dirinya, dari ujung telapak kakinya, kakinya, hingga ke betisnya dan meluncur melalui tangannya, sampai ujung jemarinya terbakar, akibat sebuah energi yang tak bisa dipahaminya. Thor mengejutkan dirinya sendiri dengan mengeluarkan raungan ganas, bagaikan naga yang bangkit dari kedalaman perut bumi.

Thor merasa ada kekuatan sepuluh pria bekerja dalam dirinya saat ia melepaskan diri dari cengkeraman para prajurit dan melompat. Sebelum prajurit itu menusukkan trisulanya, Thor melangkah ke muka, meraih helmnya dan memukulinya, mematahkan hidungnya menjadi dua. Lalu ia menandang keras prajurit itu sampai ia terlempar seperti meriam, mengenai sepuluh orang prajurit.

Thor bergetar oleh sebuah kekuatan baru saat ia meraih seorang prajurit, mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparkannya ke tengah kerumunan, menjatuhkan lusinan prajurit seperti biji boling. Thor lalu menggapai dan meraih sebuah cambuk dengan rantai sepanjang sepuluh kaki dari tangan seorang prajurit, mengayunkannya tinggi-tinggi, terus-menerus, hingga jeritan terdengar di sekelilingnya, menjatuhkan semua prajurit dengan radius sepuluh kaki, jumlahnya lusinan.

Thor merasa kekuatannya terus memuncak, dan ia membiarkan kekuatan itu mengambil alih. Beberapa pria kembali mendekatinya, ia mengangkat telapak tangannya, terkejut merasakan sebuah getaran dan melihat sebuah kabut dingin keluar dari situ. Para penyerangnya mendadak berhenti, tertutup oleh es. Mereka membeku, terhalangi oleh es.

Thor mengarahkan telapak tangannya ke segala arah, dan para prajurit itu membeku. Seolah bongkahan es telah berjatuhan di medan pertempuran.

Thor beralih ke rekan-rekan setimnya, dan melihat beberapa prajurit hendak menikam Reece, O’Connor, Elden dan si kembar. Ia mengarahkan telapak tangannya ke arah mereka dan membekukan para penyerang mereka, menyelamatkan saudara-saudaranya dari kematian. Mereka berbalik dan menatapnya, lega dan rasa terima kasih terpancar dari mata mereka.

Pasukan McCloud mengetahuinya dan menjadi waspada saat mendekati Thor. Mereka mulai membuat jarak yang aman di sekitarnya, semua ksatria khawatir berada terlalu dekat dengan Thor saat mereka melihat lusinan teman mereka membeku di medan pertempuran.

Namun terdengarlah sebuah raungan, seorang pria melangkah ke muka, posturnya lima kali lebih besar daripada yang lainnya. Tingginya sekitar empat belas kaki, dan ia membawa sebilah pedang yang lebih besar daripada yang pernah Thor lihat. Thor mengangkat telapak tangannya untuk membekukannya – namun tak berhasil. Ia hanya menangkis energi Thor ke samping seperti mengusir serangga, dan terus mendekat ke arah Thor. Thor lalu menyadari kalau kekuatannya belum sempurna. Ia terkejut, dan tak mengerti mengapa ia tidak cukup kuat menghentikan pria itu.

Raksasa itu meraih Thor dengan tiga langkah, membuat Thor terkesiap dengan kecepatannya, dan kemudian mengangkat dan melemparkan Thor.

Thor terjatuh keras ke tanah, sebelum ia dapat bangkit, raksasa itu sudah di atasnya, mengangkat tubuh Thor di atas kepalanya dengan kedua tangannya. Raksasa itu melontarkannya, dan pasukan McCloud berseru kegirangan saat Thor terlontar di udara sejauh duapuluh kaki sebelum mendarat dan terhempas ke tanah, terguling-guling sampai akhirnya ia berhenti. Thor merasa semua tulang rusuknya seperti hendak patah.

Thor menengadah dan melihat raksasa itu sedang bersiap menyerangnya, dan kali ini tak ada apapun yang bisa ia lakukan. Segala kekuatan yang dimilikinya telah sirna.

Ia menutup matanya.

Tuhan, tolonglah aku.

Saat raksasa itu menyerangnya, Thor mulai mendengar dengungan tanpa suara di pikirannya, dengungan itu semakin kuat, lalu menjadi sebuah dengungan di luar pikirannya, di jagad raya. Ia merasakan sebuah sensasi aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, ia merasa menyatu dengan materi dan susunan udara, ayunan pepohonan, gerakan rerumputan. Ia merasakan dengungan hebat di antara mereka, dan saat ia mengangkat telapak tangannya, ia merasa seolah sedang mengumpulkan semua dengungan itu dari seluruh penjuru jagad raya, memerintahkannya untuk melakukan kehendaknya.

Thor membuka matanya saat mendengar sebuah dengungan hebat di atas kepalanya, dan takjub saat melihat sekumpulan besar lebah berkumpul di langit. Mereka datang dari segala arah, dan saat ia mengangkat tangannya, ia merasa sedang memerintah mereka. Ia tak tahu bagaimana ia melakukannya, tapi ia benar-benar melakukannya.

Thor menggerakkan tangannya ke arah si raksasa, dan saat ia melakukannya, ia melihat sekumpulan lebah menggelapkan angkasa, menukik ke bawah dan mengerubungi si raksasa. Raksasa itu mengibaskan dan memukulkan tangannya ke sana kemari, lalu memekik, saat mereka mengerumuninya, menyengatnya ribuan kali sampai lututnya limbung dan ia terjatuh dengan wajah menyentuh tanah, mati. Tanah bergetar saat tubuhnya berdebam ke tanah.

Thor kemudian mengarahkan tangannya ke arah pasukan McCloud, yang sedang terduduk di kuda mereka, menatap ke arahnya, menatap kejadian itu, syok. Mereka mulai melarikan diri – tapi rekasi mereka terlambat. Thor mengayunkan telapak tangannya ke segala arah, dan kerumunan lebah meninggalkan si raksasa dan mulai menyerang para prajurit.

Pasukan McCloud berteriak ketakutan saat melarikan diri, tersengat ribuan kali oleh kerumunan lebah. Segera saja medan pertempuran itu menjadi kosong karena para prajurit berusaha kabur secepat mungkin. Beberapa tak dapat melarikan diri, prajurit demi prajurit berjatuhan, memenuhi tanah lapang itu dengan mayat.

Saat orang-orang yang selamat berusaha kabur, kerumunan lebah mengejar mereka hingga menyeberangi tanah lapang, jauh ke cakrawala. Dengungan suara lebah bercampur baur dengan ringkikan kuda dan jeritan ketakutan para serdadu.

Thor takjub: dalam beberapa menit, medan pertempuran itu terasa lengang dan sunyi. Yang terdengar hanyalah rintihan serdadu McCloud yang terluka, terkapar tak berdaya. Thor memandang sekeliling dan memandang teman-temannya, yang kelelahan dan bernapas tersengal-sengal. Tubuh mereka tampak memar dan mengalami luka ringan, tapi tidak apa-apa. Selain itu, tentu saja, tiga anggota Legiun yang tak dikenalnya terkapar tewas.

Terdengar suara keras di cakrawala, dan Thor berbalik ke arah itu. Memandang Tentara Kerajaan berkuda menaiki bukit mendekati mereka, Kendrick berada di muka. Mereka memacu kuda ke arah Thor dan kawan-kawannya, satu-satunya penyintas di medan berdarah ini.

Thor berdiri di sana, terkejut, menatap mereka yang berjalan mendekatinya, Kendrick, Kolk, Brom, dan yang lainnya. Mereka disertai oleh lusinan Kesatuan Perak, para ksatria hebat dari Tentara Kerajaan. Mereka melihat Thor dan yang lainnya berdiri sendirian di sana, dengan bangga di medan berdarah, di tengah-tengah ratusan mayat McCloud. Ia dapat melihat keheranan, penghargaan, kekaguman mereka. Ia dapat melihatnya di mata mereka, sesuatu yang ia inginkan sepanjang hidupnya.

Dia pahlawan.




BAB SEMBILAN


Erec menunggang kudanya, memacunya menuruni Jalur Selatan, berkuda lebih cepat daripada sebelumnya, berusaha sebisanya untuk menghindar dari lubang-lubang di jalan di tengah malam. Ia telah berkuda sejak mendengar kabar penculikan Alistair, untuk dijual sebagai budak dan dibawa ke Baluster. Ia tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Ia telah bodoh dan naïf untuk memercayai penjaga penginapan itu, mengira ia akan menepati perkataannya, akan menepati kesepakatan mereka dan membebaskan Alistair begitu ia memenangkan perlombaan. Kata-kata Erec adalah kehormatan baginya, dan ia mengira kata-kata orang lain juga demikian. Itu adalah kesalahan yang tolol. Dan Alistair yang harus membayarnya.

Hati Erec terluka ketika ia membayangkan Alistair, dan ia pun menendang kudanya lebih keras. Wanita yang cantik dan mempesona, dulu ia menderita karena bekerja di bawah perintah penjaga penginapan – dan sekarang ia dijual sebagai budak, dan lebih-lebih lagi sebagai budak seks. Pemikiran itu membuatnya murka, dan ia merasa bertanggung jawab. Jika Erec tak pernah muncul dalam hidupnya, tak pernah menawarkan diri untuk membawanya, mungkin di penjaga penginapan itu tak akan melakukan hal ini.

Erec terus memacu kudanya melintasi malam, hanya suara ringkikan kudanya yang terdengar, memenuhi telinganya bersama suara napas kudanya yang tersengal-sengal. Kudanya tampaknya kelelahan, dan Erec khawatir ia akan membuat kudanya terkapar. Erec pergi ke penginapan sesudah turnamen, tidak berhenti sedikitpun, dan letih. Ia sangat ingin beristirahat dan turun dari kudanya. Namun ia memaksa matanya untuk tetap terbuka, memaksa dirinya untuk tetap terjaga, sambil tetap memacu kudanya di bawah sisa bulan purnama, ke arah selatan menuju Baluster.

Erec telah mendengar tentang Baluster di sepanjang hidupnya, meski ia belum pernah ke sana. Kabar burung mengatakan tempat itu terkenal dengan perjudian, opium, seks dan segala keliaran yang dapat dibayangkan di kerajaan. Di sanalah di mana semua ketidakpuasan dikumpulkan dari segala penjuru Cincin, untuk menikmati segala jenis pesta-pora kelam yang diketahui pria. Tempat itu adalah kebalikan dirinya. Erec tak pernah berjudi dan jarang minum. Ia lebih suka menghabiskan waktu luangnya untuk berlatih, mengasah ketrampilannya. Ia tak dapat memahami jenis orang-orang yang menyukai kemalasan dan pesta-pora, seperti kebiasaan para pengunjung Baluster. Datang ke tempat itu bukanlah suatu hal yang baik untuknya. Tak ada apapun yang baik di situ. Bayangan tentang Alistair di tempat seperti ini membuat hatinya murung. Ia harus menyelamatkannya sesegera mungkin, dan membawanya jauh dari sini, sebelum terjadi sesuatu.

Saat bulan tergelincir di langit, jalan tampak melebar dan lebih baik. Erec memperoleh kesan pertama tentang kota itu: obor-obor yang tak terhitung jumlahnya menyinari dindingnya membuat kota itu tampak seperti api unggun di malam hari. Erec tidak terkejut: para penduduknya digosipkan tetap terjaga di malam hari.

Erec berkuda lebih cepat dan kota semakin dekat. Ia memacu kudanya di atas sebuah jembatan kecil terbuat dari kayu, obor menyala di kedua sisinya, seorang penjaga terkantuk-kantuk di posnya dan ia terkejut saat Erec melewatinya dengan mendadak. Penjaga itu berteriak: “HEI!”

Tapi Erec tidak melambatkan kudanya. Jika pria itu dengan penuh percaya diri mengerjar Erec – dan Erec meragukannya – ia akan memastikan bahwa itu adalah hal terakhir yang dilakukan pria itu.

Erec memacu kudanya menuju pintu gerbang yang besar dan terbuka yang mengarah ke sebuah pelataran yang dikelilingi tembok batu kuno. Saat ia masuk, ia melewati jalan-jalan sempit yang terang oleh obor. Bangunan dibangun berdekatan, menjadikan kota itu tampak sempit dan mendatangkan sensasi klaustrofobia. Jalanan dipenuhi orang, dan hampir semuanya tampak mabuk, berjalan sempoyongan, berseru dengan suara lantang, saling berdesakan. Kelihatannya seperti ada sebuah pesta besar. Semua bangunan di tempat itu adalah kedai minum atau rumah judi.

Erec tahu ia berada di tempat yang benar. Ia dapat merasakan kehadiran Alistair di sini, di suatu tempat. Ia menelan ludahnya, berharap ia belum terlambat.

Ia menuju ke sebuah tempat yang tampaknya adalah kedai minum terbesar di kota itu. Orang-orang tampak berdesakan di luar, dan ia merasa ini adalah tempat terbaik untuk memulai pencariannya.

Erec turun dari kudanya dan bergegas masuk ke dalam, ia menyikut orang-orang mabuk yang menghalangi jalannya dan sampailah ia di hadapan seorang penjaga penginapan yang berdiri di tengah ruangan. Ia menulis nama orang-orang dan mengambil koin mereka, lalu mengarahkan mereka menuju kamar-kamar. Ia adalah sosok yang kurus dan menyunggingkan senyuman palsu, berkeringat dan menggosok-gosokkan tangannya setiap kali ia selesai menghitung koinnya. Ia menatap Erec, senyuman palsu terbentuk di wajahnya.

“Kamar,tuan?” tanyanya. “Atau kau ingin perempuan?”

Erec menggelengkan kepalanya dan mendekati pria itu, berbisik di dalam keremangan cahaya.

“Aku mencari seorang pedagang,” kata Erec. “Seorang pedagang budak. Ia datang ke sini dari Savaria kemarin atau sebelumnya. Ia membawa muatan yang berharga. Muatan manusia.”

Pria itu membasahi bibirnya.

“Yang kau cari adalah sebuah informasi berharga,” kata pria itu. “Aku bisa menjawabnya, semudah aku menyediakan kamar.”

Pria itu menyodorkan tangannya dan menjentikkan kedua jarinya, dan menadahkan tangannya. Ia menatap ke arah Erec dan tersenyum, keringat membasahi bagian atas bibirnya.

Erec merasa jijik dengan pria itu, tapi ia menginginkan informasi, dan tak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Jadi ia merogoh kantongnya dan memberikan sebuah koin emas besar di tangan pria itu.

Mata pria itu terbuka lebar saat ia mengenali koin itu.

“Koin emas Raja,”katanya kagum.

Ia menatap Erec dari atas ke bawah dengan tatapan hormat dan heran.

“Apakah kau datang dari Istana Raja?” tanyanya.

“Cukup,” kata Erec. “Aku hanya bertanya. Aku sudah membayarmu. Sekarang katakan padaku: di mana pedagang itu?”

Pria itu menjilat bibirnya beberapa kali, lalu membungkuk ke arahnya.

“Orang yang kau cari bernama Erbot. Ia datang ke sini seminggu sekali dengan sekumpulan pelacur baru. Ia menjual mereka pada penawar tertinggi. Kau akan menemukan dia di pondoknya. Ikuti jalan ini sampai ke ujung, dan kau akan temukan rumahnya di sana. Tapi jika gadis yang kau cari cukup berharga, ia mungkin sudah tidak ada. Pelacur-pelacurnya cepat laku.”

Erec baru berbalik hendak pergi, ketika ia merasakan sebuah sentuhan hangat dan tangan berlemak di pergelangan tangannya. Saat ia berpaling, ia terkejut karena si penjaga penginapan yang telah menggandengnya.

“Kalau kau mencari pelacur, mengapa tidak coba punyaku? Mereka juga bagus seperti punya Erbot, separuh harga pula.”

Erec menyeringai ke arah pria itu, murka. Jika ada waktu, pasti ia sudah membunuh pria itu untuk mengamankan dunia ini dari orang seperti dia. Tapi ia mengampuni pria itu, dan memutuskan ia tak sebanding.

Erec melepaskan tangannya, lalu mendekat ke arahnya.

“Kalau tanganmu menyentuhku lagi,” ancam Erec, “kau akan berharap bahwa kau tak pernah melakukannya. Sekarang menyingkirlah dari hadapanku sebelum aku membinasakanmu.”

Penjaga penginapan itu menunduk, matanya terbuka dengan penuh rasa takut, dan ia mengambil langkah mundur.

Erec berbalik dan berlari meninggalkan ruangan, menyikut dan mendorong untuk membuka jalan keluarnya dan menuju pintu ganda. Ia belum pernah merasa semuak ini dengan sekelompok manusia.

Erec mencari kudanya kudanya, yang mendengkik dan meringkik ke arah para pemabuk yang lewat dan menatapnya – tak diragukan lagi, pikir Erec, mereka mencoba mencuri kudanya. Ia heran apakah orang-orang itu mengira bahwa ia tidak akan kembali. Dan ia akan mengingat untuk mengikat kudanya dengan lebih aman di tempat berikutnya. Ia terheran-heran dengan keliaran kota ini. Untungnya, Warkfin, kudanya, adalah kuda yang tangguh. Dan jika ada seseorang yang hendak mencurinya, ia akan menendang mereka sampai mati.

Erec menendang Warkfin, dan mereka meluncur di jalan yang sempit. Erec berusaha sebisanya untuk menghindari kerumunan orang. Malam sudahlarut, tapi jalan semakin padat dengan kerumunan orang. Orang-orang dari segala ras saling menggoda satu sama lain. Beberapa penjaga yang mabuk berseru ke arahnya saat ia melewati mereka dengan cepat, tapi ia tak peduli. Ia dapat merasakan Alistair ada dalam jangkauannya dan ia tak akan berhenti sampai berhasil mendapatkannya kembali.

Jalanan berakhir di sebuah dinding batu, dan bangunan terakhir di sebelah kanan adalah sebuah kedai minum yang bobrok dengan dinding tanah liat putih dan atap jerami, yang nampaknya telah melewati masa keemasannya. Dari penampilan orang-orang yang keluar masuk, Erec merasa inilah tempat yang tepat.

Erec turun dari kudanya, mengikat kudanya dengan aman di sebuah pos, dan melesat masuk melalui pintu. Waktu ia masuk, ia berhenti, terpana.

Tempat itu remang-remang, satu ruangan besar dengan beberapa obor berkedip di dinding dan api yang hampir redup di perapian. Permadani digelar dimana-mana, di sana terbaring sejumlah wanita, hampir telanjang, diikat oleh tali tebal satu sama lain ke dinding. Mereka tampak sedang dibius – Erec dapat mencium bau opium di udara, dan melihat sebuah pipa diedarkan. Beberapa pria berjalan melewati ruangan, menendang dan meraba kaki para wanita di sana sini, seolah sedang memeriksa suatu barang dan memutuskan mana yang akan dibeli.

Jauh di pojokan duduk seorang pria di kursi beludru merah, mengenakan jubah sutra. Para perempuan dirantai di sisinya. Berdiri di belakangnya seorang pria tinggi berotot, wajah mereka penuh bekas luka, mereka lebih tinggi dan besar daripada Erec, tatapannya seolah mereka akan sangat senang jika harus membunuh seseorang.

Erec melangkah ke tengah dan menyadari apa yang sedang terjadi: ini adalah sebuah toko seks, para wanita ini disewakan, dan pria di pojokan itu adalah makelarnya, pria yang telah menculik Alistair – dan mungkin dia juga menculik semua wanita ini. Bahkan mungkin Alistair juga ada di ruangan ini.

Ia segera bertindak, dengan marah bergegas melalui hamparan wanita dan menelusuri mereka satu per satu. Ada lusinan wanita di ruangan ini, beberapa di antaranya pingsan, dan ruangan ini sangat gelap sehingga sulit mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia menatap wajah mereka satu per satu, berjalan di tiap lajur ketika mendadak sebuah telapak tangan besar memukulnya di dadanya.

“Apa kau sudah bayar?” tanya sebuah suara kasar.

Erec mendongak dan melihat seorang pria besar berdiri di depannya, memandangnya marah.

“Kau ingin melihat-lihat wanita ini, kau harus bayar,” bentak pria itu dengan suara berat. “Itu peraturannya.”

Erec melotot ke arah pria itu, merasakan kebencian tumbuh di dalam dirinya. Sebelum pria itu dapat mengedipkan mata, Erec mengulurkan tangan dan mencengkeramnya dengan ujung telapak tangannya, tepat di kerongkongan pria itu.

Pria itu terengah-engah, matanya terbuka lebar, lalu ia terjatuh di lututnya, memegang tenggorokannya. Erec mengulurkan tangannya lagi dan menyodok pelipis pria itu, dan ia terjatuh dengan wajah lebih dulu.

Erec berjalan cepat melalui barisan, menelusuri wajah-wajah para wanita dengan putus asa, mencari Alistair. Tapi ia tak kelihatan. Ia tak ada di sini.

Jantung Erec berdetak keras saat ia bergegas menuju pojok ruangan, kearah pria tua yang duduk di sana, melihat semuanya.

“Sudahkah kau temukan mana yang kau suka?” tanya pria itu.”Sesuatu yang ingin kau tawar?”

“Aku mencari seorang wanita,” kata Erec, suaranya mengeras, mencoba untuk tetap tenang, “dan aku hanya akan mengatakan ini satu kali. Dia tinggi, rambutnya pirang panjang dan matanya hijau kebiruan. Namanya Alistair. Dia dibawa dari Savaria sehari atau dua hari yang lalu. Ada yang bilang dia dibawa ke sini. Benarkah itu?”

Pria itu dengan perlahan menggelengkan kepalanya, muram.

“Barang yang kau cari sudah terjual, sayangnya,” kata pria itu. “Makhluk sempurna. Seleramu bagus. Pilih yang lainnya, dan aku akan memberimu potongan harga.”

Erec murka, merasa sebuah amarah menggelegak dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Siapa yang membawanya?” Erec geram.

Pria itu tersenyum.

“Ya ampun, sepertinya kau hanya ingin budak yang satu itu.”

“Dia bukan budak,” raung Erec. “Dia istriku.”

Pria itu menatapnya kembali, terkejut – kemudian mendongak dan tertawa keras.

“Istrimu! Cantik juga. Tidak lagi, temanku. Sekarang ia mainan milik seseorang.” Lalu wajah penjaga penginapan itu menjadi gelap, berubah semurka iblis, lalu ia memberi isyarat pada tukang pukulnya seraya berkata. “Sekarang bereskan sampah ini.”

Dua orang berotot maju ke muka, dengan kecepatan yang mengejutkan Erec. Keduanya mendekat ke arah Erec dengan segera, menggapaikan tangan hendak mencengkeram dadanya.

Tapi mereka tidak sadar siapa yang mereka serang. Erec lebih cepat daripada mereka berdua, ia menghindar dari mereka, menarik salah satu pergelangan tangan mereka dan memelintirnya ke belakang sampai para pria itu terjatuh dengan punggungnya, kemudian saling menyikut tenggorokan satu sama lain. Erec melangkah ke depan dan membanting leher pria itu ke lantai, membuatnya pingsan. Kemudian membungkuk dan membenturkan kepalanya ke pria yang satunya, tepat di tenggorokannya sampai ia terkapar.

Kedua tukang pukul itu terbaring di sana, pingsan. Lalu Erec melangkahi tubuh mereka ke arah si penjaga penginapan, yang gemetaran di kursinya, matanya terbelalak ketakutan.

Erec mencengkeram rambut pria itu, menyentakkan kepalanya dan mengarahkan belati ke arah tenggorokan pria itu.

“Katakan di mana dia dan aku mungkin akan membiarkanmu hidup,” seru Erec.

Pria itu tergagap.

“Aku akan mengatakannya padamu, tapi kau hanya buang-buang waktu,” jawabnya. “Aku menjualnya pada seorang bangsawan. Ia punya tentara sendiri dan tinggal di kastilnya sendiri. Ia seorang yang sangat berkuasa. Kastilnya tak bisa ditembus. Lagipula prajuritnya sangat banyak. Ia orang yang sangat kaya – ia punya pasukan sewaan yang siap melakukan perintahnya kapanpun. Setiap gadis yang dibelinya, dijaganya. Tak mungkin kau bisa mendapatkannya kembali. Kembalilah ke tempat asalmu. Gadis itu sudah tidak ada.”

Erec menekan belati itu semakin kuat ke tenggorokan pria itu sampai darahnya mulai mengucur, dan pria itu mulai menjerit.

“Di mana bangsawan itu?” desis Erec, kehilangan kesabaran.

“Kastilnya ada di barat kota. Pergilah ke Gerbang Barat kota dan kastil itu tak jauh dari sana. Kau akan melihatnya. Tapi itu sia-sia. Ia membayar banyak uang untuk gadis itu – lebih daripada harga yang seharusnya.”

Erec tak tahan lagi. Tanpa berpikir panjang, ia memotong tenggorokan makelar seks itu, membunuhnya. Darah mengalir di mana-mana saat pria itu terbujur lemas di kursinya, mati.

Erec memandang ke arah mayatnya, ke arah para tukang pukul yang pingsan, dan merasa muak dengan tempat ini. Ia tak percaya tempat semacam ini benar-benar ada.

Erec berjalan menyusri ruangan dan mulai membuka tali yang mengikat semua wanita di situ, memotong tali yang tebal, membebaskan mereka satu per satu. Beberapa bangkit dan berlari ke arah pintu. Ruangan itu menjadi lengang, dan mereka semua berhamburan ke arah pintu. Beberapa terlalu mabuk untuk bangkit dan yang lainnya menolongnya.

“Siapapun dirimu,” satu wanita berkata pada Erec, berhenti sebelum ia keluar dari pintu, “diberkatilah kau. Dan ke manapun kau akan pergi, semoga Tuhan menolongmu.”

Erec menghargai rasa terima kasih dan berkat itu. Dan perasaannya mengatakan, ke mana ia akan pergi sekarang, ia akan membutuhkannya.




BAB SEPULUH


Fajar menyingsing, menyeruak dari jendela kecil pondok Illepra, menerpa mata Gwendolyn yang tertutup, dan membangunkannya perlahan. Matahari pertama yang berwarna jingga pucat, membelainya, membangunkannya di kesunyian pagi. Ia mengejap-ngejapkan matanya beberapa kali, mula-mula merasa bingung, heran ada di mana ia saat itu. Lalu ia pun menyadari:

Godfrey.

Gwen telah jatuh tertidur di lantai pondok, terbaring di kasur jerami dekat pembaringan Godfrey. Illepra tertidur tepat di sisi Godfrey, dan itu adalah malam panjang untuk mereka bertiga. Godfrey merintih sepanjang malam, tubuhnya menggigil dan gelisah. Dan Illepra merawatnya sekuat tenaga. Gwen berusaha membantu sebisanya, membawakan kain basah, memerasnya, mengompreskannya di kening Godfrey dan membawakan Illepra obat-obatan dan salep yang dimintanya terus menerus. Malam itu tampaknya tak pernah berakhir. Berulang kali Godfrey menjerit, dan ia merasa yakin Godfrey sedang sekarat. Berulang kali ia memanggil nama ayah mereka, dan Gwen merasa bergidik. Ia dapat merasakan kehadiran ayahnya, melayang-layang di antara mereka. Ia tak tahu apakah ayahnya ingin anak lelakinya ini hidup atau mati – hubungan mereka tak terlalu baik.

Gwen juga tidur di pondok karena ia tak tahu ke mana harus pergi. Ia merasa dirinya taka man jika kembali ke kastil, berada satu atap dengan kakaknya. Ia merasa aman di sini, di rumah Illepra, dengan Akorth dan Fulton yang berjaga di luar. Ia merasa tak seorang pun tahu di mana ia berada, dan biarlah seperti itu. Lagipula, telah tumbuh ikatan antara dia dan Godfrey dalam beberapa hari terakhir, ia menemukan kakak yang tak pernah dikenalnya, dan menyedihkan saat mengetahui ia sekarat.

Gwen segera berdiri, bergegas ke menuju Godfrey, jantungnya berdetak keras, bertanya-tanya apakah ia masih hidup. Sebagian darinya merasa kakaknya akan terbangun di pagi hari, ia akan hidup. Dan jika tidak, maka berakhirlah segalanya. Illepra terbangun dan menuju ke arahnya. Ia pasti tertidur di tengah malam, Gwen pasti akan memarahinya.

Mereka berdua berlutut di sana, di sisi Godfrey, di dalam pondok kecil yang dipenuhi cahaya. Gwen memegang pergelangan tangannya dan menggoyangkannya, sedangkan Illeppra menyentuhkan tangannya di kening Godfrey. Ia menutup matanya dan bernafas – mendadak Godfrey membuka matanya. Illepra menarik tangannya karena terkejut.

Gwen juga terkejut. Ia tak mengira Godfrey akan membuka matanya. Ia berpaling dan menatap ke arahnya.

“Godfrey?” tanyanya.

Ia menyipitkan matanya, memejamkan mata kemudian membuka mata kembali. Lalu, Gwen takjub, karena Godfrey menyangga tubuhnya dengan satu siku dan menatap mereka.

“Jam berapa ini?” tanyanya. “Di mana aku?”

Suaranya tampak waspada, sehat, dan Gwen merasa sangat lega. Ia tersenyum lebar bersama Illepra.

Gwen mendekap dan menyambut Godfrey, memeluknya, lalu mundur.

“Kau hidup!” serunya.

“Tentu aja,”katanya. “Mengapa tidak? Siapa ini?” tanyanya, berpaling ke arah Illepra.

“Wanita yang menyelamatkanmu,” jawab Gwen.

“Menyelamatkanku?”

Illepra menatap ke lantai.

“Aku hanya membantu sedikit,” katanya ramah.

“Apa yang terjadi padaku?” tanya Godfrey pada Gwen, panik. “Yang terakhir kuingat, aku sedang minum di kedai dan...”

“Kau diracun,” kata illepra. “Sebuah racun yang langka dan sangat kuat. Aku tak pernah menemukannya dalam beberapa tahun ini. Kau beruntung bisa hidup. Kenyataannya, kau satu-satunya yang selamat dari racun itu. Seseorang pasti sangat mengasihimu.”

Mendengar perkataan Illepra, Gwen tahu bahwa ia benar, dan segera ia teringat akan ayahnya. matahari menerobos lewat jendela, lebih kuat, dan ia merasakan kehadiran ayahnya bersama mereka. Ia ingin Godfrey hidup.

“Itu benar,” kata Gwen sambil tersenyum. “Kau sudah berjanji tidak minum-minum lagi. Sekarang lihat apa yang terjadi.”

Ia berpaling dan tersenyum ke arah Gwen. Gwen melihat pipinya kembali hidup dan terasa penuh dengan kelegaan. Godfrey telah kembali.

“Kau telah menyelamatkan aku,” katanya dengan sungguh-sungguh.

Ia melihat ke arah Illepra.

“Kalian berdua,” tambahnya. “Aku tak tahu bagaimana cara membalas kalian.”

Saat ia memandang Illepra, Gwen mengetahui sesuatu – ada sesuatu di mata Godfrey, sesuatu yang lebih daripada rasa terima kasih. Gwen berpaling dan melihat ke arah Illepra, pipinya merona, menunduk – dan Gwen menyadari mereka saling menyukai.

Illepra dengan cepat berbalik dan menyeberangi raungan, memunggungi mereka, menyibukkan diri dengan suatu ramuan.

Godfrey menatap Gwen.

“Gareth?” tanyanya, mendadak menjadi muram.

Gwen mengangguk, paham apa yang ditanyakan Godfrey.

“Kau beruntung kau tidak mati,” katanya. “Tapi Firth.”

“Firth?” Godfrey terdengar heran. “Mati? Bagaimana?”

“Ia menggantungnya di tiang gantungan,” katanya. “Kau seharusnya menyusul.”

“Dan kau?”tanya Godfrey.

Gwen mengangkat bahu.

“Ia berencana menikahkan aku. Ia menjualku ke Nevarun. Tampaknya mereka sedang ada di jalan untuk menjemputku.”

Godfrey terduduk, marah.

“Aku tak akan membiarkannya!” serunya.

“Demikian juga aku,” jawabnya. “Akan kucari jalan.”

“Tapi tanpa Firth kita tidak punya bukti,” katanya. “Kita tak mungkin mengalahkannya. Gareth akan bebas.”

“Kita akan cari jalan keluar,” jawabnya. “Kita akan –“

Mendadak pondok itu dipenuhi dengan cahaya saat pintu terbuka dan masuklah Akorth dan Fulton.

“Tuanku –“ kata Akorth, lalu berpaling ke arah Godfrey.

“Dasar bajingan!” seru Akorth kegirangan ke arah Godfrey. “Aku tahu itu! Kau selalu berpura-pura tentang semuanya – Aku tahu kau juga pura-pura mati!”

“Aku tahu tak ada bir yang bisa mengantarmu ke kuburan!” tambah Fulton.

Akorth dan Fulton berlarian dan saat Godfrey bangkit dari ranjang, mereka berpelukan.

Lalu Akorth berpaling kepada Gwen, serius.

“Tuanku, maafkan aku telah mengganggumu. Tapi kami melihat pasukan di cakrawala. Mereka berkuda ke sini sekarang.”

Gwen menatap mereka dengan waspada, lalu berlari ke luar, berderap dengan sepatunya, menundukkan kepalanya dan mengejap-ngejapkan matanya di terangnya sinar matahari.

Mereka semua berdiri di luar, dan Gwen melihat ke cakrawala ada sekelompok kecil Kesatuan Perak sedang menuju pondok itu. Setengah lusin pria dengan kecepatan tinggi, dan tak diragukan lagi mereka sedang menuju ke pondok.

Godfrey mencari pedangnya, tapi Gwen meletakkan tangannya di pergelangan tangan Godfrey.

“Mereka bukan orang-orang Gareth – mereka anak buah Kendrick. Aku yakin mereka datang dengan damai.”

Para prajurit sampai di depan mereka, dan tanpa banyak bicara, turun dari kuda dan berlutut di depan Gwendolyn.

“Tuanku,” ujar kepala pasukan. “Kami bawakan Anda berita gembira. Kami telah memukul mundur pasukan McCloud! Kakak Anda Kendrick selamat, dan ia memintaku untuk menyampaikan sebuah pesan: Thor baik-baik saja.”

Gwen meneteskan air mata mendengar berita itu, karena rasa syukur dan lega, maju ke muka dan memeluk Godfrey yang juga memeluknya. Ia merasa hidupnya telah bangkit kembali.

“Mereka semua seharusnya pulang hari ini,” lanjut si pembawa pesan, “dan akan ada perayaan besar-besaran di Istana Raja!”

“Itu berita bagus!” seru Gwen.

“Tuanku,” ujar sebuah suara berat. Gwen berpaling dan menatap seorang bangsawan. Seorang pejuang tangguh, Srog, berpakaian merah khas area barat, pria yang dikenalnya sejak kecil. Pria itu dekat dengan ayahnya. Ia berlutut di hadapannya, dan Gwen merasa malu.

“Jangan, Tuan,” kata Gwen, “Jangan berlutut di depanku.”

Ia adalah seseorang yang ternama, seorang bangsawan terkuat yang memiliki ribuan prajurit, dan memerintah kotanya sendiri, Silesia, pemegang kekuasaan daerah Barat. Kota itu tak biasa. dibangun di tebing tepat di ujung Ngarai. Hampir tak tersentuh. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang dipercaya oleh ayahnya.

“Aku berkuda dengan mereka karena kudengar ada perubahan hebat yang terjadi di Istana Raja,” katanya. “Singgasana sedang tidak stabil. Seorang penguasa baru – tegas, penguasa sesungguhnya harus ditempatkan sebagai pengganti. Aku telah mendengar keinginan ayahmu bahwa kau yang seharusnya naik takhta. Ayahmu seperti saudara bagiku, dan kata-katanya adalah pengikatku. Jika itu adalah kehendaknya, maka demikianlah juga kehendakku. Aku datang untuk memberitahukanmu bahwa, jika kau yang seharusnya berkuasa maka orang-orangku akan membantumu. Aku sarankan agar kau segera bertindak. Peristiwa hari ini membuktikan bahwa Istana Raja membutuhkan seorang penguasa baru.”

Gwen berdiri di sana, terpana, tak tahu bagaimana harus berkata. Ia merasa sangat lega dan bangga, namun ia juga merasa sangat lelah.

“Terima kasih, tuan,” katanya. “Aku sangat bersyukur mendengar perkataanmu dan dengan tawaranmu. Aku harus memikirkannya masak-masak. Saat ini, aku hanya ingin menyambut kepulangan kakakku – dan Thor.”

Srog memberi hormat, dan sebuah terompet terdengar di cakrawala. Gwen mendongak dan bisa melihat gumpalan debu: sebuah pasukan besar sedang mendekat. Ia mengangkat satu tangannya untuk menghalangi sinar matahari, dan hatinya merasa lega. Dari sini ia bisa merasakan siapa mereka. Mereka adalah Kesatuan Perak, tentara Raja.

Dan yang berkuda di depan mereka adalah Thor.




BAB SEBELAS


Thor berkuda dengan pasukan, ribuan prajurit mengarah kembali dalam satu iring-iringan menuju Istana Raja, dan ia merasa gembira. Ia masih sulit memahami apa yang sedang terjadi. Ia merasa bangga dengan apa yang sudah ia lakukan, bangga karena meskipun kelihatannya mereka ada di titik terendah dalam pertempuran, ia tidak menyerah pada rasa takutnya, namun tetap berani dan menghadapi para prajurit itu. Dan ia terkejut mengetahui entah bagaimana ia bisa bertahan hidup.

Seluruh pertempuran itu terasa nyata, dan ia sangat bersyukur ia bisa memanggil kekuatannya – namun ia juga bingung, karena kekuatannya tidak selalu bekerja. Ia tidak memahami kekutatannya, dan lebih buruk lagi, ia tidak tahu dari mana kekuatannya berasal atau bagaimana cara mengerahkannya. Ini membuatnya menyadari lebih dari sebelumnya bahwa ia harus belajar untuk mengandalkan keterampilan manusianya juga – untuk menjadi petarung terbaik, prajurit terbaik. Ia mulai menyadari bahwa untuk menjadi prajurit terbaik, ia membutuhkan kedua sisi dirinya – petarung, dan penyihir – jika ia memang demikian.

Mereka berkuda sepanjang malam kembali ke Istana Raja, dan Thor sekarang lebih dari kelelahan, tapi juga gembira. Matahari pertama terbit di cakrawala, hamparan luas langit terbuka depannya dalam nuansa kuning dan merah muda, dan ia merasa seolah-olah sedang melihat dunia untuk pertama kalinya. Ia tidak pernah merasa begitu hidup. Ia dikelilingi oleh teman-temannya, Reece, O’Connor, Elden, dan si kembar; oleh Kendrick, Kolk, dan Brom; dan oleh ratusan anggota Legiun, Kesatuan Perak, dan pasukan Raja. Tapi bukannya berada berada di bagian pinggir iring-iringan itu, sekarang ia berkuda di bagian tengah, dikelilingi oleh mereka semua. Tentu saja, sekarang mereka semua menatapnya secara berbeda sejak pertempuran itu. Sekarang, ia melihat kekaguman bukan hanya di mata sesama anggota Legiunnya, tapi juga di mata para prajurit yang lebih tua. Ia telah melawan seluruh pasukan McCloud sendirian dan membalikkan keadaan.

Thor merasa sangat bahagia karena ia tidak membiarkan seorang pun dari saudara-saudara Legiunnya jatuh. Ia merasa gembira karena teman-temannya berhasil lolos yang sebagian besarnya tidak terluka, dan ia merasa kasihan kepada mereka yang mati dalam pertempurna itu. Ia tidak mengenal mereka, namun ia berharap ia bisa menyelamatkan mereka juga. Itu adalah sebuah pertempuran berdarah dan bengis, dan bahkan sekarang, saat Thor berkuda, kapan pun ia mengedipkan mata, gambarwas just happy that he did not let any of his Legion brothers down. He was happy that his friends had escaped mostly unharmed, and he felt a sense of remorse about those who died in the battle. He did not know them, but he wished he could have saved them, too. It had been a bloody, ferocious battle, and even now, as Thor rode, whenever he blinked, gamabr-gambar itu berkelebat di dalam kepalanya dari pertempuran itu, dari berbagai senjata dan prajurit yang telah menyerangnya. Para McCloud adalah orang-orang yang bengis, dan ia sungguh beruntung; siapa yang tahu apakah ia bisa seberuntung itu jika mereka mereka bertemu lagi. Siapa yang tahu apakah ia bisa memanggil kekuatan itu lagi. Ia tidak tahu apakah kekuatannya bisa datang kembali. Ia membutuhkan jawaban. Dan ia harus menemukan ibunya. Ia perlu tahu siapakah sesungguhnya dirinya. Ia harus mencari Argon.

Krohn mendengking di belakangnya, dan Thor membungkuk lalu membelai kepalanya, sementara Khron menjilat telapak tangannya. Thor merasa lega Krohn baik-baik saja. Thor membawanya dari medan pertempuran dan menaruhnya di atas kuda di belakang punggungnya; Krohn kelihatannya bisa berjalan, tapi Thor menginginkan Krohn untuk beristirahat dan memulihkan tubuhnya selama perjalanan pulang yang panjang. Serangan yang dialami Krohn sangat keras, dan bagi Thor kelihatannya Krohn mengalami patah tulang. Thor hampir tidak bisa mengucapkan terima kasih kepada Krohn, yang terasa lebih seperti saudara baginya daripada binatang, dan yang telah menyelamatkan hidupnya lebih dari sekali.

Ketika mereka naik ke sebuah bukit dan terhamparlah kerajaan yang membentang di depan mereka, muncullah pemadangan hamparan kota dari Istana Raja yang mulia, dengan puluhan menara dan puncaknya, dengan dinding batu kunonya dan jembatan angkat yang sangat besar. Dengan gerbang melengkungnya dan ratusan tentara yang berjaga di tembok pembatas dan di jalan, mengitari lahan pertanian, dan tentu saja Kastil Raja di bagian tengahnya. Thor segera ingat akan Gwen. Dia telah membuat dirinya bertahan di pertempuran, dia telah memberi dirinya alasan dan tujuan untuk hidup. Dengan mengetahui bahwa dirinya telah dijebak dan dikepung, Thor tiba-tiba mengkhawatirkan nasibnya juga. Ia berharap dia baik-baik saja di sana, bahwa serangan apa pun yang membuatnya terlibat dalam pengkhianatan ini akan membiarkan dia tidak tersentuh.

Thor mendengar sorakan di kejauhan, melihat sesuatu berkilauan dalam cahaya. Dan saat ia menyipitkan matanya di puncak bukit, ia menyadari bahwa sebuah kerumunan besar terbentuk di cakrawala, di depan Istana Raja, berbaris di jalanan, melambai-lambaikan bendera. Orang-orang berkumpul dalam jumlah besar untuk menyambut mereka.

Seseorang meniupkan terompet, dan Thor menyadari bahwa mereka disambut pulang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak mereasa seperti orang asing.

“Terompet itu bersuara untukmu,” ujar Reece, berkuda di sampingnya, menepuk punggungnya dan menatapnya dengan keseganan baru. “Kau adalah jawara dari pertempuran ini. Kau adalah pahlawan bagi orang-orang sekarang.”

“Bayangkan, salah satu dari kita, seorang anggota Legiun biasa, mengobrak-abrik Pasukan McCloud,” tambah O’Connor dengan bangga.

“Kau melakukan kemuliaan besar bagi seluruh Legiun,” kata Elden. “Sekarang mereka harus memandang kita semua dengan sangat serius.”

“Jangan lupa, kau menyelamatkan nyawa kita,” tambah Conval.

Thor mengangkat bahu, merasa sangat bangga, tapi juga tidak memperbolehkan semua ini merasuki kepalanya. Ia tahu bahwa ia adalah manusia, lemah dan rapuh, seperti yang lain. Dan gelombang pertempuran itu mungkin saja berbalik ke arah lain.

“Aku hanya melakukan seperti yang sudah dilatihkan,” timpal Thor. “Apa yang sudah dilatih kepada kita untuk dilakukan. Aku tidak lebih baik dari siapa pun. Aku hanya mendapat keberuntungan hari ini.”

“Menurutkua itu lebih dari keberuntungan,” Reece menimpali.

Mereka semua melanjutkan dengan derap pelan, menuruni jalan utama menuju Istana Raja, dan saat mereka melakukannya jalan mulai dipenuhi dengan orang-orang, tumpah-ruah dari pedesaan, bersorak-sorak, melambaikan bendera kerajaan MacGil berwarna biru dan kuning. Thor menyadari bahwa inin telah menjadi parade yang sangat ramai. Seluruh istana telah datang untuk menyambut mereka, dan ia bisa merasakan kelegaan dan kegembiraan di wajah-wajah mereka. Ia bisa memahami mengapa: jika pasukan McCloud semakin mendekat, mereka pasti akan menghancurkan itu semua.

Thor berkuda bersama yang lain melalui segerombolan orang, di atas jembatan angkat kayu, tapak kaki kuda mereka berderap. Mereka melalui gerbang batu melengkung, melewati terowongan, langit menjadi gelap. Lalu ke luar ke sisi lain, menuju Istana Raja – di mana mereka bertemu dengan massa yang bergembira. Mereka melambaikan bendera dan melemparkan gula-gula, dan sekelompok musisi mulai menyuarakan simbal, memukul drum, sementara orang-orang mulai berdansa di jalanan.

Thor turun dari kuda bersama yang lain karena semakin riuh untuk mengendarai kuda, dan ia mengulurkan tangan lalu membantu Krohn turun dari kuda. Ia melihat dengan saksama ketika Krohn bejalan terpincang-pincang; dia nampak baik-baik saja untuk berjalan sekarang, dan Thor merasa lega. Krohn berpaling dan menjilat telapak tangan Thor beberapa kali.

Kelompok mereka berjalan melalui Alun-Alun Raja, ketika Thor dipeluk dan dirangkul dari semua sisi oleh orang-orang yang tidak ia kenal.

“Kau telah menyelamatkan kami!” seorang pria tua berseru. “Kau telah membebaskan kerajaan kita!”

Thor ingin menimpali, tapi ia tidak bisa, suaranya tertelan oleh riuhnya ratusan orang yang bersoraj dan berseru di sekeliling mereka, musik semakin keras. Kemudian, satu tong kecil bir putih digulirkan ke lapangan, dan orang-orang berhamburan untuk minum, bernyanyi, dan tertawa.

Namun Thor hanya punya satu hal dalam benaknya: Gwendolyn. Ia harus menemuinya. Ia mengamati semua wajah, sangat ingin melihat kilasannya, memastikan bahwa dia akan ada di sini – tapi ia merasa kecewa karena ternyata ia tidak bisa menemukannya.

Lalu ia merasakan sebuah tepukan di bahunya.

“Aku rasa wanita yang kau cari ada di sana,” ujar Reece, membalikkan tubuhnya dan menunjuk ke arah lain.

Thor berpaling dan matanya terbelalak. Di sana, berjalan dengan cepat menuju ke arahnya, dengan sebuah senyum lebar dengan rasa lega yang melihatnya seolah-olah dia telah terjaga sepanjang malam, adalah Gwendolyn.

Dia terlihat lebih cantik dari yang pernah ia lihat, dan dia bersergera menuju ke arahnya dan berlari tepat menuju lengan Thor. Dia melompat dan memeluknya, dan ia balas memeluknya, erat-erat, memutarnya di kerumunan. Dia bergelayut pada dirinya dan tidak melepaskan dirinya, lalu ia merasakan air matanya meleleh di lehernya. Ia bisa merasakan cintanya, dan merasakannya kembali.

“Syukurlah kau selamat,” ujarnya, sangat gembira.

“Aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain dirimu,” timpal Thor, memeluknya erat. Saat ia merasakannya dalam pelukannya, semua di dunia terasa lengkap sekali lagi.

Perlahan-lahan, ia melepaskannya, dan dia menatapnya lalu mereka saling mencondongkan badan dan berciuman. Mereka berciuman untuk waktu yang lama, orang-orang berputar-putar di sekeliling mereka.

“Gwendolyn!” Reece berseru memanggill dengan gembira.

Dia berpaling dan memeluknya, dan kemudian Godfrey melangkah maju dan memeluk Thor, kamudian saudaranya Reece. Itu adalah sebuah reuni keluarga, dan Thor entah bagaimana merasa seolah-olah ia adalah bagian dari itu, seolah-olah mereka semua sudah menjadi keluarganya. Mereka semua berkumpul olah cinta mereka pada MacGil – dan oleh kebencian mereka terhadap Gareth.

Krohn melangkah maju dan melompat ke arah Gewndolyn, dan ia mencondongkan badan dengan sebuah tawa dan memeluknya saat Krohn menjilat wajahnya.

“Kau tumbuh lebih besar tiap hari!” serunya. “Bagaimana aku bisa berterima kasih karena menyelamatkan Thor?”

Krohn melompat ke arahnya lagi, hingga akhirnya, dengan tertawa, ia haru menepuk-nepuk untuk menenangkannya.

“Mari kita pergi dari sini,” kata Gwen kepada Thor, yang terdorong dari setiap sisi oleh massa yang sangat banyak. Dia mengulurkan tangan dan meraih tangan Thor.

Thor mengulurkan tangan dan balas meraih tangannya, dan baru akan mengikuti dia – ketika tiba-tiba beberapa prajurit Kesatuan Perak muncul di belakang Thor dan mengangkatnya ke udara, tinggi di atas kepala mereka, menempatkan dirinya di bahu mereka. Saat Thor naik di udara, sebuah seruan keras muncul dari kerumunan.

“THORGRIN!” kerumunan itu bersorak-sorai.

Thor diarak berkeliling lagi, sebagaimana segelas bir putih disorongkan ke tangannya. Ia mencondongkan badannya ke belakang dan kerumunan itu bersorak semakin riuh.

Thor diturunkan dengan kasar, dan ia terhuyung, tertawa, saat kerumunan itu mengerumuninya.

“Kita menuju ke victor’s feast,” ujar seorang prajurit yang tidak Thor kenal, seorang anggota Kesatuan perak, yang menepuk punggungnya dengan tangan tangan berotot. “Itu adalah sebuah pesta khusus ksatria. Hanya pria. Kau akan ikut dengan kita. Akan ada sebua tempat yang dipesan untukmu di meja. Dan kau dan kau,” ujarnya, menunjuk Reece, O’Connor, dan teman-teman Thor. “Kau adalah pria sekarang, dan kau akan bergabung dengan kita.”

Sebuah sorakan muncul saat mereka semua diraih oleh para anggota Kesatuan Perak dan dibawa pergi; Thor kabur di saat-saat terakhir dan berpaling pada Gwen, merasa bersalah dan tidak ingin membuatnya kecewa.

“Pergilah dengan mereka,” ujarnya, tanpa mementingkan dirinya. “Itu penting untukmu. Berpesta dengan saudara-saudaramu. Merayakan bersama mereka. Itu adalah tradisi di antara Kesatuan Perak. Kau tidak boleh melewatkannya. Nanti malam, temuilah aku di pintu belakang Balai Senjata. Lalu kita akan melewatkan waktu bersama.”

Thor membungkukkan badan dan menciumnya untuk terakhir kalinya, menahannya selama mungkin, sampai dia ditarik pergi oleh teman sesama prajuritnya.

“Aku mencintaimu,” ujar Gwen kepadanya.

“Aku mencintaimu juga,” timpalnya, bersungguh-sungguh lebih dari yang dia ketahui.

Yang bisa ia pikirkan hanyalah, ketika ia dibawa pergi, saat ia mengamati mata yang cantik itu, sangat penuh cinta untuknya, yang ia inginkan selama ini, lebih dari apa pun, untuk melamarnya, untuk membuat dia menjadi miliknya selamanya. Sekarang bukan saat yang tepat, tapi segera, ia berkata kepada dirinya sendiri.

Mungkin bukan malam ini.




BAB DUA BELAS


Gareth berdiri di dalam ruangannya, memandang ke luar jendela ke arah cahaya pagi yang merekah muncul di atas Istana Raja, mengamati sekumpulan orang berkumpul di bawah – dan merasakan mual di perutnya. Di cakrawala adalah ketakutan terburuknya, suatu gambaran yang sangat membuatnya ngeri: pasukan raja kembali, menang, berjaya dari pertempurannya dengan McCloud. Kendrick dan Thor ada di kepalanya, bebas, hidup – pahlawan. Mata-matanya telah memberinya informasi tentang semua peristiwa yang sudah terjadi, bahwa Thor bertahan hidup dari sergapan, bahwa dia hidup dan selamat. Sekarang mereka semua dengan gagah berani, kembali ke Istana Raja sebagai satu pasukan yang semakin kuat. Semua rencananya porak-poranda dan menyisakan lubang di perutnya. Ia mersakan kerajaan memgepung dirinya.

Gareth mendengar sebuah suara derak di dalam kamarnya, lalu ia berbalik dan menutup matanya segera pada pemandangan di depannya, menyerangnya dengan kengerian.

“Buka matamu, nak!” muncul suara yang menggelegar.

Gemetar, Gareth membuka matanya, dan tercengang melihat ayahnya, berdiri di sana, sebuah mayat, membusuk, sebuah mahkota berkarat di atas kepalanya, dan sebuah tongkat kerajaan di tangannya. Dia menatapnya dengan tatapan cercaan, sama seperti dia masih hidup.

“Darah dibalas dengan darah,” ayahnya berseru.

“Aku membencimu!” Gareth menjerit. “AKU BENCI KAU!” ulangnya, dan menarik belati dari sabuknya lalu menyerang ke arah ayahnya.

Saat ia mencapai tempat ayahnya berdiri, ia menebaskan belatinya – tidak mengenai apa-apa melainkan udara – dan terjerembab melintasi ruangan.

Gareth memutar tubuhnya, tapi penampakan itu telah hilang. Ia hanya sendirian di dalam ruangan itu. Ia sendirian saja sepanjang waktu. Apakah ia gila?

Gareth berlari ke sudut ruangan itu, mengobrak-abrik lemari pakaiannya dan mengeluarkan pipa opiumnya dengan tangan gemetar; ia segera menyalakannya, dan menghirupnya dalam-dalam, lagi dan lagi. Ia merasakan aliran candu itu menjalar ke seluruh tubuhnya, merasakan dirinya tersesat sejenak dalam luapan candu itu. Ia menggunakan semakin banyak opium beberapa hari terakhir ini – kelihatannya itu hanyalah satu-satunya hal yang membantunya melarikan diri dari bayangan ayahnya. Gareth merasa tersiksa berada di ruangan ini, dan ia mulai bertanya-tanya apakah hantu ayahnya telah terperangkap di dalam dinding ini dan apakah ia harus memindahkan istananya di tempat lain. Bagaimanapun juga, ia ingin meruntuhkan bangunan ini – tempat ini menyimpan semua kenangan masa kanak-kanaknya yang ia benci.

Gareth berpaling ke arah jendela, diselimuti keringat dingin, dan menyeka dahinya dengan punggung tangannya. Ia mengamati. Pasukan semakin dekat, dan Thor terlihat bahkan dari sini, massa yang bodoh mengerubunginya seperti seorang pahlawan. Itu membuat Gareth murka, membuatnya terbakar rasa dengki. Setiap rencana yang ia gerakkan telah runtuh: Kendrick bebas; Thor hidup; bahka Godfrey entah bagaimana berhasil selamat dari racun – racun yang cukup untuk membunuh seekor kuda.

Tapi sekali lagi, rencananya yang lain berhasil: Firth, setidaknya, sudah mati, dan tidak ada lagi saksi yang tersisa untuk membuktikan bahwa ia membunuh ayahnya. Gareth menarik napas dalam-dalam, lega, menyadari bahwa semua itu tidak seburuk seperti kelihatannya. Selain itu, konvoi kaum Nevarun sedang dalam perjalanan untuk membawa Gwendolyn, untuk menyeretnya pergi menuju ke sudut mengerikan dari Cincin dan menikahkannya. Ia tersenyum dengan pikiran itu, mulai merasa lebih baik. Ya, setidaknya dia akan keluar dari pikirannya secepatnya.

Gareth punya waktu. Ia akan mencari cara lain untuk mengatasi Kendrick, Thor, dan Godfrey – ia punya banyak sekali rencana untuk membunuh mereka. Dan ia punya banyak waktu dan semua kekuasaan di dunia untuk mewujudkannya. Ya, mereka telah memenangkan babak ini, tapi mereka tidak akan menang di babak selanjutnya.

Gareth mendengar geraman lain, berbalik, dan tidak melihat apa pun di dalam ruangan itu. Ia harus keluar dari sini – ia tidak bisa lagi menahannya.

Ia berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Pintu terbuka sebelum ia mencapainya, pelayannya dengan waspada mengantisipasi setiap gerakannya.

Gareth melemparkan jubah dan mahkota ayahnya, dan mengambil tongkat kerajaannya, saat ia berkalan menuruni lorong. Ia menuruni koridor sampai ia mencapai ruang makan pribadinya, sebuah ruangan batu rumit dengan atap-atap melengkung yang tinggi dan jendela kaca berwarna, bercahaya dalam cahaya pagi. Dua pelayannya berdiri menunggu di pintu yang terbuka, dan yang lain berdiri menunggu di belakang kepala meja. Meja itu adalah prasmanan panjang, sepanjang lima belas kaki, dengan puluhan kursi berbaris di kedua sisinya; pelayan menarik kursi Gareth untuknya saat ia mendekat, kursi oak tua yang telah diduduki ayahnya berkali-kali.

Gareth duduk dan menyadari betapa ia sangat membenci ruangan itu. Ia ingat dipaksa untuk duduk di sini sebagai seorang anak, seluruh keluarganya berderet mengelilinginya, dihardik oleh ayah dan ibunya. Sekarang ruangan itu amat sunyi. Tidak ada seorang pun kecuali dirinya – tidak saudara laki-laki maupun saudara perempuannya atau orang tuan maupun kawan. Bahkan tidak penasihatnya. Selama beberapa hari terakhir, ia berhasil mengisolasi semua orang, dan sekarang ia makan sendirian. Ia lebih memilih cara seperti itu – ada terlalu banyak kejadian saat ia melihat hantu ayahnya ada di sini bersama dirinya, dan ia merasa sangat malu karena menangis di depan orang lain.





Конец ознакомительного фрагмента. Получить полную версию книги.


Текст предоставлен ООО «ЛитРес».

Прочитайте эту книгу целиком, купив полную легальную версию (https://www.litres.ru/pages/biblio_book/?art=43695671) на ЛитРес.

Безопасно оплатить книгу можно банковской картой Visa, MasterCard, Maestro, со счета мобильного телефона, с платежного терминала, в салоне МТС или Связной, через PayPal, WebMoney, Яндекс.Деньги, QIWI Кошелек, бонусными картами или другим удобным Вам способом.



CINCIN BERTUAH mempunyai semua resep kesuksesan: plot, plot titik balik, misteri, para ksatria pemberani dan hubungan antar tokoh yang diwarnai patah hati, tipu muslihat dan pengkhianatan. Anda akan terhibur selama berjam-jam, dan sesuai untuk semua usia. Direkomendasikan sebagai koleksi pustaka semua pecinta kisah fantasi. Books and Movie Reviews, Roberto Mattos Dalam PEKIK KEMUALIAAN [A CRY OF HONOR] (Buku #4 dalam Cincin Bertuah), Thor telah kembali dari Misi Seratus Hari sebagai prajurit yang tangguh, dan sekarang ia harus mempelajari apa maknanya untuk bertempur bagi tanah airnya, untuk bertempur antara hidup dan mati. Para McCloud telah menyerbu jauh ke dalam wilayah MacGil – lebih dalam ketimbang sebelumnya dalam sejarah Kerajaan Cincin – dan saat Thor berkuda untuk sebuah penyergapan, akan menjadi keputusannya untuk menyerang dan menyelamatkan Istana Raja. Godfrey telah diracun oleh kakaknya menggunakan racun yang sangat langka dan ampuh, dan nasibnya terletak di tangan Gwendolyn, sebagaimana dia melakukan apapun yang dia bisa untuk menyelamatkan kakaknya dari kematian. Gareth telah terjatuh lebih dalam menjadi keadaan paranoid dan tidak puas, merekrut sendiri suku biadab sebagai pasukan pribadi dan memberi mereka Aula Perak – mengusir Kesatuan Perak dan menyebabkan perselisihan dalam Istana Raja yang terancam meledak menjadi sebuah perang saudara. Ia juga merencanakan untuk membuat Nevaruns yang ganas agar membawa Gwendolyn, menjualnya dalam pernikahan tanpa persetujuannya. Persahabatan Thor semakin erat, saat mereka melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru, menghadapi monster-monster tak terduga dan bertempur berdampingan dalam pertempuran yang tidak terbayangkan. Perjalanan Thor menuju kampong halamannya dan, dalam konfrontasi epik dengan ayahnya, ia mempelajari rahasia besar dari masa lalunya, siapakah dia, siapakah ibunya – dan tentang takdirnya. Dengan pelatihan paling canggih yang pernah ia terima dari Argon, ia mulai membuka kekuatan yang tidak ia tahu bahwa ia memilikinya, menjadi lebih kuat tiap harinya. Sebagaimana hubungannya dengan Gwen semakin dalam, ia kembali ke Istana Raja dengan harapan untuk melamarnya – namun mungkin itu sudah terlalu terlambat. Andronicus, dipersenjatai oleh seorang informan, memimpin sejuta pasukan Kekaisarannya untuk sekali lagi berusaha menerobos Ngarai dan menghancurkan Kerajaan Cincin. Dan saat hal-hal nampak seperti akan bertambah lebih buruk lagi di Istana Raja, kisah ini berakhir dengan lika-liku yang mengejutkan. Akankah Godfrey selamat? Akankah Garetj terusir? Akankah Istana Raja terbelah menjadi dua? Akankah Kekaisaran menyerang? Akankah Gwendolyn berakhir bersama Thor? Dan akankah Thor akhirnya mempelajari rahasia takdirnya? Dengan susunan dan karakterisasi kelas dunia yang rumit, PEKIK KEMULUAAN [A CRY OF HONOR] adalah sebuah kisah epik tentang sahabat dan kekasih, tentang pesaing dan peminang, tentang ksatria dan naga, tentang intrik dan mekanisme politik, tentang abad yang akan datang, tentang patah hati, tentang muslihat, ambisi dan pengkhianatan. Ini adalah sebuah kisah tentang kemuliaan dan keberanian, tentang nasib dan takdir, tentang sihir. Ini adalah sebuah fantasi yang membawa kita menuju sebuah dunia yang tidak akan pernah kita lupakan, dan akan menarik bagi semua usia dan jenis kelamin. Berisi 85. 000 kata. Masalah yang dikemas dengan aksi, roman, petualangan, dan ketegangan. Miliki buku ini dan jatuh cintalah lagi. vampirebooksite. com (berdasarkan Penjelmaan)

Как скачать книгу - "Pekik Kemuliaan" в fb2, ePub, txt и других форматах?

  1. Нажмите на кнопку "полная версия" справа от обложки книги на версии сайта для ПК или под обложкой на мобюильной версии сайта
    Полная версия книги
  2. Купите книгу на литресе по кнопке со скриншота
    Пример кнопки для покупки книги
    Если книга "Pekik Kemuliaan" доступна в бесплатно то будет вот такая кнопка
    Пример кнопки, если книга бесплатная
  3. Выполните вход в личный кабинет на сайте ЛитРес с вашим логином и паролем.
  4. В правом верхнем углу сайта нажмите «Мои книги» и перейдите в подраздел «Мои».
  5. Нажмите на обложку книги -"Pekik Kemuliaan", чтобы скачать книгу для телефона или на ПК.
    Аудиокнига - «Pekik Kemuliaan»
  6. В разделе «Скачать в виде файла» нажмите на нужный вам формат файла:

    Для чтения на телефоне подойдут следующие форматы (при клике на формат вы можете сразу скачать бесплатно фрагмент книги "Pekik Kemuliaan" для ознакомления):

    • FB2 - Для телефонов, планшетов на Android, электронных книг (кроме Kindle) и других программ
    • EPUB - подходит для устройств на ios (iPhone, iPad, Mac) и большинства приложений для чтения

    Для чтения на компьютере подходят форматы:

    • TXT - можно открыть на любом компьютере в текстовом редакторе
    • RTF - также можно открыть на любом ПК
    • A4 PDF - открывается в программе Adobe Reader

    Другие форматы:

    • MOBI - подходит для электронных книг Kindle и Android-приложений
    • IOS.EPUB - идеально подойдет для iPhone и iPad
    • A6 PDF - оптимизирован и подойдет для смартфонов
    • FB3 - более развитый формат FB2

  7. Сохраните файл на свой компьютер или телефоне.

Видео по теме - Pekik Kemenangan

Книги серии

Книги автора

Аудиокниги автора

Последние отзывы
Оставьте отзыв к любой книге и его увидят десятки тысяч людей!
  • константин александрович обрезанов:
    3★
    21.08.2023
  • константин александрович обрезанов:
    3.1★
    11.08.2023
  • Добавить комментарий

    Ваш e-mail не будет опубликован. Обязательные поля помечены *