Книга - Ikrar Kemenangan

a
A

Ikrar Kemenangan
Morgan Rice


Cincin Bertuah #5
Di dalam IKRAR KEMENANGAN (Buku #5 dalam Cincin Bertuah), Thor ambil bagian bersama teman-teman Legiunnya dalam sebuah petualangan epik menuju alam liar yang luas dari Kekaisaran untuk mencoba menemukan Pedang Takdir kuno dan menyelamatkan Cincin. Persahabatan Thor semakin dalam, saat mereka berpetualang ke tempat-tempat baru, menghadapi monster-monster tak terduga dan bertarung berdampingan dalam pertempuran yang tak terbayangkan. Mereka menjumpai dataran-dataran eksotik, makhluk dan orang-orang yang melampaui apa yang bisa mereka bayangkan, tiap langkah perjalanan mereka penuh dengan bahaya yang semakin bertambah. Mereka akan harus menggunakan semua keterampilan mereka jika mereka ingin selamat saat mereka mengikuti jejak para pencuri itu, semakin dalam menuju Kekaisaran. Petualangan mereka akan membawa mereka sepanjang jalan menuju jantung Dunia Bawah Tanah, salah satu dari tujuh alam neraka, di mana mayat hidup berkuasa dan di berbagai tempat dipenuhi dengan tulang. Saat Thor harus memanggil kekuatanya, lebih dari sebelumnya, ia berusaha untuk memahami siapa dirinya. Kembali ke Cincin, Gwendolyn harus memimpin setengah dari Istana Raja menuju ke benteng Barat di Silesia, sebuah kota kuno yang bertengger di tepi Ngarai dan telah berdiri selama seribu tahun. Benteng Silesia ini telah memungkinkan untuk bertahan hidup dari setiap serangan di setiap abad-tetapi tidak pernah menghadapi serangan oleh seorang pemimpin seperti Andronicus, oleh pasukan satu juta prajuritnya. Gwendolyn belajar apa artinya menjadi ratu saat ia mengambil peran kepemimpinan itu, Srog, Kolk, Brom, Steffen, Kendrick, dan Godfrey di sisinya, bersiap untuk mempertahankan kota untuk perang besar yang akan datang. Sementara itu, Gareth semakin turun lebih dalam pada kegilaan, mencoba untuk mempertahankan diri dari sebuah kudeta yang akan membunuhnya di Istana Raja, sementara Erec berjuang untuk hidupnya untuk menyelamatkan cintanya, Alistair dan kota Adipati Savaria saat perisai jatuh yang memungkinkan para makhluk liar menyerang. Dan Godfrey, berkubang dalam minuman, harus memutuskan apakah dia siap untuk membuang masa lalunya dan menjadi pria yang diharapkan keluarganya. Ketika mereka semua berjuang untuk hidup mereka dan karena sepertinya mereka tak bisa berakhir dengan lebih buruk lagi, cerita berakhir ini dengan dua kelokan mengejutkan. Akankah Gwendolyn bertahan terhadap serangan? Akankah Thor bertahan dari Kekaisaran? Akankah Pedang Takdir ditemukan?Dengan penyusunan dunia dan karakteristik yang canggih, IKRAR KEMENANGAN adalah kisah epik tentang sahabat dan kekasih, rival dan peminang, ksatria dan naga, intrik dan persekongkolan politik, masa mendatang, patah hati, penipuan, ambisi dan pengkhianatan. Ini adalah kisah tentang kehormatan dan keberanian, nasib dan takdir, sihir. Ini adalah fantasi yang membawa kita ke dunia yang tak akan pernah kita lupakan, dan yang akan menarik bagi semua usia dan jenis kelamin. Buku ini terdiri dari 75. 000 kata.







IKRAR KEMENANGAN



(BUKU #5 DALAM CINCIN BERTUAH)



Morgan Rice


Tentang Morgan Rice



Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dan penulis terlaris USA Today dari serial fantasi epik CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tujuh belas buku; serial terlaris #1 HARIAN VAMPIR, yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); serial terlaris #1 THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN), sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan serial fantasi epik KINGS AND SORCERERS (PARA RAJA DAN PENYIHIR), yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah). Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, serta terjemahan yang tersedia dalam lebih dari 25 bahasa.



PENJELMAAN (Buku #1 dalam HARIAN VAMPIR), ARENA SATU (Buku #1 dari Trilogi Kesintasan) dan PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1 dalam Cincin Bertuah) dan KEBANGKITAN PARA NAGA (Raja dan Penyihir—Buku #1) yang masing-masing tersedia sebagai unduhan gratis!



Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu untuk mengunjungi www.morganricebooks.com untuk bergabung di daftar surel, menerima buku gratis, menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis, mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke Facebook dan Twitter, dan tetap terhubung!


Pujian Pilihan untuk Morgan Rice



“CINCIN BERTUAH mempunyai semua resep kesuksesan: plot, plot titik balik, misteri, para ksatria pemberani dan hubungan antar tokoh yang diwarnai patah hati, tipu muslihat dan pengkhianatan. Anda akan terhibur selama berjam-jam, dan sesuai untuk semua usia. Direkomendasikan sebagai koleksi pustaka semua pecinta kisah fantasi.”

--Books and Movie Reviews, Roberto Mattos



“Rice melakukan pekerjaan yang bagus mendorong Anda ke dalam kisah ini dari pertama, memanfaatkan kualitas deskriptif yang hebat yang melampaui penggambaran setting… Ditulis dengan indah dan sangat cepat dibacanya.”

--Black Lagoon Reviews (berdasarkan Penjelmaan)



“Kisah yang ideal bagi pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang bagus dengan memutar balikkan lika-liku yang menarik… Menyegarkan dan unik. Serial ini berfokus di sekitar seorang gadis… gadis yang luar biasa!... Mudah dibaca tapi bertempo cepat… Berperingkat PG.”

--The Romance Reviews (berdasarkan Penjelmaan)



“Mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat lepas….Kisah ini merupakan sebuah petualangan menakjubkan yang bertempo cepat dan action yang dikemas sejak permulaan. Tidak ditemukan momen yang membosankan.”

--Paranormal Romance Guild (berdasarkan Penjelmaan)



“Rintangan yang dikemas dengan aksi, roman, petualangan, dan ketegangan. Miliki buku ini dan jatuh cintalah lagi.”

--vampirebooksite.com (berdasarkan Penjelmaan)



“Plot yang bagus, dan khususnya ini adalah jenis buku yang akan memiliki kesulitan untuk ditinggalkan di malam hari. Akhirnya tegang dan sangat spektakuler sehingga Anda akan segera ingin membeli buku selanjutnya, lihat saja apa yang akan terjadi.”

--The Dallas Examiner (berdasarkan Cinta)



“Sebuah buku rival dari TWILIGHT dan VAMPIRE DIARIES, dan satu-satunya yang akan membuat Anda ingin tetap terus membacanya sampai halaman terakhir! Jika Anda menyukai petualangan, cinta dan vampir, buku inilah yang tepat bagi Anda!”

--Vampirebooksite.com (berdasarkan Penjelmaan)



“Morgan Rice membuktikan dirinya lagi untuk menjadi penulis kisah yang sangat bertalenta.. Buku ini akan digemari oleh berbagai macam pembaca, termasuk fans yang lebih muda dari genre vampir/fantasi. Buku ini diakhiri dengan ketegangan yang toidak diharapkan yang meninggalkan Anda terkejut.”

--The Romance Reviews (berdasarkan Cinta)


Buku-buku oleh Morgan Rice



PARA RAJA DAN PENYIHIR

KEBANGKITAN PARA NAGA (Buku #1)

KEBANGKITAN SANG PEMBERANI (Buku #2)

RINTANGAN KEMULIAAN (Buku #3)

TEMPAAN KEBERANIAN (Buku #4)



CINCIN BERTUAH

PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

TAKDIR NAGA (Buku #3)

PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

RITUAL PEDANG (Buku #7)

SENJATA PUSAKA (Buku #8)

LANGIT MANTRA (Buku #9)

LAUTAN PERISAI (Buku #10)

TANGAN BESI (Buku #11)

DARATAN API (Buku #12)

SANG RATU (Buku #13)

SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)

IMPIAN FANA (Buku #15)

PERTANDINGAN PARA KSATRIA (Buku #16)

HADIAH PERTEMPURAN (Buku #17)



TRILOGI KESINTASAN

ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA DUA (Buku #2)



HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

CINTA (Buku #2)

KHIANAT (Buku #3)

TAKDIR (Buku #4)

DIDAMBAKAN (Buku #5)

TUNANGAN (Buku #6)

SUMPAH (Buku #7)

DITEMUKAN (Buku #8)

BANGKIT (Buku #9)

RINDU (Buku #10)

NASIB (Buku #11)













Dengarkan serial CINCIN BERTUAH dalam format buku audio!


Hak Cipta © 2013 olah Morgan Rice

Semua hak dilindungi undang-undang. Kecuali diizinkan di bawah U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang boleh direproduksi, didistribusikan atau dipindahtangankan dalam bentuk apapun atau dengan maksud apapun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.

eBuku ini terlisensi untuk hiburan personal Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silakan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka harap kembalikan dan belilah salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.

Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan peristiwaadalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.

Hak cipta gambar sampul oleh Unholy Vault Designs, digunakan di bawah lisensi dari Shutterstock.com


DAFTAR ISI



BAB SATU (#u1b582f73-c09d-5943-a2b3-f95cf0af2edb)

BAB DUA (#uf40df9aa-f590-5e57-a0e7-7f13612dd6ca)

BAB TIGA (#u9ee7c941-604d-5b9e-b394-0e2809519b0d)

BAB EMPAT (#u0705ff96-32c9-55ca-8064-6c36a07f39f9)

BAB LIMA (#uccf9dd95-59f7-5e44-9173-ddd4507298d6)

BAB ENAM (#uef238bab-119b-5c81-a1b6-f4f24ef3eee5)

BAB TUJUH (#u85b51f90-aa82-54de-ba4e-93f5f867e4e2)

BAB DELAPAN (#litres_trial_promo)

BAB SEMBILAN (#litres_trial_promo)

BAB SEPULUH (#litres_trial_promo)

BAB SEBELAS (#litres_trial_promo)

BAB DUA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB TIGA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB EMPAT BELAS (#litres_trial_promo)

BAB LIMA BELAS (#litres_trial_promo)

BAB ENAM BELAS (#litres_trial_promo)

BAB TUJUH BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DELAPAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB SEMBILAN BELAS (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH SATU (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DUA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TIGA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH EMPAT (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH LIMA (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH ENAM (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH TUJUH (#litres_trial_promo)

BAB DUA PULUH DELAPAN (#litres_trial_promo)


“Hidup dijaga dengan baik oleh setiap pria, namun pria terhormat sangat lebih mengutamakan kehormatan dibandingkan nyawa.”



—William Shakespeare

Troilus and Cressida




BAB SATU


Andronicus berkuda dengan bangga ke tengah ibukota kerajaan McCloud, didampingi oleh ratusan jendralnya dan menyeret miliknya yang paling berharga di belakangnya: Raja McCloud. Senjatanya terlucuti, setengah telanjang, tubuhnya yang berbulu diselubungi lemak. Raja McCloud terikat dengan tali dan diikat ke belakang sadel Andronicus menggunakan tali panjang yang mengitari pergelangan tangannya.

Pada saat Andronicus berkuda perlahan-lahan, menikmati kemenangannya, ia menyeret McCloud melalui jalan-jalan. Melewati jalan berdebu dan kerikil, menggumpalkan awan debu. Rakyat McCloud berkumpul dan terpana. Ia bisa mendengar McCloud berseru, menggeliat kesakitan saat ia mengaraknya melalui jalan-jalan di kotanya sendiri. Andronicus berseri-seri. Wajah rakyat McCloud tertekuk dalam ketakutan. Itu adalah mantan raja mereka, sekarang menjadi budak yang paling rendah. Itu adalah salah satu hari terbaik yang bisa Andronicus ingat.

Andronicus terkejut dengan betapa mudahnya untuk menguasai kota McCloud. Seolah-olah pasukan McCloud telah kehilangan semangat bahkan sebelum serangan dimulai. Pasukan Andronicus telah menaklukkan mereka dalam sekejap, ribuan tentaranya merangsek masuk, menggilas beberapa prajurit yang memberanikan diri bertahan, dan mengerumuni kota itu dalam sekejap mata. Mereka pasti telah menyadari bahwa tak ada gunanya melawan. Mereka semua telah menurunkan senjata mereka dengan anggapan, jika mereka menyerah, Andronicus akan menjadikan mereka tawanan.

Namun mereka tidak mengenal Andronicus yang agung. Dia membenci penyerahan diri. Dia tidak membutuhkan tawanan, dan menurunkan senjata mereka hanya membuat itu semua lebih mudah baginya.

Jalan-jalan di kota McCloud digenangi darah saat pasukan Andronicus menyerbu setiap lorong, setiap jalan kecil, membantai setiap orang yang bisa mereka temukan. Wanita dan anak-anak dia ambil sebagai budak, seperti yang selalu dia lakukan. Rumah-rumah mereka jarah, satu rumah sekaligus.

Saat ini Andronicus sedang berkuda, perlahan-lahan melintasi jalan, mengamati kemenangannya, dia melihat mayat di mana-mana, timbunan tanah, rumah-rumah yang hancur. Dia berpaling dan mengangguk pada salah satu jendralnya, dan segera jendral itu mengangkat sebuah obor tinggi-tinggi, menggerakkan pasukannya, dan ratusan dari mereka menyebar ke seluruh kota, menyalakan api di atap-atap jerami. Api membumbung di sekeliling mereka, mencapai langit, dan Andronicus sudah bisa merasakan hawa panas dari sana.

“TIDAK!” McCloud menjerit, menggapai-gapai tanah di belakangnya.

Andronicus menyeringai semakin lebar dan mempercepat kudanya, menuju ke sebuah batu yang sangat besar; muncullah bunyi gedebuk yang memuaskan, dan ia tahu tubuh McCloud telah diseret melewatinya.

Andronicus mendapatkan kepuasan besar dengan mengamati kota ini terbakar. Sebagaimana yang dia rasakan dalam setiap kota yang dikuasai dalam Kekaisarannya, dia akan meratakan kota itu dengan tanah terlebih dahulu, lalu membangunnya lagi, dengan rakyatnya sendiri, jendralnya sendiri, Kekaisarannya sendiri. Itu adalah kebiasaannya. Dia tidak menginginkan jejak kota yang lama. Dia membangun sebuah dunia baru. Dunia Andronicus.

Cincin, Cincin suci yang telah lolos dari semua pendahulunya, sekarang menjadi wilayah kekuasaannya. Ia hampir-hampir tidak bisa membayangkannya. Ia menarik napas dalam-dalam, membayangkan betapa hebatnya dirinya. Segera, dia akan melewati Dataran Tinggi dan juga akan menguasai setangah bagian yang lain dari Cincin. Sehingga tak akan ada lagi tempat yang tersisa di planet yang tidak berada di bawah pijakan kakinya.

Andronicus berpacu menuju patung McCloud yang menjulang, di alun-alun kota, dan berhenti di depannya. Patung itu berdiri di sana seperti sebuah tempat keramat, setinggi lima puluh kaki, dan terbuat dari pualam. Patung itu menunjukkan sebuah sosok McCloud yang tak dikenali Andronicus—seorang McCloud muda yang sehat dan berotot, mengangkat sebuah pedang sengan bangga. Patung itu merupakan egomaniak. Untuk itu, Andronicus mengaguminya. Sebagian dari dirinya ingin membawa patung itu kembali ke rumahnya, meletakkannya di istananya sebagai sebuah trofi.

Namun bagian lain dari dirinya terlalu muak dengan hal itu. Tanpa pikir panjang, ia mengulurkan tangan, mengambil selempangnya - tiga kali lebih besar dari milik manusia, cukup besar untuk menampung batu seukuran bongkahan-mencondongkan tubuh ke belakang dan melemparkannya sekuat tenaga.

Bongkahan batu kecil itu melayang di udara dan mengenai kepala patung. Kepala pualam McCloud hancur berkeping-keping, hancur di atas tubuh patung. Andronicus kemudian mengeluarkan teriakan, mengangkat pemukulnya di kedua tangan, menerjang, dan mengayunkannya sekuat tenaga.

Andronicus menghancurkan tubuh patung lalu pualam itu terguling, kemudian jatuh ke tanah, hancur dengan suara keras. Andronicus memutar kudanya dan memastikan, saat ia berderap di atas kuda, tubuh McCloud itu tergores pecahan pualam.

"Kau akan membayarnya!" McCloud yang menderita menangis lemah.

Andronicus tertawa. Dia telah bertemu banyak manusia dalam hidupnya, tapi yang satu ini mungkin hanya menjadi manusia yang paling menyedihkan dari mereka semua.

"Benar begitu?" Andronicus berteriak.

McCloud ini terlalu keras kepala; dia masih tidak mengakui kekuatan Andronicus yang agung. Dia harus diberi pelajaran, sekali dan untuk selamanya.

Andronicus mengamati kota itu, dan matanya jatuh tepat pada kastil McCloud. Ia menendang kudanya dan mulai berpacu, prajuritnya berjatuhan di belakangnya saat ia menyeret McCloud menyeberangi lapangan berdebu.

Andronicus berkuda menaiki lusinan tangga pualam, tubuh McCloud terbentur-bentur di belakangnya, berseru, dan mengerang pada tiap langkah, lalu ia terus berkuda, tepat menuju ke pintu masuk pualam. Para prajurit Andronicus telah berdiri berjaga-jaga di pintu, di atas mayat para pengawal McCloud yang berlumuran darah. Andronicus menyeringai puas karena melihat bahwa setiap penjuru kota telah menjadi miliknya.

Andronicus terus berkuda, tepat menuju pintu kastil yang sangat besar, di dalam sebuah koridor atap-atap tinggi yang melengkung, semua terbuat dari pualam. Ia mengagumi kelebihan raja McCloud ini. Dia jelas-jelas tidak tanggung-tanggung dalam memanjakan dirinya sendiri.

Sekarang harinya telah datang. Andronicus terus berkuda dengan para prajuritnya menyusuri koridor yang luas, tapak kaki kuda bergema di dinding, menuju ke ruangan yang jelas sekali merupakan singgasana McCloud. Ia menghambur melewati pintu dari kayu ek dan berkuda tepat ke tengah ruangan itu, menuju ke sebuah singgasana cabul, yang terbuat dari emas, terletak di tengah-tengah ruangan.

Andronicus turun dari kuda, menaiki anak tangga emas dengan perlahan, dan duduk di singgasana itu.

Ia bernapas dalam-dalam saat ia berpaling dan mengamati prajuritnya, lusinan jendralnya duduk di atas punggung kuda menunggu perintahnya. Ia menatap McCloud yang berlumuran darah, masih terikat pada kudanya, mengerang. Ia mengamati ruangan itu, memeriksa dinding-dindingnya, panji-panji, baju besi, persenjataan. Ia mengamati pembuatan singgasana itu dan mengaguminya. Ia berpikir untuk melelehkannya, atau mungkin membawanya pulang untuk dirinya sendiri. Mungkin ia akan memberikannya kepada salah satu jendralnya yang lebih rendah.

Tentu saja, singgasana ini masih bukan apa-apa dibandingkan singgasana Andronicus sendiri, singgasana yang terbesar di seluruh kerajaan. Singgasana yang telah menggunakan dua puluh pekerja selama empat puluh tahun untuk membangunnya. Pembangunannya telah dimulai pada masa hidup ayahnya dan terselesaikan pada hari Andronicus membunuh ayahnya sendiri. Itu adalah waktu yang sempurna.

Andronicus menatap McCloud, manusia kerdil yang menyedihkan ini, dan bertanya-tanya cara terbaik untuk membuat dia menderita. Ia mengamati bentuk dan ukuran tengkoraknya, dan memutuskan bahwa ia ingin mencuitkannya dan mengenakannya pada kalungnya, bersama dengan kepala-kepala lain yang diciutkan di sekeliling lehernya. Namun Andronicus menyadari bahwa sebelum ia membunuhnya, ia akan memerlukan beberapa waktu untuk menguruskan wajahnya, tulang pipinya, sehingga kepalanya terlihat lebih baik di sekeliling lehernya. Ia tidak menginginkan sebuah wajah gemuk dan montok menghancurkan keindahan kalungnya. Ia akan membiarkan dia hidup selama beberapa waktu, dan menyiksanya pada saat itu. Ia tersenyum kepada dirinya sendiri. Ya, itu adalah sebuah rencana yang sangat bagus.

“Bawa dia kepadaku,” Andronicus memberi perintah pada salah satu jendralnya, dengan suara menggertak kuno yang dalam.

Jendral itu melompat turun tanpa keraguan sekejap pun, bersegera menuju McCloud, memotong tali, dan menyeret tubuh berlumur darah menyusuri ruangan, melumurinya dengan warna merah saat dia berjalan. Dia menjatuhkannya di lantai di kaki Andronicus.

“Kau tak bisa lari dengan hal ini!” McCloud bergumam dengan lemah.

Andronicus menggelengkan kepalanya; manusia ini tak akan pernah belajar.

“Di sinilah aku, duduk di atas singgasanamu,” ujar Andronicus. “Dan di sanalah dirimu, terbaring di kakiku. Aku rasa akan lebih aman jika kau mengatakan bahwa aku bisa pergi dengan apa pun yang aku inginkan. Dan hal itu sudah aku miliki.”

McCloud terbaring di sana, mengerang dan menggeliat.

“Perintah pertamaku,” ujar Andronicus, “adalah untuk membuatmu membayar penghargaan yang layak kepada raja dan tuan barumu, yang pertama adalah untuk mencium tanganku dan memanggil aku Raja di tempat yang sebelumnya menjadi sisi McCloud dari Cincin.”

McCloud mendongak, berdiri, dan mencemooh ke arah Andronicus.

“Tak ‘kan pernah!” ujarnya, dan berpaling lalu meludah ke lantai.

Andronicus membungkukkan tubuh ke belakang dan tertawa. Ia sangat menikmati hal ini. Ia belum pernah bertemu dengan seorang manusia sekeras kepala ini dalam waktu yang lama.

Andronicus berpaling dan mengangguk, dan salah satu prajuritnya meraih McCloud dari belakang, sementara yang lain melangkah maju dan memegangi kepalanya. Prajurit ketiga melangkah maju dengan sebuah silet panjang. Saat dia mendekat tertekuk ketakutan.

“Apa yang kau lakukan?” McCloud bertanya dalam kepanikan, suaranya meninggi beberapa oktaf.

Pria itu mengulurkan tangan dan dengan segera mencukur setengah jenggot McCloud. McCloud mendongak kebingungan, jelas-jelas bingung karena pria itu tidak menyakiti dirinya.

Andronoicus mengangguk, dan pria lain melangkah maju dengan tongkat pengorek api panjang, yang di ujungnya diukiri besi berlambangkan kerajaan Andronicus – seekor singa dengan seekor burung di dalam mulutnya. Tongkat itu menyala berwarna jingga, mengepulkan uap panas, dan saat yang lain memegangi McCloud, pria itu menurunkan tongkat itu ke arah pipinya yang sekarang telanjang.

“TIDAK!” pekik McCloud, menyadari apa yang akan terjadi.

Tapi itu sudah terlambat.

Jeritan mengerikan membelah udara, disertai dengan suara mendesis dan bau daging terbakar. Andronicus melihat dengan senang saat tongkat itu membakar semakin dalam pada pipi McCloud. Suara mendesis itu semakin keras, jeritannya hampir tak tertahankan.

Akhirnya, setelah sepuluh detik, mereka menjatuhkan McCloud.

McCloud tersungkur di lantai, tak sadarkan diri, meneteskan air liur, saat asap naik dari setengah wajahnya. Wajahnya sekarang dilubangi dengan lambang Andronicus, terbakar di dalam dagingnya.

Andronicus membungkuk ke depan, menatap ke arah McCloud yang tak sadarkan diri, dan mengagumi hasil karyanya.

"Selamat datang di Kekaisaran."




BAB DUA


Erec berdiri di atas bukit di pinggir hutan dan mengamati satu pasukan kecil mendekat, dan jantungnya diliputi gejolak. Ia lahir untuk suatu hari seperti hari ini. Pada sejumlah pertempuran, batasan menjadi kabur antara yang pasti dan tak pasti – tapi tidak hari ini. Tuan tanah Baluster telah menculik pengantinnya tanpa rasa malu, dan telah berlaku sombong dan tanpa rasa menyesal. Dia telah diperingatkan atas kejahatannya, telah diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, tapi menolak melakukannya. Dia telah menanggung penderitaan untuk dirinya sendiri. Prajuritnya seharusnya tidak ikut campur–khususnya saat ini, karena dia telah mati.

Namun di sanalah mereka berkuda, ratusan dari mereka, membayar tentara bayaran untuk bangsawan yang lebih rendah ini–semua bertekad membunuh Erec semata-mata karena mereka dibayar oleh pria ini. Mereka menyerang ke arahnya dalam baju besi hijau mereka yang mengilap. Dan saat mereka semakin dekat, mereka mengeluarkan teriakan perang. Seolah-olah hal itu akan membuat dirinya takut.

Erec tidak takut. Ia telah melihat terlalu banyak pertempuran seperti ini. Jika ia telah belajar apa pun di semua tahun-tahun pelatihan, yaitu untuk tidak pernah takut ketika ia berjuang di sisi yang pasti. Ia diajarkan bahwa keadilan tidak selalu menang–tapi itu memberikan kekuatan sepuluh orang bagi pengemban keadilan.

Bukan rasa takut yang Erec rasakan saat ia melihat ratusan pria mendekat, mengetahui dirinya mungkin akan mati hari ini. Itu adalah harapan. Ia telah diberi kesempatan untuk bertemu kematiannya dengan cara yang paling terhormat, dan itu adalah sebuah hadiah. Ia telah membuat ikrar kemenangan, dan hari ini, ikrarnya menuntut haknya.

Erec menghunus pedangnya dan menyerang menuruni lereng kaki bukit, berlari menuju ke arah pasukan yang menyerang dirinya. Pada saat ini ia berharap lebih dari sebelumnya bahwa ia memiliki kuda kepercayaannya, Warkfin, untuk berkuda bersamanya ke dalam pertempuran–tapi ia merasakan kedamaian mengetahui Warfkin membawa Alistair kembali ke Savaria, untuk keselamatan istana Adipati.

Saat ia mendekati para prajurit itu, hampir lima puluh yard jaraknya, Erec menambah kecepatan, berlari menuju ksatria pemimpin di tengah. Mereka tidak melambat, dan tidak juga dirinya, dan ia menguatkan diri untuk pertempuran yang akan datang.

Erec tahu dia punya satu keuntungan: tiga ratus orang secara fisik tak bisa cukup dekat untuk semua serangan pada satu orang di saat yang sama; ia tahu dari pelatihannya bahwa yang paling banyak enam orang di atas kuda bisa berada cukup dekat untuk menyerang seorang pria sekaligus. Cara Erec melihatnya, itu berarti kemungkinannya bukan tiga ratus banding satu–tetapi hanya enam banding satu. Selama dia bisa membunuh enam orang di depannya setiap saat, ia memiliki kesempatan untuk menang. Itu hanya soal apakah ia memiliki stamina untuk melalui itu semua.

Saat Erec menyerang ke arah bukit, ia mengeluarkan satu senjata dari pinggangnya yang ia tahu akan menjadi senjata terbaik: sebuah cambuk dengan rantai sepanjang sepuluh yard, yang di bagian ujungnya terdapat sebuah bola logam berduri. Itu adalah sebuah senjata yang dimaksudkan untuk membuat jebakan di jalan–atau untuk situasi persis seperti ini.

Erec menunggu sampai saat-saat terakhir, sampai pasukan itu tidak punya waktu untuk bereaksi; lalu memutar cambuk itu tinggi di atas kepala dan menghempaskannya di sekitar medan pertempuran. Ia menyasar pada sebuah pohon kecil, dan rantai berduri terhampar di seluruh medan pertempuran; saat bola melilit batang pohon, Erec berguling dan menjatuhkan diri, menghindari tombak yang akan dihempaskan ke arahnya, dan berpegangan pada poros tombak sekuat tenaga.

Ia tepat waktu: tak ada waktu bagi pasukan itu untuk bereaksi. Mereka melihatnya pada detik terakhir dan mencoba mengerem kuda-kuda mereka–tapi mereka melaju terlalu cepat, dan tak sempat menghindar.

Seluruh garis depan berlari menuju jebakan itu, rantai berduri memotong melalui semua kaki kuda, mengirim para penunggangnya mencium tanah dengan wajah lebih dulu, kuda-kuda mendarat di atas mereka. Lusinan dari mereka tertindih dalam kekacauan.

Erec tak punya waktu untuk berbangga diri atas kerusakan yang telah ia lakukan: lapisan pasukan lain berbelok dan menerjang ke arahnya, menyerang dengan teriakan perang, dan Erec berguling untuk menyerang mereka.

Saat ksatria pertama mengangkat sebuah tombak, Erec mengambil kesempatan dari apa yang ia miliki: ia tak punya kuda, dan tak dapat menyamai para prajurit ini dengan ketinggian mereka, tapi karena ia berdiri rendah, ia bisa menggunakan tanah di bawahnya. Erec tiba-tiba merunduk, berguling, mengangkat pedangnya dan memotong kaki kuda prajurit itu. Kuda itu goyah dan prajurit itu jatuh dengan wajah lebih dulu sebelum dia punya kesempatan untuk melepaskan senjatanya.

Erec terus berguling, dan berhasil meloloskan diri injakan kaki kuda di sekelilingnya, yang harus memisahkan diri untuk menghindari berlari menuju kuda yang terjatuh. Banyak yang tidak berhasil melakukannya, tersandung hewan yang mati, dan lusinan kuda lain jatuh ke tanah, menimbulkan kepulan debu dan menyebabkan hambatan di antara pasukan.

Itu persis seperti yang Erec harapkan: debu dan kebingungan, lusinan lain jatuh ke tanah.

Erec melompat berdiri, mengangkat pedangnya dan menahan sebuah pedang yang datang ke arah kepalanya. Ia berputar dan menahan sebuah tombak, kemudian lembing, lalu kapak. Ia bertahan dari serangan yang bertubi-tubi ke arahnya dari semua sisi, tapi ia menyadari bahwa dirinya tidak bisa menahan serangan ini selamanya. Ia harus menyerang jika ia berhasil mendapatkan kesempatan.

Erec berguling, keluar dari kepungan itu, berlutut, dan menghunus pedangnya seolah-olah itu adalah sebuah tombak. Pedang itu terbang melalui udara dan menuju dada penyerang terdekat; matanya terbelalak dan dia jatuh ke arah berlawanan, mati, jatuh dari kudanya.

Erec mengambil kesempatan dengan melompat menuju kuda pria itu, menyambar cambuk pria itu dari tangannya sebelum dia mati. Itu adalah sebuah cambuk yang bagus, dan Erec merebutnya untuk alasan ini; cambuk itu mempunyai poros perang panjang dan sebuah rantai sepanjang empat kaki, dengan tiga bola berduri di ujungnya. Erec menarik ke belakang dan mengayunkannya tinggi di atas kepala, memukul senjata dari tangan beberapa lawan sekaligus; lalu ia mengayunkannya lafi dan menjatuhkan mereka dari kuda-kudanya.

Erec mengamati medan pertempuran dan melihat bahwa ia telah melakukan kerusakan yang cukup besar, dengan hampir seratus ksatria tumbang. Tapi yang lain, setidaknya dua ratus dari mereka, berkumpul kembali dan sekarang menyerang dirinya – dan mereka semua gigih.

Erec berpacu untuk menyambut mereka, satu pria menyerang dua ratus pria, dan mengumandangkan sebuah teriakan perang untuk dirinya sendiri, mengangkat cambuknya setinggi mungkin, dan berdoa kepada Tuhan bahwa kekuatannya cukup untuk menahan mereka.

*

Alistair menangis saat ia berpegangan pada Warkfian sekuat tenaga, kuda itu berpacu, membawanya menuju ke jalan yang sangat familiar menuju Savaria. Ia telah berteriak dan menendang hewan itu sepanjang jalan, mencoba dengan semua kekuatannya untuk membuat kuda itu berbalik, berpacu kembali kepada Erec. Tapi kuda itu tidak mau mendengarkan. Ia tidak pernah menjumpai kuda apa pun seperti yang satu ini sebelumnya–kuda itu mematuhi dengan teguh pada perintah tuannya dan tak tergoyahkan. Jelas sekali, kuda itu diperintahkan untuk membawa dirinya tepat ke mana Erec memberi perintah kepada kuda itu–dan ia akhirnya menyerah karena tak ada bisa ia lakukan atas hal itu.

Perasaan Alistair campur aduk saat ia berkuda kembali melalui gerbang kota, sebuah kota di mana ia telah tinggal begitu lama sebagai seorang pelayan kontrak. Di sisi lain, kota itu terasa akrab–tapi di sisi lain, kota itu membawa kenanangan tentang pemilik penginapan yang telah menindasnya, tentang segalanya yang tidak benar mengenai tempat ini. Ia telah sangat berharap untuk bisa berubah, untuk keluar dari sana bersama Erec dan memulai hidup baru bersama dia. Saat ia merasakan keamanan di dalam gerbangnya, ia juga merasakan firasat buruk yang semakin besar mengenai Erec, ada di sana sendirian, melawan pasukan itu. Pikiran tentang hal itu membuatnya mual.

Menyadari bahwa Warkfin tidak akan berbalik, ia tahu bahwa taruhan terbaiknya adalah dengan meminta bantuan untuk Erec. Erec telah memintanya untuk tinggal di dini, di dalam keamanan gerbang ini – tapi itu adalah hal terakhir yang akan ia lakukan. Ia adalah putri seorang raja, terlebih lagi, dan ia bukanlah seseorang yang akan lari dari rasa takut atau pun dari konfrontasi. Erec telah menemukan kesesuaian di dalam dirinya: ia adalah bangsawan dan sama teguhnya seperti dirinya. Dan tak mungkin ia akan bisa hidup sendirian jika apa pun terjadi pada Erec di sana.

Karena mengenal kota kerajaan ini dengan baik, Alistair mengarahkan Warkfin menuju istana Adipati – dan sekarang karena mereka ada di dalam gerbang, hewan itu mematuhinya. Ia berkuda menuju pintu masuk istana, turun dari kuda, dan berlari melewati pengawal yang mencoba untuk menghentikan dirinya. Ia mengabaikan pekikan mereka dan berlari menuju ke koridor pualam yang telah ia pelajari dengan baik sebagai seorang pelayan.

Alistair mendorong bahunya pada pintu istana yang besar menuju ke ruangan balai, menubruknya hingga terbuka, dan menerobos masuk ke ruangan pribadi Adipati.

Beberapa anggota dewan berpaling ke arahnya, semua mengenakan pakaian kebesaran, Adipati duduk di tengah dengan beberapa ksatria mengelilinya. Mereka semua menunjukkan ekspresi terkejut; ia jelas sekali mengganggu suatu urusan penting.

“Siapakah kau, wahai perempuan?” salah satu dari mereka berseru.

“Siapa yang berani mengganggu urusan penting Adipati?” teriak yang lain.

“Aku kenal wanita itu,” ujar Adipati, berdiri.

“Aku juga mengenalnya,” ujar Brandt, yang dikenalinya sebagai teman Erec. “Itu adalah Alistair, bukan begitu?” tanyanya. “Istri baru Erec?”

Ia berlari ke arahnya, menangis, dan menggenggam tangannya.

“Tolonglah, tuanku, tolong saya. Erec butuh bantuan!”

“Apa yang terjadi?” tanya Adipati, waspada.

“Dia berada dalam bahaya besar. Saat ini dia menghadapi sepasukan musuh sendirian! Dia tidak membiarkan saya berada di sana. Tolonglah! Dia butuh bantuan!”

Tanpa sepatah kata, semua ksatria berdiri dan mulai berlari menuju balai, tak seorang pun dari mereka merasa ragu; ia berbalik dan berlari bersama mereka.

“Tinggallah di sana!” Brandt mendesak.

“Tidak mau!” ujarnya, berlari di belakangnya.”Saya akan membimbung Anda kepadanya!”

Mereka semua berlari bersama-sama menuju koridor, keluar dari pintu istana dan berkumpul dalam kelompok besar menunggu kuda, masing-masing dari mereka naik ke kuda tanpa ragu sedetik pun. Alistair melompat ke atas Warkfin, menendang, dan memimpin kelompok itu, dengan cemas pergi bersama mereka.

Saat mereka berkuda melewati istana Adipati, semua tentara di sekeliling mereka mulai naik ke kuda dan bergabung dengan mereka – dan pada saat mereka meninggalkan gerbang Savaria, mereka ditemani oleh sepasukan besar prajurit yang terus bertambah hingga setidaknya mencapao seratus prajurit. Alistair berkuda di depan, di samping Brandt dan Adipati.

“Jika Erec mengetahui bahwa Anda berkuda bersama kami, kepala saya akan menjadi hukumannya,” ujar Brandt, berkuda di sampingnya. “Tolonglah, katakan saja di mana dia, tuan putri.”

Namun Alistair menggelengkan kepala kuat-kuat, menyeka air matanya saat ia berkuda semakin cepat, gemuruh besar dari semua prajurit ini di sekelilingnya.

“Saya lebih baik menggali liang kubur saya daripada meninggalkan Erec!”




BAB TIGA


Thor berkuda dengan hati-hati di jalan setapak hutan, Reece, O’Connor, Elden, dan si kembar ada di atas punggung kuda di sampingnya, Krohn di kakinya, saat mereka semua keluar dari hutan di sisi jauh dari Ngarai. Jantung Thor berdegup semakin kencang berantisipasi saat mereka akhirnya mencapai batas akhir hutan lebat itu. Ia mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat kepada yang lain untuk tidak bersuara, dan mereka semua membeku di sampingnya.

Thor melihat dan mengamati hamparan luas pantai, langit terbuka, dan di depan itu, laut kuning luas yang akan membawa mereka menuju daratan Kekaisaran nun jauh di sana. Tartuvian. Thor belum pernah melihat perairan ini sejak perjalanan mereka menuju Misi 100 Hari. Rasanya aneh untuk kembali lagi – dan kali ini, dengan sebuah misi yang akan menentukan takdir kerajaan Cincin.

Setelah melewati jembatan Ngarai, perjalanan pendek mereka melalui hutan di dalam Alam Liar tidak terduga. Thor telah diberi perintah oleh Kolk dan Brom untuk mencari sebuah kapal kecil yang ditambatkan di pantai Tartuvian, yang tersembunyi dengan baik di bawah cabang-cabang pohon besar yang tergantung di atas laut. Thor mengikuti petunjuk mereka dengan tepat, dan saat mereka mencapai batas akhir hutan, ia melihat kapal itu, tersembunyi dengan baik, siap untuk membawa mereka ke mana pun mereka ingin pergi. Ia merasa lega.

Namun, ia juga melihat enam prajurit Kekaisaran, berdiri di pasir di depan armada kapal, memeriksanya. Prajurit lain naik ke atas kapal, yang berlabuh sebagian di pantai, berayun-ayun perlahan diterpa gelombang. Seharusnya tak ada seorang pun di sini.

Itu adalah pertanda buruk. Saat Thor melihat jauh di cakrawala, ia melihat garis pantai nun jauh di sana yang nampak seperti seluruh armada Kekaisaran, ribuan kapal hitam mengibarkan bendera hitam dari Kekaisaran. Untungnya, mereka tidak berlayar ke arah Thor, tapi ke arah berbeda, mengambil jalur berputar yang panjang untuk membawa mereka mengelilingi Cincin, ke sisi McCloud, di mana mereka telah menerobos Ngarai. Untungnya armada mereka disibukkan dengan rute yang berbeda.

Kecuali satu patroli ini. Enam prajurit Kekaisaran ini, mungkin bertugas untuk sebuah misi rutin, entah bagaimana pasti telah tersandung kapal Legiun ini. Itu adalah waktu yang tidak tepat. Jika Thor dan yang lain mencapai pantai beberapa menit lebih awal, mereka mungkin telah naik ke kapal itu dan mendorongnya. Sekarang, mereka mempunyai sebuah konfrontasi di tangan mereka. Tidak ada cara lain lagi.

Thor melihat ke atas dan bawah pantai dan melihat tidak ada pasukan prajurit Kekaisaran lainnya. Setidaknya itu adalah keberuntungan mereka. Itu mungkin sebuah kelompok patroli saja.

“Aku kira kapal itu seharusnya tersembunyi dengan baik,” ujar O’Connor.

“Sepertinya tidak cukup baik,” Elden menegaskan.

Enam dari mereka duduk di atas kuda-kuda mereka, menatap kapal dan kelompok prajurit itu.

“Tak akan lama lagi sampai mereka memperingatkan pasukan Kekaisaran,” Conven mengamati.

“Dan kemudian kita akan punya perang habis-habisan di tangan kita,” tambah Conval.

Thor tahu mereka benar. Dan itu bukanlah kesempatan yang bisa mereka tangani.

“O’Connor,” ujar Thor, “caramu mengenai sasaran adalah yang terbaik dari kita semua. Aku telah melihat kau menembak dari jarak lima puluh yard. Kau lihat yang memegang busur? Kita harus menembak dalam satu bidikan pada orang itu. Bisakah kau melakukannya?”

O’Connor mengangguk dengan sungguh-sungguh, matanya terpusat pada prajurit Kekaisaran. Ia mengulurkan tangan dengan hati-hati ke atas bahunya, mengangkat busurnya, menaruh sebuah panah, dan siap untuk menembak.

Mereka semua melihat ke arah Thor, dan ia merasa siap untuk memberi arahan.

“O’Connot, setelah aba-abaku, tembaklah. Lalu kita akan menyerang prajurit yang di bawah. Siapa saja, gunakan senjata lempar kalian saat kita semakin dekat. Cobalah untuk menjatuhkan yang paling dekat dengan kalian lebih dulu.”

Thor memberi isyarat dengan tangannya, dan tiba-tiba, O‘Connor melepaskan tali busur.

Panah itu melewati udara dengan suara mendesing, dan itu adalah tembakan sempurna, ujung logamnya menembus jantung prajurit Kekaisaran yang memegang busur. Prajurit itu berdiri di sana, matanya terbelalak untuk beberapa saat, seolah-olah dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, lalu dia tiba-tiba mengulurkan lengannya lebar-lebar dan jatuh ke depan, wajah lebih dulu, menukik, mendarat dengan percikan di pantai di kaki rekan prajuritnya, menodai pasir dengan warna merah.

Thor dan yang lain menyerang, sebuah mesin yang diminyaki dengan baik seirama satu sama lain. Suara kuda-kuda mereka berderap, dan enam prajurit lain berbalik lalu menghadapi mereka. Prajurit itu naik ke kuda mereka dan balas menyerang, bersiap-siap untuk menemui mereka di tengah-tengah.

Thor dan prajuritnya masuh memiliki keuntungan atas kejutan itu. Thor mengulurkan tangan ke belakang dan melontarkan sebuah batu dengan selempangnya dan mengenai salah satu dari mereka pada pelipisnya dari jarak dua puluh yard saat dia sedang sibuk naik ke kudanya. Dia jatuh dari kuda, mati, tali kekang kudanya masih ada di tangannya.

Saat mereka semakin dekat, Reece melemparkan kapaknya, Elden melemparkan tombaknya, dan si kembar masing-masing dengan belati mereka. Pasir licin dan kuda-kuda tergeleincir, membuat pelemparan senjata lebih sulit dari biasanya. Kapak Reece menemukan sasarannya, membunuh salah satu dari mereka, tapi yang lain meleset.

Itu menyisakan empat dari mereka. Prajurit yang berada paling depan memisahkan diri dari kelompok, menyerang tepat ke arah Reece, yang tak bersenjata; dia telah melemparkan kapaknya tapi tak punya kesempatan untuk menarik pedangnya. Reece menguatkan dirinya, dan pada detik terakhir Krohn melompat ke depan, menggigit kuda prajurit itu pada kakinya, dan kuda itu roboh, penunggangnya jatuh ke tanah dan menyelamatkan Reece pada saat-saat terakhir.

Reece menarik pedangnya dan menikam prajurit itu, membunuhnya sebelum dia bisa kembali berdiri.

Tiga prajurit tersisa sekarang. Salah satu dari mereka menuju ke arah Elden dengan sebuah kapak, mengayunkannya ke arah kepalanya; Elden menangkisnya dengan perisainya dan dalam gerakan yang sama mengayunkan pedangnya dan memotong kapak itu menjadi setengah.

Kemudian Elden mengayunkan perisainya dan menghantam penyerang di sisi kepalanya, menjatuhkan dia dari kudanya.

Prajurit lain menarik sebuah cambuk dari pinggangnya dan mengayunkan rantai panjangnya, ujung yang berdiri tiba-tiba mengarah kepada O’Connor. Itu terjadi terlalu cepat, dan O’Connor tak sempat bereaksi.

Thor melihatnya datang dan menyerang ke arah temannya, mengangkat pedangnya dan menebas rantai cambuk itu, sebelum mengenai O’Connor. Muncullah suara pedang memotong besi, Thor kagum atas betapa tajam pedang barunya. Bola berduri itu melayang jatuh tak berdaya dan tertancap di pasir, menyelamatkan nyawa O’Connor. Lalu Conval berderap dan menikam prajurit itu menggunakan sebuah tombak, membunuhnya.

Prajurit terakhir Kekaisaran melihat bahwa dia sangat kalah jumlah; ketakutan di dalam matanya, dia tiba-tiba berbalik dan kabur, berpacu di pantai, jejak kaki kudanya meninggalkan jejak yang terlihat jelas di atas pasir.

Mereka semua mengalihkan pandangan kepada prajurit yang kabur: Thor melontarkan sebuah batu dengan selempangnya, O’Connor mengangkat busurnya dan menembak, dan Reece melemparkan tombak. Namun prajurit itu berkuda terlalu tak teratur, kuda-kuda terbenam di dalam pasir, dan mereka semua meleset.

Elden menarik pedangnya dan Thor bisa melihat bahwa dia akan mengejar prajurit itu. Thor mengeluarkan sebelah tangannya dan memberi isyarat kepadanya untuk diam di tempat.

“Jangan!” teriak Thor.

Elden berpaling dan menatapnya.

“Jika dia hidup, dia akan mengirim yang lain untuk mengejar kita!” Elden memprotes.

Thor berpaling dan melihat kembali ke arah kapal, dan tahu bahwa itu akan membuang waktu berharga mereka untuk mengejarnya – waktu yang tidak bisa mereka sia-siakan.

“Kekaisaran akan datang mengejar kita apa pun yang terjadi,” ujar Thor. “Kita tak punya banyak waktu. Yang terpenting sekarang adalah kita harus pergi jauh dari sini. Ayo ke kapal!”

Mereka turun dari kuda saat mereka mencapai kapal dan Thor merogoh sadelnya dan mulai mengosongkan semua perbekalannya sebagaimana yang lain melakukan hal yang sama, memasukkan senjata dan karung-karung makanan dan air. Entah berapa lama perjalanan itu akan berlangsung, berapa lama lagi sampai mereka melihat daratan lagi – jika mereka bisa melihat daratan lagi. Thor juga memasukkan makanan untuk Krohn.

Mereka melemparkan karung-karung tinggi di atas jalan menuju perahu; mereka mendarat di atas dek dengan bunyi gedebuk.

Thor menyambar tali tebal yang diikat tergantung di sisi atas, pegangan tali yang terasa kasar di tangannya, dan menimbang-nimbangnya. Ia menaruh Krohn di atas bahunya, berat mereka berdua menguji otot-ototnya, dan menarik ke arah dek. Krohn mendengking di telinganya, memeluk dadanya dengan cakarnya yang tajam, berpegangan erat pada dirinya.

Thor segera sampai di pagar kapal, Krohn melompat dari tubuhnya menuju dek – dan yang lain mengikuti di belakangnya. Thor membungkuk dan menatap kuda-kuda di pantai, melihat ke atas seolah-olah menunggu perintah.

“Dan bagaimana dengan mereka?” Reece bertanya, berdiri di sampingnya.

Thor berpaling dan mengamati kapal: kapal itu mungkin sepanjang dua puluh kaki dan lebarnya setengah panjangnya. Kapal itu cukup besar untuk mereka bertujuh – tetapi tidak untuk kuda-kuda mereka. Jika mereka mencoba untuk membawanya, kuda-kuda itu mungkin menginjak-injak kayu, merusak perahu. Mereka harus meninggalkan kuda-kuda itu.

“Kita tak punya pilihan,” kata Thor, melihat ke bawah dengan perasaan rindu kepada kuda-kuda itu. “Kita harus mencari kuda baru.”

O’Connor membungkuk di atas pagar perahu.

“Mereka adalah kuda-kuda yang pintar,” kata O’Connor. “Aku melatih mereka dengan baik. Kuda-kuda itu akan kembali ke rumah dengan berdasarkan perintahku.”

O’Connor bersiul dengan keras.

Bersama-sama, kuda-kuda itu berbalik dan berderap, berpacu menyusuri pasir dan menghilang ke dalam hutan, kembali menuju ke Cincin.

Thor berpaling dan menatap saudara-saudaranya, di perahu itu, di laut di hadapan mereka. Sekarang mereka terdampar, tanpa kuda, tanpa pilihan lain selain bergerak maju. Kenyataan mulai merayap. Mereka benar-benar sendirian, tanpa apa-apa kecuali perahu ini, dan akan berpisah dari pantai Cincin untuk selamanya. Sekarang tidak ada jalan untuk kembali.

“Dan bagaimana kita seharusnya membuat perahu ini berada di dalam air?” Conval bertanya, seketika itu mereka melihat ke bawah, lima belas kaki di bawah, di lambung kapal. Sebagian kecil perahu itu ada di dalam gelombang yang memukul-mukul dari arah Tartuvian, tetapi sebagian besarnya mendarat dengan kokoh di atas pasir.

“Sebelah sini!” ujar Conven.

Mereka bergegas ke sisi lain di mana rantai besi tebal menggantung di tepi, di bagian bawahnya berupa sebuah bola besi besar, berada di atas pasir.

Conven mengulurkan tangan ke bawah dan menarik rantai itu. Dia mengerang dan berusaha keras menariknya, tapi tak bisa mengangkatnya.

“Ini terlalu berat,” dia menggerutu.

Conval dan Thor bergegas membantu, dan saat mereka bertiga meraih dan menarik rantai itu, Thor terkejut dengan beratnya: bahkan dengan mereka bertiga yang menariknya, mereka hanya bisa mengangkatnya setinggi beberapa kaki. Akhirnya, mereka semua menjatuhkannya, dan bola itu terjatuh kembali ke pasir.

“Coba aku bantu,” ujar Elden, melangkah maju.

Dengan tubuhnya yang besar, Elden menjulang tinggi di atas mereka, dan dia mengulurkan tangannya sendirian dan menarik rantai itu, dan berhasil mengangkat bola itu ke udara sendirian. Thor kagum. Yang lain turut serta dan mereka semua menariknya, menghentak jangkar itu satu kaki setiap saat, dan akhirnya melewati pagar dan ke atas dek.

Perahu mulai bergerak, bergoyang sedikit di dalam gelombang, tetapi tetap bersarang di dalam pasir.

“Tiangnya!” ujar Reece.

Thor berpaling dan melihat dua tiang kayu, hampir dua puluh kaki panjangnya, terpasang di sepanjang sisi perahu, dan menyadari fungsi tiang itu. Ia berlari mendekat bersama Reece dan menyambar salah satunya sementara Conval dan Conven meraih yang lainnya.

“Saat kami dorong,” Thor berseru, “kalian semua kembangkan layarnya!”

Mereka membungkuk, menusukkan tiang ke pasir, dan mendorong dengan sekuat tenaga; Thor mengerang saatmengeluarkan tenaganya. Perlahan-lahan, perahu mulai bergerak, hanya sedikit sekali. Pada saat yang sama, Elden dan O’Connor berlari ke tengah perahu dan menarik tali untuk mengembangkan layar kanvas itu, mengembangkannya sekuat tenaga, satu kaki pada satu waktu. Untungnya berhembus angin kuat, dan saat Thor dan yang lain terus mendorong menjauhi pantai, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan perahu yang luar biasa beratnya ini dari pasir, layar terkembang semakin tinggi, dan mulai menangkap angin.

Akhirnya, perahu bergoyang di bawah mereka saat meluncur keluar menuju air, berayun-ayun, ringan, bahu Thor bergetar karena usaha kerasnya. Elden dan O’Connor mengembangkan layar di seluruh tiang, dan segera mereka hanyut ke laut.

Mereka semua menyuarakan sorakan keberhasilan, saat mereka meletakkan tiang kembali pada tempatnya dan berlari kembali lalu membantu Elden dan O’Connor mengikat tali layar. Krihn mendengking di samping mereka, merasa gembira dengan itu semua.

“Mau memegang kemudi?” Thor bertanya pada O’Connor.

O’Connor menyeringai lebar.

“Dengan senang hati.”

Mereka mulai mendapatkan kecepatan yang sesunggugnya, berlayar di perairan kuning Tartuvian, angin di punggung mereka. Akhirnya, mereka bergerak, dan Thor menarik napas dalam-dalam. Mereka pergi.

Thor menuju ke haluan, Reece di sampingnya, sementara Krohn berjalan di antara mereka dan bersandar di kaki Thor, lalu Thor mengulurkan tangan dan membelai bulu putihnya yang lembut. Krohn membungkuk dan menjilat Thor; Thor merogoh kantung kecil dan mengeluarkan sepotong kecil daging untuk Krohn, yang menyambarnya.

Thor menatap laut luas di hadapan mereka. Cakrawala jauh itu dihiasi dengan titik-titik kapal hitam Kekaisaran, pasti mereka sedang dalm perjalanan menuju sisi McCloud dari Cincin. Untungnya, mereka teralihkan, dan tidak mungkin menyadari satu perahu yang mengarah menuju wilayah mereka. Langit cerah, ada angin kuat yang bertiup di punggung mereka, dan mereka terus menambah kecepatan.

Thor bertanya-tanya apakah yang terhampar di depan mereka. Ia bertanya-tanya berapa lama sampai mereka mencapai tanah Kekaisaran, apa yang mungkin menunggu untuk menyambut mereka. Ia bertanya-tanya bagaimanakah mereka akan menemukan pedang itu, bagaimanakah semua ini akan berakhir. Ia tahu peluang apa yang ada di depan mereka, tapi tetap saja ia merasa gembira karena akhirnya melakukan perjalanan, merasa senang karena mereka berhasil sampai sejauh ini, dan tak sabar untuk mengambil kembali Pedang itu.

“Bagaimana jika tak ada di sana?” Reece bertanya.

Thor berpaling dan menatapnya.

“Pedang itu,” Reece menambahkan. “Bagaimana jika tak ada di sana? Atau hilang? Atau hancur? Atau kita tak pernah menemukannya? Bagaimanapun juga, Kekaisaran itu sangat luas.”

“Atau bagaimanakah jika Kekaisaran tahu cara untuk menguasainya?” Elden bertanya dengan suara dalamnya, muncul di samping mereka.

“Bagaimanakah jika kita menemukannya tapi tak bisa membawanya kembali?” tanya Conven.

Mereka berdiri berkumpul di sana, merasa was-was atas apa yang terhampar di hadapan mereka, atas lautan pertanyaan yang tak terjawab. Perjalanan ini adalah kegilaan, Thor tahu itu.

Kegilaan.




BAB EMPAT


Gareth berlari di lantai batu di ruang belajar ayahnya – sebuah ruangan kecil di lantai teratas istana yang disukai ayahnya – dan, sedikit demi sedikit, mengobrak-abriknya.

Gareth menuju rak demi rak, menyentak turun volume-volume berharga, buku kulit kuno yang teralh berada di dalam keluarganya selama beravbad-abad, merobek jilidannya dan merobek-robek halamannya menjadi potongan kecil. Saat ia melemparkannya ke udara, kertas-kertas berjatuhan di atas kepalanya seperti salju, menempel pada tubuhnya dan air mata mengalir di pipinya. Ia telah memutuskan untuk merobek-robek setiap benda di dalam ruangan ini yang disayangi ayahnya, satu buku sekaligus.

Gareth bergegas menuju ke meja di sudut ruangan, meraih yang tersisa di pipa opiumnya, dan dengan tangan gemetar mengisapnya keras-keras, membutuhkan efeknya sekarang juga lebih dari sebelumnya. Ia kecanduan, mengisapnya setiap menit sebisa mungkin, bertekad untuk menghalau bayangan ayahnya yang menghantuinya dalam mimpi-mimpinya, dan sekarang bahkan ketika dia terjaga.

Saat Gareth meletakkan pipa itu, ia melihat ayahnya berdiri di sana, di hadapannya, sebuah mayat yang membusuk. Setiap kali dia melihatnya, mayat itu semakin membusuk, semakin terlihat tulang-belulangnya ketimbang daging; Gareth berpaling dari pandangan mengerikan itu.

Gareth tadinya berusaha menyerang bayangan itu – namun dia telah belajar bahwa itu tak ada gunanya. Jadi sekarang dia hanya memalingkan kepalanya, terus-menerus, selalu berpaling. Bayangan itu senantiasa sama: ayahnya mengenakan sebuah mahkota berkarat, mulutnya terbuka, matanya menatap dirinya dengan mencemooh, mengulurkan satu jarinya, menunjuk menuduh dirinya. Dalam keadaan mengerikan itu, Gareth merasa sisa harinya dapat dihitung, merasa bahwa hanya masalah waktu sampai dia bergabung dengan ayahnya. Ia benci melihat ayahnya lebih dari apa pun. Jika ada satu anugrah yang diberikan padanya saat pembunuhan ayahnya, yaitu bahwa dia tidak perlu melihat wajah ayahnya lagi. Tapi sekarang, ironisnya, ia melihat wajah ayahnya lebih sering dari sebelumnya.

Gareth berbalik dan melemparkan pipa opium pada penampakan itu, berharap bahwa jika ia melemparkannya cukup cepat mungkin akan benar-benar mengenainya.

Tapi pipa itu hanya melayang di udara dan menabrak dinding, hancur.

Ayahnya masih berdiri di sana, dan melotot ke arahnya.

"Obat itu tak akan membantumu," ayahnya memaki.

Gareth tidak tahan lagi. Dia menyerang penampakan itu, mengulurkan tangannya, ingin sekali mencakar wajah ayahnya; tapi seperti biasanya, dia menembus tidak mengenai apa-apa selain udara, dan kali ini terjerembab ke seberang ruangan dan mendarat keras di meja kayu ayahnya, membuatnya menjatuhkannya ke lantai bersama dirinya.

Gareth terguling di lantai, terengah-engah, dan mendongark lalu melihat ia telah melukai lengannya. Darah mengalir di pakaiannya, dan ia melihat dan menyadari bahwa dirinya masih mengenakan baju dalam yang ia pakai untuk tidur selama berhari-hari; sesungguhnya, ia tidak ganti baju selama seminggu sampai hari ini. Ia menatap bayangan dirinya sendiri dan melihat rambutnya awut-awutan; ia terlihat seperti berandalan. Sebagian dari dirinya sulit memercayai bahwa dirinya telah tenggelam begitu rendah. Namun bagian dari dirinya yang lain tidak lagi peduli. Satu-satunya hal yang tersisa di dalam dirinya adalah hasrat membara untuk menghancurkan – untuk menghancurkan bekas-bekas peninggalan ayahnya yang terdahulu. Dia ingin meratakan kastil ini dengan tanah, beserta Istana Raja. Itu akan menjadi balas dendam atas perlakuan yang ia terima sebagai seorang anak. Kenangan-kenangan itu terperangkap di dalam dirinya, seperti sebuah duri yang tak bisa ia cabut.

Pintu ruang belajar ayahnya terbuka lebar, dan segera masuklah salah satu pelayan Gareth, menatapnya dengan ketakutan.

“Baginda,” ujar pelayan itu. “Saya mendengar suara dentaman. Apakah Anda baik-baik saja? Baginda, Anda berdarah!”

Gareth menatap bocah itu dengan kebencian. Gareth berusaha berdiri, untuk mencambuknya, tapi dia terpeleset sesuatu, dan kembali jatuh ke lantai, kehilangan keseimbangan karena efek terakhir opium.

“Baginda, saya akan menolong Anda!”

Bocah itu segera maju dan meraih lengan Gareth, yang sangat kurus, hampir-hampir hanya berupa daging dan tulang.

Namun Gareth masih mempunyai sisa kekuatan dan saat bocah itu menyentuh lengannya, ia mendorongnya, mengirimkannya ke seberang ruangan.

“Jika kau sentuh aku lagi maka aku akan memotong tanganmu,” Gareth mendidih.

Bocah itu mundur ketakutan, dan saat itu juga, pelayan lain memasuki ruangan, ditemani oleh seorang pria tua yang samar-samar Gareth kenali. Entah di mana di dalam ingatannya ia mengenalnya – tapi ia tidak bisa mengigat siapa.

“Baginda,” terdengarlah sebuah suara pria tua yang serak, “kami telah menunggu Anda di ruangan dewan selama setengah hari. Para anggota dewan tak bisa menunggu lebih lama lagi. Mereka mempunyai berita mendesak, dan harus memberitahukannya kepada Anda sebelum hati ini berakhir. Akankah Anda datang?”

Gareth menyipitkan matanya pada pria itu, mencoba mengingatnya. Ia samar-samar ingat dia telah mengabdi kepada ayahnya. Ruangan dewan... Pertemuan... Itu semua berputar-putar di dalam pikirannya.

“Siapakah kau?” Gareth bertanya.

“Baginda, saya Aberthol. Penasihat terpercaya ayah Anda,” ujarnya, melangkah lebih dekat.

Ingatannya perlahan-lahan kembali. Aberthol. Dewan. Pertemuan. Pikiran Gareth berputar, kepalanya sakit. Ia hanya ingin sendirian saja.

“Tinggalkan aku,” tukasnya. “Aku akan ke sana.”

Aberthol mengangguk dan segera keluar dari ruangan itu bersama sang pelayan, menutup pintu di belakang mereka.

Gareth berlutut di sana, memegang kepalanya, mencoba untuk berpikir, untuk mengingat. Itu semua terlalu banyak. Ingatannya mulai kembali sedikit demi sedikit. Perisai telah turun; Kekaisaran menyerang; setengah istananya tersisa; saudarinya telah meninggalkan dirinya; menuju Silesia…Gwendolyn…Itu dia. Itulah apa yang coba ia ingat.

Gwendolyn. Ia membencinya dengan segala kemurkaan yang tak bisa ia gambarkan. Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia ingin membunuhnya. Ia harus membunuhnya. Semua masalah dalam dunia ini – itu semua disebabkan olehnya. Ia akan menemukan cara untuk mengembalikannya, bahkan jika ia harus mati dalam melakukannya. Dan kemudian ia akan membunuh saudara kandungnya.

Gareth mulai merasa lebih baik karena pikiran itu.

Dengan susah payah, dia berusaha berdiri dan terhuyung ke seberang ruangan, menabrak pinggir meja saat ia melakukannya. Ketika dia mendekati pintu, ia melihat patung pualam putih ayahnya, sebuah patung yang sangat disukai ayahnya, dan ia mengulurkan tangan, menyambar kepala patung itu dan melemparkannya ke dinding.

Patung itu hancur berkeping-keping, dan untuk untuk pertama kalinya pada hari itu, Gareth tersenyum. Mungkin hari ini tidak begitu buruk.

*

Gareth melangkah dengan angkuh menuju ruangan dewan yang dijaga oleh beberapa pengawal, membanting pintu ek besar itu dengan telapak tangannya, membuat semua orang di dalam ruangan yang riuh itu terkejut atas kehadirannya. Mereka semua segera berdiri tegak.

Biasanya, hal ini akan memberikan sedikit kepuasan bagi Gareth, pada hari ini, dia tak lagi peduli. Dia terganggu oleh hantu ayahnya, dan diliputi kemurkaan karena saudarinya telah pergi. Emosinya teraduk-aduk di dalam dirinya, dan dia harus mengeluarkannya.

Gareth terhuyung melewati ruangan besar itu dalam kekaburan yang ditimbulkan opiumnya, berjalan menuju ke tengah lorong menuju singgasananya, lusinan anggota dewan berdiri saat dia lewat. Peserta majelis itu semakin banyak, dan hari ini energi mereka sangat gelisah, karena semakin banyak orang yang kelihatannya mendengar kabar tentang dikuasainya setengah Istana Raja, dan perisai turun. Sepertinya seolah-olah siapa pun yang tersisa di Istana Raja menuntut jawaban.

Dan tentu saja, Gareth tak punya jawabannya.

Saat Gareth berjalan dengan angkuh menaiki anak tangga berwarna gading menuju singgasana ayahnya, ia melihat, berdiri dengan sabar di belakangnya, Lord Kutlin, pimpinan prajurit bayaran dari pasukan penyerang pribadinya, satu pria yang tersisa di dalam istana yang bisa ia percayai. Bersamanya berdirilah lusinan petarungnya, berdiri di sana dalam diam, tangan-tangan pada pedang mereka, siap untuk bertarung sampai mati demi Gareth. Itu adalah satu hal tersisa yang memberikan rasa nyaman bagi Gareth.

Gareth duduk di singgasananya dan mengamati ruangan itu. Ada begitu banyak wajah, beberapa ia kenali dan banyak yang tidak. Ia tak memercayai satu pun dari mereka. Setiap hari ia menyingkirkan semakin banyak orang dari istananya; ia telah mengirimkan begitu banyak dari mereka ke penjara bawah tanah, dan bahkan kepada algojo. Tak sehari pun berlalu ketika ia tidak memnunuh setidaknya beberapa orang. Ia mengira itu adalah kebijakan yang bagus: itu membuat orang-orang tetap di bawah kakinya, dan mencegah terbentuknya pemberontakan.

Ruangan itu menjadi hening, menatap ke arahnya dengan bingung. Mereka semua nampak takut untuk berbicara. Persis seperti itulah yang ia inginkan. Tak ada yang membuatnya lebih senang dibandingkan menyuntikkan ketakutan kepada bawahannya.

Akhirnya, Aberthol melangkah maju, tongkatnya bergema di batu, dan berdeham.

“Baginda,” dia memulai, suaranya parau, “kami bertahan pada saat kekacauan besar di dalam Istana Raja. Saya tidak tahu kabar apa yang telah Anda dengar: Perisai turun; Gwendolyn telah meninggalkan Istana Raja dan membawa Kolk, Brom, Atme, Kesatuan Perak, Legiun, dan setengah pasukan Anda – bersama dengan setengah Istana Raja. Mereka yang tetap tinggal di sini mengarapkan petunjuk dari Anda, dan untuk mengetahui langkah apa yang selanjutnya dilakukan. Orang-orang menginginkan jawaban, tuanku.”

“Selain itu,” ujar anggota dewan lain yang samar-samar Gareth kenali, “kabar telah menyebar bahwa Ngarai telah diterobos. Rumor itu mengatakan bahwa Andronicus telah menginvasi sis McCloud dari Cincin dengan pasukan sejuta prajuritnya.”

Kesiap marah menyebar di seluruh ruangan itu; lusinan ksatria tangguh saling berbisik, diliputi dengan ketakutan, dan suasana panik menyebar seperti kobaran api.

“Itu tidak boleh terjadi!” seru salah satu prajurit.

“Ya!” anggota dewan bersikeras.

“Maka semua harapan musnah!” teriak prrajurit lain. “Jika McCloud sudah diserbu, selanjutnya Kekaisaran akan datang untuk Istana Raja. Tak mungkin kita bisa menahan mereka.”

“Kita harus mendiskusikan syarat-syarat untuk menyerah, baginda,” ujar Aberthol kepada Gareth.

“Menyerah!?” teriak pria lain. “Kita tidak akan pernah menyerah!”

“Jika tidak,” prajurit lain berteriak, “kita akan dihancurkan. Bagaimana kita bisa bertahan terhadap satu juta pasukan?”

Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah, prajurit dan dewan berdebat satu sama lain, semua dalam kekacauan.

Pemimpin dewan menghantamkan tongkat besinya di lantai batu dan berteriak:

“DIAM!”

Perlahan-lahan, ruangan itu hening. Semua orang berpaling dan menatap ke arahnya.

“Itu semua adalah keputusan bagi seorang raja, bukan kita,” salah satu anggota dewan berkata. “Gareth adalah Raja yang sah, dan bukan kita yang membahas syarat-syarat penyerahan diri – atau seandainya tidak menyerah.”

Mereka semua berpaling kepada Gareth.

“Baginda,” ujar Aberthol, kelelahan dalam suaranya, ”bagaimanakah Anda mengajukan cara kita menangani pasukan Kekaisaran?”

Ruangan itu menjadi sangat hening.

Gareth duduk di sana, menatap orang-orang, yang menunggu jawaban. Tapi semakin sulit baginya untuk mempertahankan pikirannya tetap jernih. Ia terus mendengar suara ayahnya di dalam kepalanya, berteriak kepaadanya, seperti saat ia masih kecil. Itu membuatnya gila, dan suara itu tak mau hilang.

Gareth mengulurkan tangan dan menggores senjata kayu singgasananya, lagi dan lagi. Suara kuku jarinya hanyalah satu-satunya suara di dalam ruangan itu.

Para anggota dewan bertukar pandang dengan khawatir.

“Baginda,” anggota dewan lain mengulangi, “jika Anda memilih untuk tidak menyerah, maka kita harus membentengi Istana Raja segera. Kita harus mengamankan semua jalan masuk, semua jalan, semua gerbang. Kita harus memanggil para prajurit, menyiapkan pertahanan. Kita harus bersiap-siap terhadap serangan, menimbun makanan, melindungi rakyat kita. Ada banyak sekali hal yang harus dilakukan. Tolonglah, tuanku. Berikan kami sebuah perintah. Katakan kepada kami apa yang harus dilakukan.

Sekali lagi ruangan itu menjadi sunyi, semua mata tertuju kepada Gareth.

Akhirnya, Gareth mengangkat dagunya dan mendongak.

“Kita tidak akan melawan Kekaisaran,” ia mengumumkan. “Kita juga tidak akan menyerah.”

Semua orang dalam ruangan itu saling berpandangan, bingung.

“Lalu, apa yang kita lakukan, tuanku?” tanya Aberthol.

Gareth berdeham.

“Kita harus membunuh Gwendolyn!” Gareth menegaskan. “Itulah yang penting sekarang.”

Muncullah kesunyian terkejut.

“Gwendolyn?” seorang anggota dewan berseru terkejut saaat ruangan itu pecah menjadi gumaman terkejut.

“Kita akan mengirimkan semua pasukan kita untuk mengejarnya, untuk membantainya dan mereka yang bersamanya sebelum mereka mencapai Silesia,” Gareth mengumumkan.

“Tapi, tuanku, bagaimanakah hal ini bisa membantu kita?” seru seorang anggota dewan. “Jika mengambil risiko untuk menyerangnya, itu hanya akan membuat pasukan kita terlihat. Mereka semua akan dikepung dan dibantai oleh Kekaisaran.”

“Itu juga akan membuat Istana Raja terbuka terhadap serangan!” seru yang lain. “Jika kita tidak akan menyerah, kita harus membentengi Istana Raja segera!”

Gareth berpaling dan melihat ke arah anggota dewan itu, matanya dingin.

“Kita akan menggunakan semua orang yang kita punya untuk membunuh saudariku!” ujarnya suram. “Kita tidak akan meloloskan satu orang pun!”

Ruangan itu menjadi hening saat anggota dewan itu mendorong kursinya, menggesek lantai batu, dan berdiri.

“Saya tidak akan melihat Istana Raja hancur karena obsesi pribadi Anda. Saya, sendirian, tidak mendukung Anda!”

“Saya juga!” gema setengah pria di dalam ruangan itu.

Gareth merasakan dirinya terbakar kemarahan, dan baru akan berdiri ketika tiba-tiba pintu menuju ruangan itu terkuak terbuka dan segera masuklah komandan dari pasukan yang tersisa. Semua mata tertuju padanya. Dia menyeret seseorang dalam lengannya, seorang berandalan dengan rambut licin, brewok, terikat pergelangan tangannya. Dia menyeret pria itu sepanjang jalan menuju ke tengah ruangan dan berhenti di hadapan raja.

“Baginda,” ujar komandan itu dengan dingin. “Dari enam pencuri yang dieksekusi atas pencurian Pedang Takdir, pria inilah yang ketujuh, seseorang yang kabur. Dia menceritakan kisah paling menakjubkan tentang apa yang telah terjadi.

“Bicaralah!” desak komandan itu, menggoyang berandalan itu.

Berandalan melihat dengan gugup ke segala arah, rambut licinnya menempel di pipinya, terlihat tidak yakin. Akhirnya, dia berseru:

“Kami diperintahkan untuk mencuri pedang itu!”

Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah.

“Ada sembilan belas dari kami!” lanjut berandalan itu. “Selusin dari kami adalah untuk membawanya pergi, di dalam naungan kegelapan, menyeberangi jembatan Ngarai, dan menuju ke alam liar. Mereka menyembunyikannya di dalam sebuah kereta dan membawanya menyeberangi jembatan sehingga prajurit yang berjaga tak akan tahu apa yang ada di dalamnya. Yang lain, tujuh dari kami, diperintahkan untuk tetap tinggal setelah pencurian itu. Kami diberitahu bahwa kami akan dipenjarakan, seperti sebuah pertunjukan, dan kemudian dibebaskan. Tapi sebaliknya, semua teman-teman saya dieksekusi. Saya juga akan dieksekusi, jika saya tidak kabur.”

Ruangan itu berubah menjadi gumaman gelisah yang panjang.

“Dan ke manakah mereka membawa pedang itu?” desak komandan.

“Saya tidak tahu. Di suatu tempat jauh di dalam Kekaisaran.”

“Dan siapakah yang memerintahkan hal semacam itu?”

“Dia!” kata berandalan itu, tiba-tiba berpaling dan mengacungkan telunjuknya pada Gareth. “Raja kita! Dia memerintahkan kami untuk melakukan hal itu!”

Ruangan itu pecah menjadi gumaman ngeri, muncullah seruan, sampai akhirnya seorang anggota dewan memukulkan tongkat besi beberapa kali dan berteriak menyuruh diam.

Ruangan itu terdiam, tapi nyaris sunyi.

Gareth, sudah gemetar takut dan marah, berdiri perlahan-lahan dari singgasanaya, dan ruangan itu hening, saat semua mata tertuju padanya.

Satu demi satu langkah, Gareth menuruni anak tangga berwarna gading, langkah kakinya bergema, keheningan begitu pekat sehingga seseorang bisa memotongnya dengan sebilah pisau.

Ia menyeberangi ruangan itu, sampai akhirnya ia mencapai berandalan itu. Dia menatapnya dengan dingin, dari jarak satu kaki, pria itu menggeliat di dalam lengan komandan, melihat ke segala arah selain dirinya.

“Pencuri dan pembohong hanya berurusan dengan satu cara di kerajaanku,” ujar Gareth lembut.

Gareth tiba-tiba menarik sebilah belati dari pinggangnya dan menikamkannya ke jantung berandalan itu.

Pria itu berteriak kesakitan, matanya terbelalak, kemudian tiba-tiba merosot jatuh ke lantai, mati.

Komandan itu menatap Gareth, dengan tatapan mencemooh.

“Anda baru saja membunuh seorang saksi yang melawan Anda,” ujar komandan itu. “Tidakkah Anda menyadari bahwa hal itu hanya akan mendukung secara tak langsung terhadap kesalahan Anda?”

“Saksi apa?” Gareth bertanya, tersenyum. “Orang mati tidak berbicara.”

Komandan itu memerah.

“Seandainya Anda lupa, saya adalah komandan dari setengah pasukan Raja. Saya tidak akan bermain-main. Dari tindakan Anda, saya hanya bisa menduga bahwa Anda bersalah atas kejahatan yang dia tuduhkan kepada Anda. Sehingga, saya dan pasukan saya tidak akan mengabdi kepada Anda lagi. Malahan, saya akan membawa Anda ke dalam tahanan, menghukum Anda atas pengkhinatan terhadap Cincin!”

Komandan itu mengangguk kepada prajuritnya, dan bersama-sama, beberapa lusin prajurit menghunuskan pedang mereka dan melangkah maju untuk menahan Gareth.

Lord Kutlin melangkah maju dengan dua kali lipat jumlah prajuritnya, semua menghunuskan pedang mereka dan berjalan di belakang Gareth.

Mereka berdiri di sana berhadapan dengan prajurit komandan, Gareth di tengah-tengah.

Gareth tersenyum menang ke arah komandan itu. Prajuritnya kalah jumlah oleh pasukan petarung Gareth, dan dia tahu itu.

“Saya tidak akan pergi ke dalam tahanan siapa pun,” Gareth mencemooh. “Dan pastinya bukan dengan tanganmu. Bawalah prajuritmu dan pergilah dari istanaku – atau temuilah kemurkaan pasukan petarung pribadiku.”

Setelah beberapa detik ketegangan, komandan itu akhirnya berbalik dan memberi isyarat kepada prajuritnya, dan bersama-sama, mereka semua mundur, berjalan dengan hati-hati ke arah belakang, pedang-pedang terhunus, dari ruangan itu.

“Mulai hari ini dan seterusnya,” komandan itu menggelegar, “biarlah diketahui bahwa kami tidak lagi mengabdi kepada Anda! Anda akan menghadapi pasukan Kekaisaran sendirian. Saya harap mereka memperlakukan Anda dengan baik. Lebih baik dari Anda memperlakukan ayah Anda!”

Para prajurit itu segera keluar dari ruangan, dengan dentang baju besi yang keras.

Lusinan anggota dewan, pengawal, dan bangsawan yang tetap berdiri di dalam keheningan, berbisik.

“Tinggalkan aku!” Gareth berteriak. “KALIAN SEMUA!”

Semua orang yang tersisa di dalam ruangan itu segera pergi, termasuk pasukan penyerang Gareth sendiri.

Hanya satu orang yang tetap tinggal, berlama-lama di belakang yang lain.

Lord Kutlin.

Hanya dia dan Gareth saja di dalam ruangan itu. Dia berjalan bersama Gareth, berhenti beberapa kaki, dan mengamatinya, seolah-olah menaksirnya. Seperti biasanya, wajahnya tanpa ekspresi. Itu adalah wajah yang sebenarnya dari tentara bayaran.

“Saya tidak peduli dengan apa yang Anda lakukan atau mengapa,” dia memulai, suaranya parau dan muram. “Saya tidak peduli dengan politik Anda. Saya seorang petarung. Saya hanya peduli dengan uang yang Anda bayarkan kepada saya dan orang-orang saya.”

Dia berhenti sejenak.

“Tapi saya ingin tahu, untuk kepuasan pribadi saya: apakah Anda benar-benar memerintahkan orang-orang itu untuk membawa pergi pedang itu?”

Gareth balas menatap pria itu. Ada sesuatu di matanya yang ia kenali dalam dirinya sendiri: itu adalah dingin, kejam, oportunis.

“Dan jika aku melakukannya?: Gareth balas bertanya.

Lord Kutlin balas menatapnya untuk waktu yang lama.

“Tapi kenapa?” tanyanya.

Gareth balas menatapnya, diam.

Mata Kutlin melebar memahaminya.

“Anda tak bisa mencabutnya, maka tak seorang pun bisa?” tanya Kutlin. “Benarkah begitu?” Dia mempertimbangkan hasilnya. “Tapi jika demikian,” Kutlin menambahkan, “pastikan Anda tahu bahwa dengan membawanya pergi akan menurunkan perisainya, membuat kita rentan terhadap serangan.”

Mata Kutlin terbuka lebar.

“Anda ingin kita untuk diserang, begitu? Sesuatu dalam diri Anda ingin Istana Raja hancur,” ujarnya tiba-tiba sadar.

Gareth balas tersenyum.

“Tidak semua tempat,” ujar Gareth perlahan, “ditakdirkan untuk bertahan selamanya.”




BAB LIMA


Gwendolyn berderap bersama dengan rombongan besar prajurit, penasihat, pelayan, anggota dewan, Kesatuan Perak, Legiun, dan setengah Istana Raja, ketika mereka semua sedang dalam perjalanan – satu kota berjalan yang besar – jauh dari Istana Raja. Gwen diliputi dengan emosi. Di sisi lain, dia merasa senang terbebas dari saudaranya Gareth, berada jauh dari jangkauannya, dikelilingi oleh para prajurit terpercaya yang bisa melindungi dirinya, tanpa rasa takut akan pengkhianatannya atau dinikahkan dengan siapa saja. Akhirnya, dia tidak akan perlu waspada setiap saat terjaga karena ketakutan dari salah satu pembunuhnya.

Gwen juga merasa terinspirasi dan rendah hati karena dipilih untuk memerintah, untuk memimpin rombongan besar orang-orang ini. Rombongan besar itu mengikutinya seolah-olah dia adalah semacam pendeta, semua berderap di jalan tiada akhir menuju Silesia. Mereka melihat dirinya sebagai raja mereka – ia bisa melihatnya dalam setiap tatapan mereka – dan melihatnya dengan harapan. Ia merasa bersalah, karena menginginkan salah satu dari saudaranya untuk mendapatkan kemuliaan itu – siapa saja selain dirinya. Namun dia melihat betapa besar harapan yang diberikan orang-orang untuk mempunyai pemimpin yang adil dan pantas, dan itu membuatnya bahagia. Jika dia bisa memenuhi peran itu untuk mereka, khususnya pada saat-saat kegelapan seperti ini, dia bersedia.

Gwen memikirkan Thor, atas setiap linangan air mata perpisahan di Ngarai, dan itu menghancurkan hatinya; ia melihatnya pergi, berkuda melintasi jembatan Ngarai, menuju kabut, melakukan perjalanan yang hampir pasti membimbingnya menuju kematiannya. Itu adalah petualangan yang gagah berani dan mulia – itulah yang tidak bisa dia ingkari – itu adalah perjalanan yang dia sadari untuk harus dilakukan demi kepentingan kerajaan, demi Cincin. Namun dia terus bertanya kepada dirinya sendiri mengapa itu harus dia. Ia berharap mungkin orang lain. Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia ingin dia ada di sisinya. Pada saat kekacauan ini, perpindahan besar, serta ditinggalkan sendirian untuk menjadi raja, untuk mengandung anaknya, ia ingin dia ada di sini. Lebih dari apa pun, ia menguatirkannya. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpanya; pikiran tentang itu membuatnya ingin menangis.

Namun Gwen menarik napas dalam-dalam dan tetap kuat, mengetahui semua mata tertuju padanya saat mereka berkuda, rombongan karavan yang panjang di jalan berdebu ini, mengarah semakin jauh menuju Utara, menuju Silesia yang jauh di sana.

Gwen juga masih terkejut, atas perpecahan tanah airnya. Ia sulit sekali memahami bahwa Perisai kuno itu telah turun, bahwa Ngarai telah diterobos. Rumor telah beredar dari mata-mata bahwa Andronicus sudah mendarat di pantai McCloud. Ia tidak bisa memastikan apa yang harus dipercayai. Ia mengalami waktu yang sulit untuk memahami bahwa hal itu telah terjadi begitu cepat – selain itu, Andronicus masih harus mengirimkan seluruh armadanya menyeberangi lautan. Kecuali entah bagaimana McCloud menjadi dalang di balik pencurian pedang itu, dan telah merencanakan penurunan Perisai. Tapi bagaimana? Bagaimana dia berhasil mencurinya? Ke mana dia membawanya?

Gwen bisa merasakan betapa gundah semua orang di sekelilingnya, dan dia tak bisa menyalahkan mereka. Ada udara keputusasaan di antara kerumunan ini, dan untuk alasan yang baik; tanpa perisai, mereka semua tak punya pertahanan. Hanya masalah waktu – jika bukan hari ini, maka esok atau lusa – Andronicus akan menyerang. Dan ketika dia melakukannya, tak mungkin mereka bisa menahan pasukannya. Segera tempat ini, segala hal yang ia cintai dan sayangi, akan ditaklukkan dan semua orang yang ia cintai akan terbunuh.

Saat mereka berderap, itu terasa seolah-olah mereka berjalan menuju kematian mereka. Andronicus belum ada di sana, tapi itu terasa seolah-olah mereka telah tertangkap. Ia mengingat sesuatu yang pernah dikatakan ayahnya: taklukkan jantung pasukan dan pertempuran telah dimenangkan.

Gwen tahu bahwa sudah tugasnya untuk menginspirasi mereka semua, untuk membuat mereka merasa selamat, aman – entah bagaimana, bahkan, optimisme. Ia bertekad untuk melakukannya. Ia tidak dapat membiarkan rasa takut pribadi atau rasa pesimisme melandanya pada saat seperti ini. Dan ia menolak untuk mengizinkan dirinya berkubang dalam rasa kasihan terhadap dirinya sendiri. Ini bukan lagi tentang dirinya. Ini adalah tentang orang-orang ini, nyawa mereka, keluarga mereka. Mereka membutuhkan dirinya. Mereka semua mengharapkan dirinya untuk bantuan.

Gwen memikirkan ayahnya dan bertanya-tanya apakah yang akan beliau lakukan. Ia tersenyum memikirkan ayahnya. Dia akan menunjukkan wajah yang berani, apa pun yang terjadi. Dia selalu mengatakan kepada dirinya untuk menyembunyikan ketakutan dengan berbicara keras, dan saat ia mengingat sepanjang hidupnya, dia tidak pernah terlihat takut. Tidak sekali pun. Mungkin itu hanya pertunjukan; tapi itu adalah pertunjukan yang bagus. Sebagai pemimpin, dia telah mengetahui bahwa dia harus tampil sepanjang waktu, mengetahui bahwa itu adalah pertunjukan yang dibutuhkan rakyat, mungkin bahkan lebih dari kepemimpinan. Dia terlalu tanpa pamrih untuk memperturutkan hati dalam ketakutannya. Ia harus belajar dari contohnya. Ia tak akan berbuat yang sebaliknya.

Gwen memandang ke sekeliling dan melihat Godfrey berkuda di sampingnya, dan di sebelahnya adalah Illepra, sang penyembuh; mereka berdua terlibat dalam percakapan, dan mereka berdua, yang ia perhatikan, kelihatannya semakin saling menyukai, bahkan sejak Illepra menyelamatkan nyawa Gareth. Gwen merindukan saudaranya yang lain untuk berada di sini, juga. Namun Reece pergi bersama Thor, Gareth tentu saja sudah mati baginya untuk selamanya, dan Kendrick masih ada di pos terdepan, di suatu tempat di bagian timur, masih membantu untuk membangun ulang kota yang berada jauh di sana. Ia telah mengirimkan seorang pembawa pesan kepadanya – itu adalah hal pertama yang telah ia lakukan – dan ia berharap dia akan mencapainya tepat waktu untuk membawa Kendrick kembali, membawanya ke Silesia untuk bersama dirinya dan membantu mempertahankannya. Setidaknya, dua dari saudara kandungnya – Kendrick dan Godfrey – bisa bergabung dalam pengungsian di Silesia bersamanya; yang berlaku untuk mereka semua. Kecuali, tentu saja, bagi saudari tertuanya, Luanda.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, pikiran Gwen kembali pada Luanda. Dia senantiasa mengalami persaingan sengit dengan saudarinya yang lebih tua; tidak mengejutkan bagi Gwen karena setidaknya Luanda telah mengambil kesempatan pertama yang bisa dia dapatkan untuk melarikan diri dari Istana Raja dan menikahi MdCloud itu. Luanda selalu menjadi ambisius dan selalu ingin menjadi yang pertama. Gwendolyn menyayanginya, dan memandangnya saat ia masih muda; tapi Luanda, merasa tersaingi, tidak membalas kasih sayangnya. Dan setelah beberapa saat, Gwen berhenti mencoba.

Namun sekarang Gwen merasakan firasat buruk tentangnya; ia bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada dirinya, dengan McCloud yang diserbu oleh Andronicus. Akankah dia terbunuh? Gwen menyingkirkan gagasan itu. Mereka adalah rival, tapi pada akhirnya, mereka masih bersaudara, dan ia tidak ingin melihatnya mati sebelum saatnya.

Gwen memikirkan ibunya, seseorang lain dalam keluarganya yang tertinggal di luar sana, terdampar di Istana Raja, bersama Gareth, masih dalam kondisinya. Pikiran itu membuatnya menggigil. Meskipun semua kemarahan yang masih ia miliki kepada ibunya, Gwen tidak ingin ibunya berakhir seperti saat ini. Apakah yang akan terjadi jika Istana Raja diserbu? Akankah ibunya dibantai?

Gwen tidak bisa tidak merasa seolah-olah kehidupan yang dibangun dengan hati-hati mulai runtuh di sekelilingnya. Itu terasa seperti baru kemarin dalam teriknya musim panas, pernikahan Luanda, perayaan yang megah, Istana Raja dibanjiri dengan limpahan, ia dan keluarganya berkumpul bersama, merayakannya – dan Cincin tidak terkalahkan. Nampaknya seolah-olah hal itu akan berlangsung selamanya.

Sekarang segalanya hancur berkeping-keping. Tak ada yang bisa seperti sebelumnya.

Angin dingin musim gugur menerpa, dan Gwen menarik sweater wol birunya dengan kencang ke atas bahunya. Mausim gugur berlangsung terlalu singkat tahun ini; musim dingan sudah datang. Ia bisa merasakan angin dingin, yang semakin berat dengan kelembapan saat mereka menuju jauh ke Utara di sepanjang Ngarai. Langit berubah semakin gelap lebih cepat dan udara dipenuhi dengan suara baru – pekikan Burung-burung Musim Dingin, burung bangkai merah dan hitam yang berputar rendah ketika suhu udara turun. Mereka berkaok tak henti-hentinya, dan suara itu kadang-kadang menjengkelkan Gwen. Itu seperti suara kematian yang akan datang.

Sejak mengucapkan perpisahan kepada Thor, mereka semua berangkat menyusuri sepanjang sisi Ngarai, mengikutinya ke Utara, mengetahui bahwa itu akan membawa mereka menuju kota paling barat di bagian barat Cincin – Silesia. Saat mereka berjalan, kabut mengerikan Ngarai bergulung dalam gelombang, menempel di pergelangan kaki Gwen.

“Sekarang kita tidak jauh, tuan putri,” muncul sebuah suara.

Gwen mendongak untuk melihat Srog berada di sisi yang lain, mengenakan baju besi merah khas Silesia dan diapit oleh beberapa prajuritnya, semua berpakaian dalam baju besi rantai dan sepatu bot merah. Gwen telah tersentuh oleh kebaikan Srog kepdanya, dengan kesetiaannya kepada kenangan ayahnya, dengan tawarannya untuk menjadikan Silesia sebagai tempat berlindung. Dia tidak tahu apa yang dia dan semua orang-orang ini akan lakukan sebaliknya. Mereka akan tetap, bahkan sekarang, terjebak di Istana Raja dengan belas kasihan dari pengkhianatan Gareth.

Srog adalah salah satu bangsawan paling terhormat yang pernah dia temui. Dengan ribuan prajurit dia miliki, dengan kekuasaannya dari kubu terkenal di Barat, Srog tidak perlu memberi penghormatan kepada siapa pun. Tapi dia memberi penghormatan kepada ayahnya. Ini selalu menjadi keseimbangan kekuatan. Di masa ayah ayahnya, Silesia diperlukan oleh Istana Raja; pada masa ayahnya, kurang lebih sama; dan di zamannya, tidak sama sekali. Bahkan, dengan turunnya Perisai dan kekacauan di Istana Raja, mereka adalah orang-orang yang membutuhkan Silesia.

Tentu saja, Kesatuan Perak dan Legiun adalah prajurit terbaik ada di sana – seolah-olah ribuan tentara menyertai Gwen, yang setengahnya terdiri dari psaukan Raja. Namun Srog, seperti kebanyakan bangsawan lain, bisa saja menurunkan gerbang dan mengurus dirinya sendiri.

Sebaliknya, ia membawa Gwen keluar, telah membayar kesetiaan kepadanya, dan bersikeras menampung mereka semua. Itu adalah kebaikan yang Gwen bertekad untuk entah bagaimana, suatu hari, membayarnya. Yang mana, jika mereka semua selamat.

"Anda tidak perlu khawatir," jawabnya pelan, meletakkan tangan dengan lembut di pergelangan tangannya. "Kami akan berbaris ke ujung bumi untuk memasuki kota Anda. Kami adalah yang paling beruntung untuk kesediaan Anda di masa sulit ini.”

Srog tersenyum. Seorang prajurit paruh baya dengan terlalu banyak garis terukir wajahnya dari pertempuran, rambut merah-kecoklatan, garis rahang yang kuat dan anpa jenggot, Srog adalah seorang pria, bukan hanya Bangsawan, tapi pejuang sejati.

"Untuk ayahmu, saya akan berjalan melalui api," dia menjawab. "Terima kasih tidak ada dalam perintah. Ini adalah kehormatan besar untuk bisa membayar utang saya kepadanya dengan melayani putrinya. Selain itu, adalah keinginannya bahwa Anda harus memerintah. Jadi ketika saya mengabdi kepada Anda, saya mengabdi kepadanya."

Di dekat Gwen juga berkuda Kolk dan Brom, dan di belakang mereka semua adalah bunyi ribuan taji yang selalu hadir, pedang gemerincing di sarung pedang mereka, perisai bergesekan dengan baju besi. Itu adalah hiruk-pikuk kebisingan, menuju lebih jauh dan lebih jauh ke utara di sepanjang tepian Ngarai.

"Tuan putri," Kolk berkata, "saya terbebani oleh rasa bersalah. Kita seharusnya tidak membiarkan Thor, Reece, dan lain-lain pergi keluar sendirian ke dalam Kekaisaran. Lebih banyak dari kita harus secara sukarela untuk pergi bersama mereka. Kepala saya sebagai gantinya jika terjadi sesuatu pada mereka."

"Itu adalah perjalanan yang mereka pilih," Gwen menanggapi. "Itu merupakan pencarian kehormatan. Siapa pun yang dimaksudkan untuk pergi telah pergi. Rasa bersalah memberikan hal baik bagi siapa pun."

"Dan apa yang akan terjadi jika mereka tidak kembali tepat waktu dengan Pedang itu?" tanya Srog. "Tak lama lagi sampai tentara Andronicus muncul di gerbang kami."

"Maka kita akan mempertahankannya," kata Gwen percaya diri, meningkatkan sebanyak mungkin keberanian dalam suaranya, berharap untuk membuat orang lain nyaman. Dia melihat para jenderal lainnya berpaling dan melihat dirinya.

"Kita akan mempertahankannya sampai kekuatan terakhir," tambahnya. "Tidak akan ada mundur, tidak ada kata menyerah."

Dia merasakan para jenderal terkesan. Dia terkesan dengan suaranya sendiri, kekuatan naik dalam dirinya, mengejutkan bahkan dirinya. Itu kekuatan ayahnya, tujuh generasi raja MacGil.

Saat mereka terus berderap, jalan melengkung tajam ke kiri, dan saat Gwen berbelok dia berhenti di jalannya, menahan napas pada pemandangan itu.

Silesia.

Gwen teringat ayahnya membawanya pergi ke sini, ketika dia adalah seorang gadis muda. Itu adalah tempat yang bercokol dalam mimpinya sejak itu, tempat yang terasa ajaib baginya. Sekarang, dengan memandangnya sebagai wanita dewasa, itu masih membuatnya menahan napas.

Silesia adalah kota yang paling tidak biasa yang pernah dilihat Gwen. Semua bangunan, semua benteng, semua batu – semuanya dibangun dari batu kuno yang bersinar kemerahan. Bagian atas Silesia, tinggi, vertikal, penuh dengan pembatas dan menara, dibangun di daratan, sedangkan bagian bawahnya dibangun ke dalam sisi Ngarai. Kabut berputar-putar dari Ngarai meniup masuk dan keluar, membungkusnya, membuatnya bersinar merah dan berkilau dalam cahaya dan membuatnya tampak seolah-olah kota itu dibangun di atas awan.

Bentengnya menjulang seratus kaki, dimahkotai dengan pembatas dan didukung oleh barisan dinding tak berujung. Tempat itu merupakan sebuah benteng. Bahkan jika ada pasukan menerobos dinding, ia masih harus turun ke bagian bawah kota, lurus ke bawah tebing, dan bertempur di tepi NGarai. Itu jelas-jelas merupakan sebuah perang tanpa pasukan penyerbu yang melaksanakannya. Itulah mengapa kota ini telah berdiri selama seribu tahun.

Para prajuritnya berhenti dan menganga, dan Gwen bisa merasakan bahwa mereka semua kagum, juga.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa saat, Gwen merasakan rasa optimisme. Ini adalah tempat mereka bisa tinggal, jauh dari jangkauan Gareth, suatu tempat bisa mereka pertahankan. Sebuah tempat di mana dia bisa menjadi raja. Dan mungkin – mungkin saja – kerajaan MacGil bisa bangkit lagi.

Srog berdiri di sana, tangan di pinggul, mengambil semuanya dalam seakan melihat kota sendiri untuk pertama kalinya, matanya bersinar dengan bangga.

"Selamat datang di Silesia."




BAB ENAM


Thor membuka matanya saat fajar untuk melihat gelombang lembut bergulir dari laut, naik dan turun di puncak besar, diselimuti oleh cahaya lembut matahari pertama. Air kuning terang Tartuvian yang berkilauan di kabut pagi. Perahu itu muncul diam-diam di dalam air, satu-satunya suara gelombang yang menjilati lambung kapal.

Thor duduk dan melihat sekeliling. Matanya berat dengan kelelahan – kenyataannya, ia tidak pernah merasa selelah ini dalam hidupnya. Mereka telah berlayar selama berhari-hari, dan semuanya di sini, di sisi dunia ini, terasa berbeda. Udara begitu tebal dengan kelembaban, suhu jadi jauh lebih hangat, rasanya seperti bernapas dalam aliran air yang konstan. Ini membuatnya merasa lesu, membuat tubuhnya terasa berat. Dia merasa seolah-olah dia telah tiba di musim panas.

Thor melihat sekeliling dan melihat bahwa semua teman-temannya, biasanya bangun sebelum subuh, semua merosot di dek, tidur. Bahkan Krohn, yang selalu terjaga, tertidur di sampingnya. Cuaca tropis tebal telah memengaruhi mereka semua. Tak satu pun dari mereka bahkan repot-repot untuk memegang kemudi lagi – mereka telah menyerah dengan kemudi itu beberapa hari yang lalu. Tak ada gunanya: layar mereka selalu di tiang penuh dengan angin barat mengemudi, dan air pasang magis laut ini terus menarik kapal mereka dalam satu arah. Seolah-olah mereka sedang ditarik ke satu lokasi, dan mereka telah mencoba beberapa kali untuk mengarahkan atau mengubah arah – tapi sia-sia. Mereka semua menjadi pasrah membiarkan Tartuvian membawa mereka.

Itu bukan berarti mereka tahu ke mana arah Kekaisaran untuk dituju, Thor merenung. Selama pasang membawa mereka ke daratan, dia pikir, itu akan cukup baik.

Krohn bangkit, mengeong, lalu membungkuk dan menjilat wajah Thor. Thor merogoh kantungnya, hampir kosong, dan memberi Krohn tongkat daging kering terakhir. Yang mengejutkan Thor, Krohn tidak merebutnya dari tangannya, seperti yang biasa dilakukannya; sebaliknya, Krohn melihatnya, melihat karung kosong, lalu kembali menatap Thor penuh arti. Dia ragu-ragu untuk mengambil makanan, dan Thor menyadari Krohn tidak ingin mengambil potongan terakhir darinya.

Thor tersentuh oleh gerakan itu, tapi dia bersikeras, mendorong daging ke mulut sahabatnya itu. Thor tahu mereka akan segara kehabisan makanan, dan berdoa mereka mencapai daratan. Dia tidak tahu berapa lama lagi perjalanan bisa berlangsung; bagaimana jika memerlukan waktu berbulan-bulan? Bagaimana mereka akan makan?

Matahari terbit dengan cepat di sini, terbit dengan cerah dan kuat terlalu dini, dan Thor berdiri saat kabut mulai terbakar dari air dan ia pergi ke haluan.

Thor berdiri di sana dan melihat ke luar, dek bergoyang lembut di bawahnya, dan menyaksikan kabut hilang. Dia berkedip, bertanya-tanya apakah dia sedang melihat sesuatu, sebagai garis besar negeri yang jauh muncul di cakrawala. Denyut nadinya bertambah cepat. Itu daratan. Daratan sungguhan!

Daratan itu muncul dalam bentuk yang paling tidak biasa: dua semenanjung panjang yang sempit terjebak ke laut, seperti dua ujung garpu rumput, dan saat kabut terangkat, Thor melihat ke kiri dan kanan dan kagum melihat dua lajur daratan di kedua sisi mereka, masing-masing sekitar lima puluh yard. Mereka sedang tersedot tepat di tengah teluk kecil yang panjang.

Thor bersiul, dan saudara-saudara Legiunnya muncul. Mereka bergegas berdiri dan bergegas ke sampingnya, berdiri di haluan, melihat keluar.

Mereka semua berdiri di sana, menahan napas saat melihat: pantai yang paling eksotis yang pernah dilihatnya, padat dengan hutan, pohon-pohon menjulang tinggi yang menempel pada garis pantai, begitu lebatnya sehingaa tak mungkin untuk melihat melampaui mereka. Thor melihat pakis besar, tiga puluh kaki, membungkuk di atas air; pohon kuning dan ungu yang tampaknya mencapai ke langit; dan di mana-mana, ada suara-suara asing dan terus-menerus dari binatang, burung, serangga, dan dia tidak tahu apa lagi, menggeram, memekik, dan bernyanyi.

Thor menelan ludah. Dia merasa seolah-olah mereka memasuki kerajaan hewan yang tak tertembus. Semuanya terasa berbeda di sini; udara berbau berbeda, asing. Tak satu pun di sini yang mengingatkannya pada Cincin. Para anggota Legiun lainnya berbalik dan menatap satu sama lain, dan Thor bisa melihat keraguan di mata mereka. Mereka semua bertanya-tanya makhluk apa menunggu mereka di dalam hutan itu.

Ini bukan seolah-olah mereka punya pilihan. Arus membawa mereka pada satu jalan, dan jelas ini adalah di mana mereka harus turun untuk masuk tanah Kekaisaran.

"Sebelah sini!" O'Connor berteriak.

Mereka bergegas ke samping O'Connor dari pagar perahu, sambil membungkuk dan menunjuk ke air. Di sana, berenang bersama kapal, adalah serangga yang besar, berpendar keunguan, sepanjang sepuluh kaki, dengan ratusan kaki. Serangga itu bersinar di bawah gelombang, kemudian bergegas di sepanjang permukaan air; saat itu terjadi, ribuan sayap kecil mulai berdengung, dan mengangkat tepat di atas air. Kemudian kembali meluncur di sepanjang permukaan, lalu jatuh di bawah. Kemudian mengulangi proses itu lagi.

Saat mereka menyaksikan hal itu, tiba-tiba bangkit, lebih tinggi di udara, setinggi mata mereka, melayang, menatap mereka dengan empat mata hijau yang besar. Serangga itu mendesis, dan mereka semua melompat ke belakang tanpa sadar, meraih pedang mereka.

Elden melangkah maju dan mengayunkannya. Tapi pada saat pedangnya mencapai udara, serangga itu sudah kembali ke air.

Thor dan yang lainnya berlarian, menubruk dek, saat perahu mereka tiba-tiba berhenti mendadak, mendarat dengan sendirinya di pantai dengan sentakan.

Jantung Thor berdetak lebih cepat saat ia melihat ke tepi: di bawah mereka adalah sebuah pantai sempit yang terdiri dari ribuan batu bergerigi kecil, berwarna ungu terang.

Daratan. Mereka telah berhasil.

Elden memimpin cara untuk menurunkan jangkar, dan mereka semua mengangkatnya dan menjatuhkannya di tepian. Mereka masing-masing memanjat rantai untuk turun, melompat dari rantai dan mendarat di pantai, Thor menyerahkan Krohn kepada Elden saat dia melakukannya.

Thor mendesah saat kakinya menyentuh tanah. Rasanya sangat baik untuk sampai di daratan – daratan kering yang stabil – di bawah kakinya. Dia akan baik-baik jika dia tidak pernah berlayar di kapal lagi.

Mereka semua meraih tali dan menyeret perahu sejauh mungkin ke pantai.

"Apakah kau kira pasang akan membawanya pergi?" Reece bertanya, menatap perahu.

Thor melihatnya; tampaknya aman di pasir.

"Tidak dengan jangkar itu," kata Elden.

"Air pasang tidak akan membawanya," kata O'Connor. "Pertanyaannya adalah apakah orang lain akan melakukannya."

Thor melihat kapal itu dengan lama untuk terakhir kalinya, dan menyadari temannya benar. Bahkan jika mereka menemukan pedang, mereka sangat mungkin akan kembali ke pantai yang kosong.

"Dan kemudian bagaimana kita akan kembali?" tanya Conval.

Thor tidak bisa tidak merasa seolah-olah, setiap langkah dari jalan itu, mereka membakar jembatan mereka.

"Kita akan mencari suatu cara," kata Thor. "Selain itu, seharusnya ada kapal lain di Kekaisaran, kan?"

Thor berusaha terdengar berwibawa, untuk meyakinkan teman-temannya. Tapi jauh di dalam, ia tidak begitu yakin terhadap dirinya. Seluruh perjalanan ini terasa semakin tidak menyenangkan baginya.

Bersama-sama, mereka berbalik dan menghadapi hutan, menatapnya. Itu adalah dinding dedaunan, kegelapan di baliknya. Suara-suara binatang bangkit dalam hiruk-pikuk di sekitar mereka, begitu keras sehingga Thor hampir tidak bisa mendengar dirinya berpikir. Rasanya seolah-olah segala binatang Kekaisaran berteriak untuk menyambut mereka.

Atau untuk memperingatkan mereka.

*

Thor dan yang lainnya berjalan berdampingan, hati-hati, masing-masing dari mereka berjaga-jaga, melalui hutan lebat tropis. Sulit bagi Thor mendengar dirinya berpikir, begitu gigih adalah jeritan dan teriakan orkestra serangga dan hewan di sekitarnya. Namun ketika ia melihat ke kegelapan dedaunan, ia tidak bisa melihat mereka.

Krohn berjalan di belakangnya, menggeram, rambut berdiri di punggungnya. Thor belum pernah melihatnya begitu waspada. Dia memandang saudara seperjuangannya, dan melihat masing-masing, seperti dirinya, dengan tangan bertumpu pada gagang pedangnya, semua dari mereka waspada, juga.

Mereka telah berjalan selama berjam-jam sekarang, lebih dalam dan semakin dalam ke hutan, udara menjadi lebih panas dan lebih tebal, lebih lembab, berat untuk bernapas. Mereka telah mengikuti jejak apa yang tadinya tampak seperti jalur, beberapa cabang patah mengisyaratkan jalan kelompok prajurit yang mungkin telah tiba di sini mengambilnya. Thor hanya berharap itu adalah jejak kelompok yang telah mencuri pedang itu.

Thor mendongak, mengagumi alam: semuanya ditumbuhi dengan proporsi yang epik, setiap daun sebesar dirinya. Dia merasa seperti serangga di tanah para raksasa itu. Ia melihat sesuatu yang gemerisik di balik beberapa daun, tapi tidak bisa benar-benar melihat apa-apa. Dia punya perasaan tak menyenangkan mereka bahwa sedang diawasi.

Jalan di hadapan mereka tiba-tiba berakhir di dinding dedaunan yang kokoh. Mereka semua berhenti dan saling memandang, bingung.

"Tapi jalan itu tidak bisa hilang begitu saja!" ujar O'Connor, putus asa.

"Memang tidak," kata Reece, memeriksa daun. "Hutan hanya tumbuh kembali dengan sendirinya."

"Jadi ke arah mana sekarang?" tanya Conval.

Thor berbalik dan melihat sekeliling, bertanya-tanya hal yang sama. Di setiap arah tak lebih hanyalah dedaunan lebat, dan tampaknya tak ada jalan keluar. Thor mulai memiliki perasaan terbenam, dan merasa semakin tersesat.

Lalu ia punya gagasan.

“Krohn," katanya, berlutut dan berbisik di telinga Krohn. "Dakilah pohon itu. Lihatlah untuk kita. Beritahu kami ke mana jalannya."

Krohn menatapnya dengan mata penuh perasaan, dan Thor merasa dia mengerti.

Krohn berlari ke sebuah pohon besar, dengan batang selebar sepuluh orang, dan tanpa ragu-ragu menerkam dan mencakarnya untuk naik. Krohn berlari lurus ke atas kemudian melompat keluar ke salah satu cabang tertinggi. Dia berjalan ke ujung dan melihat keluar, telinganya berdiri tegak. Thor selalu merasakan bahwa Krohn memahami dirinya, dan sekarang ia tahu pasti bahwa dia memang memahami dirinya.

Krohn bersandar dan mengeluarkan mendengkur suara aneh di bagian belakang tenggorokan, lalu bergegas menuruni cabang dan pergi ke satu arah. Mereka bertukar pandang dengan penasaran, lalu mereka semua berbalik dan mengikuti Krohn, menuju bagian hutan itu, mendorong daun tebal sehingga mereka bisa berjalan.

Setelah beberapa menit, Thor merasa lega telah melihat jalan muncul lagi, tanda-tanda cabang rusak dan dedaunan menunjukkan jalan yang dituju kelompok itu. Thor membungkuk dan menepuk Krohn, mencium kepalanya.

"Aku tak tahu apa yang akan kita lakukan tanpa dia," kata Reece.

"Aku juga tidak," jawab Thor.

Krohn mendengkur, puas, bangga.

Saat mereka terus berjalan lebih dalam ke hutan, berputar dan berbelok, mereka sampai ke hamparan dedaunan baru, dengan bunga-bunga di sekitar mereka, besar, seukuran Thor, penuh dengan semua warna. Pohon lain memiliki buah seukuran bongakahn besar batu yang menggantung dari cabang-cabangnya.

Mereka semua berhenti ingin tahu saat Conval berjalan ke salah satu buah, yang bersinar merah, dan mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.

Tiba-tiba, terdengar suara geram yang dalam.

Conval mundur dan meraih pedangnya, dan juga yang lain, semua saling memandang dengan cemas.

"Apa itu?" tanya Conval.

"Itu datang dari sana," kata Reece, menunjuk ke bagian lain dari hutan.

Mereka semua berbalik dan melihat. Tapi Thor tidak bisa melihat apa-apa selain daun. Krohn balas menggeram ke arah suara itu.

Suara itu semakin keras, terus-menerus, dan akhirnya, cabang-cabang mulai berdesir. Thor dan yang lainnya mengambil langkah mundur, menghunus pedang mereka, dan menunggu, mengharapkan yang terburuk.

Yang melangkah maju dari hutan melebihi bahkan harapan terburuk Thor. Berdirilah di sana, di hadapan mereka, yaitu serangga besar, lima kali ukuran Thor, menyerupai belalang sembah, dengan dua kaki belakang, dua kaki depan yang lebih kecil menggantung di udara, dan cakar panjang di ujungnya. Tubuhnya berwarna hijau menyala, ditutupi oleh sisik, dan memiliki sayap kecil yang berdengung dan bergetar. Ada dua mata di bagian atas kepalanya, dan mata ketiga di ujung hidung. Serangga itu mengayunkan dan mengeluarkan cakar lain – tersembunyi di bawah tenggorokannya – yang bergetar dan berderik.

Serangga itu berdiri di sana, menjulang di atas mereka, dan cakar lain keluar dari perutnya, lengan panjang kurus, menonjol; tiba-tiba, lebih cepat dari salah satu dari mereka bisa bereaksi, serangga itu mengulurkan cakarnya dan menyambar O'Connor, tiga cakar semakin panjang dan membelit di sekitar pinggangnya. Serangga itu mengangkatnya tinggi di udara, seolah-olah dia adalah sehelai daun.

O'Connor mengayunkan pedangnya tapi tapi tidak cukup dekat dan cepat. Binatang itu mengguncang beberapa kali, lalu tiba-tiba membuka mulutnya, menunjukkan sedertan gigi tajam, membalik O'Connor ke samping, dan mulai menurunkannya ke arah itu.

O'Connor menjerit seketika dan kematian yang menyakitkan sudah tampak.

Thor bereaksi. Tanpa pikir panjang, ia meletakkan batu di selempangnya, membidik dan melemparkannya di mata ketiga binatang itu, di ujung hidungnya.

Itu adalah serangan langsung. Binatang itu menjerit, dengan suara mengerikan, cukup keras untuk membelah pohon, kemudian menjatuhkan O'Connor, yang jatuh ke tanah dan mendarat di lantai hutan yang lembut dengan bunyi gedebuk.

Binatang, marah, lalu mengalihkan tatapannya kepada Thor.

Thor tahu bahwa bertahan dan melawan makhluk itu akan sia-sia. Setidaknya satu dari saudara-saudaranya akan terbunuh, dan kemungkinan Krohn juga, dan itu akan menguras energi berharga apapun yang mereka miliki. Dia merasa bahwa mungkin mereka telah menerobos wilayahnya, dan jika mereka bisa keluar dari sana cukup cepat, serangga itu akan melepaskan mereka.

"LARI!" Thor berteriak.

Mereka berbalik dan berlari – dan binatang itu mulai mengejar mereka.

Thor bisa mendengar suara kuku binatang itu memotong melalui dedaunan lebat tepat di belakang mereka, mengiris melalui udara dan melesat beberapa kaki dari kepalanya. Daun yang teriris terbang ke udara dan menghujani sekelilingnya. Mereka semua berlari bersama-sama, dan Thor merasa bahwa jika mereka bisa mendapatkan jarak yang cukup, mereka bisa menemukan cara untuk berlindung. Jika tidak, maka mereka harus bertahan.

Tapi tiba-tiba Reece tergelincir di sampingnya, jatuh di atas cabang, wajah lebih dulu menuju dedaunan, dan Thor tahu dia tidak akan bangun tepat pada waktunya. Thor berhenti di sampingnya mereka, menghunus pedangnya, dan berdiri di antara dia dan binatang itu.

"TERUS LARI!" Thor berteriak di balik bahunya kepada yang lain, saat ia berdiri di sana, siap untuk membela Reece.

Binatang itu menerjang ke arahnya, memekik, dan mengayunkan cakar ke wajah Thor. Thor merunduk dan mengayunkan pedangnya pada saat yang sama, dan binatang menjerit mengerikan saat Thor memotong salah satu cakarnya. Sebuah cairan hijau tersembur ke seluruh tubuh Thor, dia mendongak dan menyaksikan dengan ngeri saat binatang itu menumbuhkan kembali cakarnya secepat kehilangan cakarnya. Seolah-olah Thor tak pernah melukainya.

Thor menelan ludah. Ini akan menjadi binatang tak mungkin dibunuh. Dan sekarang dia telah membuatnya marah.

Binatang itu memukul ke bawah dengan lengan yang lain, keluar dari tempat lain di tubuhnya, dan memukul Thor keras di rusuknya, mengirimnya terbang dan mendarat di rumpun pohon. Binatang itu kemudian mengayunkan cakar lain ke arah Thor, dan Thor tahu dia dalam kesulitan.

Elden, O'Connor, dan si kembar bergegas ke depan, dan saat binatang itu mengayunkan cakar lain untuk Thor, O'Connor menembakkan panah ke mulutnya, menancap di bagian belakang tenggorokannya, membuatnya menjerit. Elden mengambil kapak dua tangannya dan menghantamkannya di atas punggung binatang itu, sementara Conven dan Conval masing-masing melemparkan tombak tertancap di kedua sisi tenggorokan. Reece kembali berdiri dan menghujamkan pedangnya ke perut binatang itu. Thor melompat dan mengayunkan pedangnya ke lengan lain binatang itu, memotongnya. Dan Krohn bergabung dengan mereka, melompat ke udara dan menenggelamkan taringnya ke tenggorokannya.

Binatang itu terus menjerit, karena mereka semua melakukan kerusakan lebih dari yang Thor bisa pikirkan. Binatang itu luar biasa bagi Thor karena dia masih berdiri, sayapnya masih bergetar. Binatang ini tidak akan mati.

Mereka semua menyaksikan dengan ngeri saat, satu per satu, binatang itu mengulurkan tangan dan mengeluarkan tombak dan pedang dan kapak bersarang yang tertancap di dalam tubuhnya – dan saat melakukannya, semua luka sembuh di depan mata mereka.

Binatang itu tak terkalahkan.

Binatang itu membungkukkan tubuhnya ke belakang dan meraung, dan semua saudara Legiun Thor mendongak kaget. Mereka semua sudah memberikan semua yang mereka miliki, dan bahkan tak bisa melukainya.

Binatang itu siap untuk menyerang pada mereka lagi, dengan rahang dan cakar setajam pisau cukur, dan Thor menyadari tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Mereka semua akan mati.

"MINGGIR!" terdengar teriakan tiba-tiba.

Suara itu datang dari belakang Thor, dan terdengar muda. Thor berbalik untuk melihat seorang anak kecil, mungkin sebelas tahun, berlari di belakang mereka, membawa apa yang tampaknya menjadi kendi air. Thor merunduk dan anak itu melemparkan air, menyiramkannya ke seluruh wajah binatang itu.

Binatang itu membungkukkan badannya ke belakang dan memekik, uap naik dari wajahnya, mengulurkan cakar dan merobek pipinya, matanya, kepalanya. Binatang itu menjerit lagi dan lagi, suara sangat keras sehingga Thor harus megulurkan tangannya menutupi telinga.

Akhirnya, binatang itu berbalik dan melesat pergi, kembali ke hutan, menghilang di dedaunan.

Mereka semua berbalik dan menatap anak itu dengan rasa heran dan penghargaan. Berpakaian compang-camping, dengan rambut cokelat gondrong dan mata cerdas berwarna hijau cerah, anak itu tertutup dalam kotoran, dan melihat, dari kakinya yang telanjang dan tangan kotor, seakan dia tinggal di sini.

Thor tak pernah lebih bersyukur kepada siapa pun.

"Senjata tidak akan menyakiti Gathorbeast," kata anak itu, memutar matanya. "Beruntung bagi kalian aku mendengar jeritan dan dekat jaraknya. Jika tidak, Anda akan mati sekarang. Jangan-jangan Anda tak tahu bahwa Anda tak pernah menghadapi Gathorbeast?"

Thor memandang teman-temannya, semuanya kehilangan kata-kata.

"Kami tidak menghadapinya," kata Elden. "Binatang itu menyerang kami."

"Binatang itu tidak menyerang Anda," anak itu berkata, "kecuali jika Anda mengganggu wilayahnya."

"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Reece.

"Yah, jangan menatap matanya," kata anak itu. "Dan jika binatang itu menyerang, tundukkan wajah menghadap ke bawah sampai binatang itu pergi. Dan terutama, jangan pernah mencoba untuk berlari."

Thor melangkah maju dan meletakkan tangannya di bahu anak itu.

"Kau menyelamatkan hidup kami," katanya. "Kami berutang besar padamu."

Anak itu mengangkat bahu.

"Anda tidak terlihat seperti tentara Kekaisaran," katanya. "Anda terlihat sepertinya Anda datang dari tempat lain di dunia. Jadi mengapa aku tak mau membantu? Anda tampaknya memiliki tanda-tanda dari kelompok yang datang dari kapal beberapa hari yang lalu."

Thor dan yang lain bertukar pandang mengerti, dan berpaling kepada anak itu.

"Apakah kau tahu ke mana kelompok itu pergi?" tanya Thor.

Anak itu mengangkat bahu.

"Itu kelompok besar, dan mereka membawa senjata Tampaknya berat: karena memerlukan mereka semua untuk membawanya. Aku melacak mereka selama berhari-hari. Mereka mudah untuk melacak. Mereka bergerak lambat. Mereka juga ceroboh dan sembrono. Aku tahu ke mana mereka pergi, meskipun aku tidak melacak mereka jauh ke luar desa. Aku bisa membawa Anda ke sana dan mengarahkan Anda ke arah yang benar, jika Anda mau. Tapi tidak hari ini."

Yang lain bertukar pandang kebingung.

"Kenapa tidak?" tanya Thor.

"Malam tiba dalam beberapa jam. Anda tidak bisa berada di luar setelah gelap."

"Tapi mengapa?" tanya Reece.

Anak itu menatapnya seolah-olah dia gila.

"Ethabug," katanya.

Thor melangkah maju dan menatap anak itu. Dia segera menyukai anak ini. Ia cerdas, sungguh-sungguh, tak kenal takut, dan memiliki baik hati.

"Apakah Anda tahu tempat di mana kita bisa berteduh malam ini?"

Anak itu kembali menatap Thor, lalu mengangkat bahu, tampak tidak yakin. Dia berdiri di sana, bimbang.

"Aku rasa tidak seharusnya," katanya. "Kakek akan marah."

Krohn tiba-tiba muncul dari belakang Thor, dan berjalan menuju anak itu – dan mata anak itu menyala dalam kegembiraan.

"Wah!" anak itu berseru.

Krohn menjilat wajah anak itu, lagi dan lagi, dan anak itu tertawa gembira dan mengulurkan tangan lau membelai kepala Krohn. Kemudian anak itu berlutut, menurunkan tombaknya, dan memeluk Krohn. Krohn tampak memeluknya kembali, dan anak itu tertawa histeris.

"Siapa namanya?" tanya anak itu. "Binatang apa dia?"

"Namanya Krohn," kata Thor, tersenyum. "Dia adalah macan tutul putih yang langka. Dia datang dari sisi lain laut. Dari Cincin. Di mana kami berasal. Dia menyukaimu."

Anak itu mencium Krohn beberapa kali, dan akhirnya berdiri dan kembali menatap Thor.

"Yah," kata anak itu, bimbang, "Aku rasa aku bisa membawa Anda ke desa kami. Mudah-mudahan kakek tidak akan terlalu marah. Jika tidak, Anda beruntung. Ikuti saya. Kita harus buru-buru. Malam akan segera datang."

Anak itu berbalik dan dengan cepat berkelok-kelok di jalan melalui hutan, Thor dan yang lain mengikuti. Thor kagum pada ketangkasan anak itu, pada seberapa baik dia mengenal hutan itu. Sulit untuk mengejarnya.

"Orang-orang datang ke sini dari waktu ke waktu," kata anak itu. "Laut, pasang surut, itu mengarahkan mereka tepat ke pelabuhan. Beberapa orang datang dari laut dan memotong jalan lewat sini, dalam perjalanan ke tempat lain. Sebagian besar dari mereka tidak berhasil. Mereka dimakan oleh sesuatu atau yang lain di hutan. Kalian beruntung. Ada hal-hal yang jauh lebih buruk di sini ketimbang Gathorbeast."

Thor menelan ludah.

"Lebih buruk dari itu? Seperti apa?"

Anak itu menggeleng, terus mendaki.

"Anda tidak ingin tahu. Aku telah melihat beberapa hal yang cukup mengerikan di sini."

"Berapa lama kau tinggal di sini?" tanya Thor, penasaran.

"Seluruh hidupku," kata anak itu. "Kakekku memindahkan kami ketika aku masih kecil."

"Tapi kenapa di sini, di tempat ini? Pasti ada tempat yang lebih ramah.”

“Anda tidak mengetahui Kekaisaran, kan?" tanya anak itu. "Pasukan ada di mana-mana. Tidak begitu mudah berada tetap di luar pengamatan mereka. Jika mereka menangkap kita, mereka menangkap kita sebagai budak. Mereka jarang datang ke sini, meskipun – tidak sejauh ini ke dalam hutan."

Saat mereka memotong melalui potongan tebal dedaunan, Thor mengulurkan tangan untuk menyibakkan daun dari jalan, tapi anak itu berbalik dan mendorong tangan Thor, berteriak:

"JANGAN SENTUH ITU!"

Mereka semua berhenti, dan Thor memandang daun yang hampir ia sentuh. Daun itu besar dan kuning, dan tampaknya cukup polos.

Anak itu mengulurkan tongkatnya dan dengan lembut menyentuh ujungnya; saat dia melakukannya, daun itu tiba-tiba membungkuskan dirinya di sekitar tongkat, sangat cepat, dan diikuti suara mendesis, saat ujung tongkat menguap.

Thor terkejut.

"Daun Rankle," kata anak itu. "Beracun. Jika Anda menyentuhnya, Anda akan kehilangan tangan sekarang juga."

Thor melihat sekeliling pada semua dedaunan dengan penghargaan baru. Dia mengagumi betapa beruntungnya mereka telah menemukan anak ini.

Mereka terus mendaki, Thor menjaga tangannya tetap dekat dengan tubuhnya, seperti yang dilakukan orang lain. Mereka mencoba untuk lebih berhati-hati tentang di mana mereka melangkah.

"Tetap dekat satu sama lain dan ikuti jejakkuu dengan persis," kata anak itu. "Jangan menyentuh apa pun. Jangan mencoba untuk makan buah-buahan. Dan jangan mencium bau bunga itu juga – kecuali Anda ingin pingsan."

"Hei, apa itu?" tanya O'Connor, berbalik dan melihat sebuah buah besar menggantung dari cabang panjang, kecil, dan berkilau kuning. O'Connor mengambil satu langkah ke arah buah itu, mengulurkan tangan.

"TIDAK!" anak itu menjerit.

Tapi sudah terlambat. Saat ia menyentuhnya, tanah memberikan jalan ke bawah mereka semua, dan Thor merasa dirinya meluncur, berpacu menuruni bukit yang dialiri dengan lumpur dan air. Mereka terjebak di tanah longsor dan mereka tidak bisa berhenti.

Mereka semua berteriak karena mereka meluncur di lumpur, ratusan kaki, lurus ke bawah menuju kedalaman hitam hutan.




BAB TUJUH


Erec duduk di atas kudanya, terengah-engah, mempersiapkan diri untuk menyerang dua ratus tentara yang menghadap ke arahnya. Dia telah berjuang dengan gagah berani dan berhasil menjatuhkan seratus prajurit pertama – tapi sekarang bahunya melemah, tangannya gemetar. Pikirannya siap untuk bertarung selamanya – namun ia tidak tahu berapa lama tubuhnya akan mengikuti. Namun, ia akan bertarung dengan semua yang ia miliki, seperti yang ia lakukan seluruh hidupnya, dan membiarkan nasib membuat keputusan untuknya.

Erec berteriak dan menendang kuda asing yang telah dicuri dari salah satu lawan-lawannya, dan menyerang ke arah para prajurit.

Mereka menyerang kembali, mencocokkan pekikan perang tunggalnya dengan mereka, sengit. Banyak darah telah tertumpah di medan ini, dan jelas tidak ada yang pergi tanpa kematian sisi yang lain.

Saat ia menyerang, Erec menghunus pisau lempar dari sabuknya, membidik, dan melemparkannya pada tentara yang memimpin di depannya. Itu adalah lemparan sempurna, tertancap di tenggorokannya, dan prajurit itu mencengkeram tenggorokannya, menjatuhkan kendali, dan jatuh dari kudanya. Seperti yang Erec harapkan, dia jatuh di depan kaki kuda-kuda lain, menyebabkan beberapa kuda tersandung dia dan mengirim mereka menabrak ke tanah.

Erec mengangkat lembing dengan satu tangan, perisai di sisi lain, menurunkan penutup wajah, dan menyerang dengan sekuat tenaga. Ia akan menyerang pasukan ini secepat dan sekuat yang dia bisa, melayangkan pukulan apa pun, dan menerobos tepat di tengahnya.





Конец ознакомительного фрагмента. Получить полную версию книги.


Текст предоставлен ООО «ЛитРес».

Прочитайте эту книгу целиком, купив полную легальную версию (https://www.litres.ru/pages/biblio_book/?art=43695655) на ЛитРес.

Безопасно оплатить книгу можно банковской картой Visa, MasterCard, Maestro, со счета мобильного телефона, с платежного терминала, в салоне МТС или Связной, через PayPal, WebMoney, Яндекс.Деньги, QIWI Кошелек, бонусными картами или другим удобным Вам способом.



Di dalam IKRAR KEMENANGAN (Buku #5 dalam Cincin Bertuah), Thor ambil bagian bersama teman-teman Legiunnya dalam sebuah petualangan epik menuju alam liar yang luas dari Kekaisaran untuk mencoba menemukan Pedang Takdir kuno dan menyelamatkan Cincin. Persahabatan Thor semakin dalam, saat mereka berpetualang ke tempat-tempat baru, menghadapi monster-monster tak terduga dan bertarung berdampingan dalam pertempuran yang tak terbayangkan. Mereka menjumpai dataran-dataran eksotik, makhluk dan orang-orang yang melampaui apa yang bisa mereka bayangkan, tiap langkah perjalanan mereka penuh dengan bahaya yang semakin bertambah. Mereka akan harus menggunakan semua keterampilan mereka jika mereka ingin selamat saat mereka mengikuti jejak para pencuri itu, semakin dalam menuju Kekaisaran. Petualangan mereka akan membawa mereka sepanjang jalan menuju jantung Dunia Bawah Tanah, salah satu dari tujuh alam neraka, di mana mayat hidup berkuasa dan di berbagai tempat dipenuhi dengan tulang. Saat Thor harus memanggil kekuatanya, lebih dari sebelumnya, ia berusaha untuk memahami siapa dirinya. Kembali ke Cincin, Gwendolyn harus memimpin setengah dari Istana Raja menuju ke benteng Barat di Silesia, sebuah kota kuno yang bertengger di tepi Ngarai dan telah berdiri selama seribu tahun. Benteng Silesia ini telah memungkinkan untuk bertahan hidup dari setiap serangan di setiap abad-tetapi tidak pernah menghadapi serangan oleh seorang pemimpin seperti Andronicus, oleh pasukan satu juta prajuritnya. Gwendolyn belajar apa artinya menjadi ratu saat ia mengambil peran kepemimpinan itu, Srog, Kolk, Brom, Steffen, Kendrick, dan Godfrey di sisinya, bersiap untuk mempertahankan kota untuk perang besar yang akan datang. Sementara itu, Gareth semakin turun lebih dalam pada kegilaan, mencoba untuk mempertahankan diri dari sebuah kudeta yang akan membunuhnya di Istana Raja, sementara Erec berjuang untuk hidupnya untuk menyelamatkan cintanya, Alistair dan kota Adipati Savaria saat perisai jatuh yang memungkinkan para makhluk liar menyerang. Dan Godfrey, berkubang dalam minuman, harus memutuskan apakah dia siap untuk membuang masa lalunya dan menjadi pria yang diharapkan keluarganya. Ketika mereka semua berjuang untuk hidup mereka dan karena sepertinya mereka tak bisa berakhir dengan lebih buruk lagi, cerita berakhir ini dengan dua kelokan mengejutkan. Akankah Gwendolyn bertahan terhadap serangan? Akankah Thor bertahan dari Kekaisaran? Akankah Pedang Takdir ditemukan?Dengan penyusunan dunia dan karakteristik yang canggih, IKRAR KEMENANGAN adalah kisah epik tentang sahabat dan kekasih, rival dan peminang, ksatria dan naga, intrik dan persekongkolan politik, masa mendatang, patah hati, penipuan, ambisi dan pengkhianatan. Ini adalah kisah tentang kehormatan dan keberanian, nasib dan takdir, sihir. Ini adalah fantasi yang membawa kita ke dunia yang tak akan pernah kita lupakan, dan yang akan menarik bagi semua usia dan jenis kelamin. Buku ini terdiri dari 75. 000 kata.

Как скачать книгу - "Ikrar Kemenangan" в fb2, ePub, txt и других форматах?

  1. Нажмите на кнопку "полная версия" справа от обложки книги на версии сайта для ПК или под обложкой на мобюильной версии сайта
    Полная версия книги
  2. Купите книгу на литресе по кнопке со скриншота
    Пример кнопки для покупки книги
    Если книга "Ikrar Kemenangan" доступна в бесплатно то будет вот такая кнопка
    Пример кнопки, если книга бесплатная
  3. Выполните вход в личный кабинет на сайте ЛитРес с вашим логином и паролем.
  4. В правом верхнем углу сайта нажмите «Мои книги» и перейдите в подраздел «Мои».
  5. Нажмите на обложку книги -"Ikrar Kemenangan", чтобы скачать книгу для телефона или на ПК.
    Аудиокнига - «Ikrar Kemenangan»
  6. В разделе «Скачать в виде файла» нажмите на нужный вам формат файла:

    Для чтения на телефоне подойдут следующие форматы (при клике на формат вы можете сразу скачать бесплатно фрагмент книги "Ikrar Kemenangan" для ознакомления):

    • FB2 - Для телефонов, планшетов на Android, электронных книг (кроме Kindle) и других программ
    • EPUB - подходит для устройств на ios (iPhone, iPad, Mac) и большинства приложений для чтения

    Для чтения на компьютере подходят форматы:

    • TXT - можно открыть на любом компьютере в текстовом редакторе
    • RTF - также можно открыть на любом ПК
    • A4 PDF - открывается в программе Adobe Reader

    Другие форматы:

    • MOBI - подходит для электронных книг Kindle и Android-приложений
    • IOS.EPUB - идеально подойдет для iPhone и iPad
    • A6 PDF - оптимизирован и подойдет для смартфонов
    • FB3 - более развитый формат FB2

  7. Сохраните файл на свой компьютер или телефоне.

Книги серии

Книги автора

Аудиокниги автора

Рекомендуем

Последние отзывы
Оставьте отзыв к любой книге и его увидят десятки тысяч людей!
  • константин александрович обрезанов:
    3★
    21.08.2023
  • константин александрович обрезанов:
    3.1★
    11.08.2023
  • Добавить комментарий

    Ваш e-mail не будет опубликован. Обязательные поля помечены *